KABARBURSA.COM – Pasar komoditas kembali diguncang kabar dari Indonesia. Harga timah berjangka di Shanghai Futures Exchange melejit ke level tertinggi dalam hampir enam bulan setelah Presiden Prabowo Subianto memerintahkan penutupan sekitar 1.000 tambang ilegal di Sumatera.
Kebijakan ini, meski ditujukan untuk menertibkan praktik penambangan liar yang marak dan merugikan negara, justru menimbulkan kekhawatiran akan berkurangnya pasokan dari salah satu produsen timah terbesar dunia.
Dampaknya segera terasa, harga timah Shanghai melonjak tajam, sementara sentimen di pasar saham domestik ikut bergejolak.
Kenaikan harga timah di Shanghai, yang sempat menembus 283.000 yuan per ton sebelum akhirnya ditutup di 274.990 yuan, mencerminkan betapa sensitifnya pasar global terhadap isu pasokan dari Indonesia.
Langkah tegas pemerintah dianggap bisa memperbaiki tata kelola industri timah dalam jangka panjang, namun dalam waktu dekat, pasar hanya melihat sisi negatif berupa potensi kelangkaan suplai.
Hal ini berimbas pada harga yang lebih tinggi, sekaligus memunculkan peluang bagi pemain resmi di industri timah Tanah Air untuk mendapatkan keuntungan margin lebih besar.
Namun, sentimen tersebut tidak sepenuhnya positif. Kekhawatiran pasokan yang menyempit juga menciptakan ketidakpastian bagi rantai pasok global, termasuk industri elektronik dan peralatan rumah tangga yang menjadi konsumen utama timah.
Di sisi lain, permintaan dari China cenderung melandai menjelang libur panjang Hari Nasional, membuat harga timah di London Metal Exchange justru sedikit terkoreksi ke USD35.280 per ton. Kontras ini menegaskan bahwa pergerakan harga logam tidak hanya digerakkan oleh isu pasokan, tetapi juga dipengaruhi dinamika permintaan di negara konsumen terbesar dunia.
TINS Berpeluang Perluas Pasar, ANTM Dapat Sentimen Positif
Bagi pasar modal Indonesia, kabar ini membawa dampak campuran. Emiten timah milik negara, PT Timah Tbk (TINS), menjadi pihak yang paling disorot. Pengetatan operasi ilegal secara teoritis bisa memberi ruang lebih luas bagi TINS sebagai produsen resmi untuk memperkuat pangsa pasar dan menjaga harga jual lebih tinggi.
Dengan cadangan timah yang besar dan status sebagai pemain utama di pasar domestik, TINS berpotensi menjadi penerima manfaat langsung dari kenaikan harga global.
Selain TINS, emiten yang bergerak di sektor logam dan pertambangan juga turut terimbas. PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), meskipun fokus utama pada emas dan nikel, tetap mendapat eksposur sentimen positif dari penguatan harga komoditas logam secara umum.
Sementara itu, perusahaan konsumen timah seperti produsen solder, kabel, dan elektronik justru menghadapi tekanan. Biaya bahan baku yang lebih mahal bisa menggerus margin mereka, terutama jika kenaikan harga tidak bisa dialihkan ke konsumen akhir.
Secara lebih luas, sentimen kenaikan harga timah juga dapat memperkuat persepsi investor bahwa pemerintah serius menertibkan tata kelola pertambangan. Ini penting bagi pasar modal karena menambah kepastian regulasi, meski jangka pendeknya bisa menekan volume ekspor resmi akibat transisi dari tambang ilegal ke jalur legal.
Pasar saham cenderung menyukai kepastian, sehingga jika langkah ini konsisten diikuti dengan reformasi struktural, saham-saham komoditas bisa menikmati re-rating dalam beberapa bulan ke depan.
Dengan demikian, dinamika harga timah saat ini ibarat pedang bermata dua. Bagi emiten seperti TINS, kabar ini menjadi katalis positif yang bisa memperkuat kinerja keuangan. Namun bagi sektor hilir yang bergantung pada timah sebagai bahan baku, tantangan justru kian berat.
Investor kini akan mencermati apakah penguatan harga akan bertahan hingga kuartal keempat, atau justru kembali melemah seiring normalisasi permintaan pascalibur panjang di China.(*)