KABARBURSA.COM - Bank Indonesia (BI) melaporkan transaksi modal dan finansial mencatat surplus sebesar 2,7 miliar dolar AS pada triwulan II-2024, berbalik dari defisit 1,6 miliar dolar AS pada triwulan sebelumnya.
“Kinerja transaksi modal dan finansial membaik di tengah tingginya ketidakpastian pasar keuangan global,” ujar Kepala Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono, di Jakarta, Kamis 22 Agustus 2024.
Erwin menjelaskan, surplus ini terutama didorong oleh aliran modal asing yang masuk melalui investasi portofolio, meski volatilitas pasar global masih tinggi.
Investasi langsung tetap mencatat surplus, mencerminkan optimisme investor terhadap prospek ekonomi nasional serta iklim investasi yang kondusif.
Sementara itu, investasi lainnya menunjukkan penurunan defisit akibat berkurangnya investasi swasta pada instrumen finansial luar negeri, meskipun ada peningkatan pembayaran utang luar negeri swasta sesuai jadwal.
Ke depan, neraca transaksi modal dan finansial diperkirakan akan terus mencatatkan surplus, didukung oleh peningkatan arus modal asing baik melalui Penanaman Modal Asing (PMA) maupun investasi portofolio. Hal ini didorong oleh persepsi positif investor terhadap prospek perekonomian nasional serta imbal hasil investasi yang kompetitif.
Pada triwulan II-2024, total investasi yang masuk tercatat mencapai Rp428,4 triliun, tumbuh 22,5 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Penyerapan tenaga kerja juga meningkat signifikan, dengan lebih dari 677.623 tenaga kerja baru terserap melalui berbagai proyek investasi.
Selama semester pertama 2024, total investasi telah mencapai Rp829,9 triliun, atau 50,3 persen dari target tahunan. Capaian ini menumbuhkan keyakinan bahwa target tahunan sebesar Rp1.650 triliun akan tercapai.
Surat Berharga Negara
Bank Indonesia (BI) mencatat aliran modal asing di pekan ketiga bulan Agustus 2024 sebesar Rp9,67 triliun dengan rincian Rp7,36 triliun berasal dari pasar Surat Berharga Negara (SBN) dan Rp2,18 triliun dari Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
“Berdasarkan data transaksi dari tanggal 12-15 Agustus 2024, nonresiden tercatat beli neto Rp9,67 triliun,” kata Kepala Departemen Komunikasi BI, Erwin Haryono, dalam keterangannya, Jumat, 16 Agustus 2024.
Erwin juga mengungkap, berdasarkan data setelmen sampai dengan 15 Agustus 2024, nonresiden tercatat jual neto Rp11,54 triliun di pasar SBN. Sementara beli neto Rp179,37 triliun di SRBI dan beli neto Rp3,36 triliun di pasar saham.
Berdasarkan data setelmen hingga 15 Agustus 2024 pada semester-II 2024, nonresiden tercatat beli neto di SRBI sebesar Rp49,02 triliun, di pasar SBN sebesar Rp22,42 triliun, dan di pasar saham sebesar Rp3,02 triliun.
Di sisi lain, premi credit default swaps (CDS) Indonesia 5 tahun per 15 Agustus 2024 sebesar 71,80 bps, turun dibandingkan 9 Agustus 2024 sebesar 76,56 bps.
Sementara itu, posisi rupiah ditutup pada level Rp15.690 per dolar AS pada Kamis, 15 Agustus kemarin dengan Yield Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun turun ke 6,72 persen dan DXY melemah ke 102,98. Sementara Yield US Treasury (UST) Note 10 tahun turun ke level 3,91 persen.
Pada Jum’at, 16 Agustus 2024 kemarin, rupiah dibuka pada level Rp15.740 per dolar AS dengan Yield SBN 10 tahun naik ke 6,75 persen. Erwin menyebut, BI akan terus memperkuat koordinasi untuk memaksimalkan ketahanan eksternal ekonomi dalam negeri.
“Bank Indonesia terus memperkuat koordinasi dengan Pemerintah dan otoritas terkait serta mengoptimalkan strategi bauran kebijakan untuk mendukung ketahanan eksternal ekonomi Indonesia,” tutup Erwin.
Prediksi Risiko Ke Depan
Chief Economist Citibank Indonesia, Helmi Arman memprediksi, BI akan menurunkan suku bunga acuannya di sisa tahun 2024 ini. Hal itu dia ungkap mengacu pada SRBI 12 bulan sudah mengalami penurunan selama beberapa minggu terakhir dengan rata-rata 25 basis point dari sekitar 7,5 ke sekarang berada di kisaran 7,25.
“Dan perkiraan kami suku bunga kebijakan Bank Indonesia yang tujuh hari atau BI rate ini juga akan mulai turun di bulan September tahun ini,” kata Helmi di Jakarta, Kamis, 15 Agustus 2024.
Namun demikian, Helmi mengingatkan bahwa masih ada beberapa risiko ke depan yang perlu kita pantau. Pertama, meski inflow ke pasar keuangan Indonesia terutama ke pasar SBN, Citi Indonesia menilai modal masuk keseluruh negara berkembang belum begitu kuat jiak melihat dari data Global Fund Flows City.
“Jadi kami menduga ada indikasi bahwa inflow yang masuk ke Indonesia ini masih merupakan gejala atau akibat dari pergeseran posisi investor dalam portfolio-nya. Sementara portfolio-nya sendiri mungkin belum menerima inflow yang signifikan secara keseluruhan,” jelasnya.
Dengan demikian, kata Helmi, data tersebut berimplikasi pada keberlanjutan inflow ke Indonesia yang relatif lebih sensitif terhadap dinamika valuasi atau pergerakan harga-harga aset keuangan dalam negeri.
Di sisi lain, risiko eksternal juga terus membayangi kondisi pasar keuangan domestik, di mana Pemilu di Amerika Serikat (AS) akan digelar pada akhir tahun 2024. Pasar keuangan dalam negeri masih memastikan perang perang babak baru antara AS dengan Tiongkok.
“Sebagaimana kita lihat pada pemerintahan Presiden Trump 2016-2020, itu setiap terjadi pengenaan tarif dari AS terhadap barang-barang Tiongkok itu biasanya diikuti oleh penguatan dolar karena mata uang Tiongkok atau Chinese Yuan itu terdevaluasi,” ungkapnya.
Risiko terakhir yang dihadapi oleh pasar keuangan domestik berkaitan dengan posisi investor asing. Helmi memberikan penilaiannya bahwa terdapat instrumen monitor jangka pendek di Indonesia yang dapat mengalami perubahan signifikan jika terjadi penurunan suku bunga domestik di masa depan.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.