KABARBURSA.COM – Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali mempertegas sikapnya soal gelombang tarif impor besar-besaran yang ia luncurkan terhadap hampir seluruh negara mitra dagang. Dalam pernyataan terbaru yang disampaikan dari atas pesawat Air Force One, Trump menolak mundur dan menyebut tarif itu sebagai “obat” untuk memperbaiki sistem perdagangan global yang menurutnya timpang.
“Saya tidak ingin pasar dunia jatuh. Tapi saya juga tidak khawatir dengan pelemahan besar yang terjadi. Kadang, Anda memang harus minum obat pahit demi sembuh,” kata Trump kepada para jurnalis, dikutip dari AP di Jakarta, Senin, 7 April 2025.
Pernyataan itu disampaikan saat pasar keuangan global bersiap menghadapi pembukaan perdagangan Senin dengan potensi koreksi lanjutan. Sebelumnya, para penasihat ekonomi Trump berusaha menenangkan kekhawatiran pasar dengan menyebut lebih dari 50 negara telah menghubungi Washington untuk membuka negosiasi pencabutan tarif.
Menurut Trump, para pemimpin dunia kini “berebut” ingin mencapai kesepakatan dagang baru dengan AS. “Saya bilang ke mereka: kami tak ingin ada defisit perdagangan lagi dengan negara Anda. Bagi saya, defisit itu sama dengan kerugian. Kami ingin surplus, atau minimal impas,” ujarnya.
Kebijakan tarif ini akan mulai dipungut mulai Rabu pekan ini dan dianggap menandai awal dari era ketidakpastian ekonomi global yang baru, tanpa kejelasan kapan akan berakhir. Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, menegaskan bahwa praktik dagang yang tidak adil tidak bisa dinegosiasikan dalam hitungan hari. “Kita harus lihat dulu apa yang ditawarkan negara-negara itu, dan apakah itu bisa dipercaya,” ujarnya.
Trump, yang menghabiskan akhir pekan di Florida bermain golf, juga sempat menulis di media sosialnya: “KITA AKAN MENANG. TETAP TEGAR, ini tidak akan mudah.” Para menteri dan penasihat ekonominya pun turun ke media membela kebijakan tarif tersebut dan meredam ketakutan soal dampaknya terhadap perekonomian global.
“Tidak harus terjadi resesi. Siapa yang tahu bagaimana pasar akan bereaksi satu hari atau seminggu ke depan?” kata Bessent. “Yang kami fokuskan adalah membangun fundamental ekonomi jangka panjang untuk kemakmuran.”
Pasar Terjungkal, Bitcoin Ikut Lemas
Meski dibela oleh pemerintah AS, pasar tetap bereaksi keras. Kontrak berjangka saham AS anjlok pada Minggu malam. Indeks S&P 500 berjangka turun 2,5 persen, Dow Jones merosot 2,1 persen, sementara Nasdaq jatuh lebih dalam lagi hingga 3,1 persen. Bahkan Bitcoin, yang pekan lalu sempat stabil, kini ambruk hampir 6 persen.
Bursa Asia pun ikut terpukul. Indeks Nikkei 225 Tokyo langsung anjlok 8 persen tak lama setelah pasar dibuka. Saat siang, penurunan masih bertahan di angka 6 persen. Perdagangan kontrak Topix sempat dihentikan sementara akibat jatuhnya pasar berjangka AS. Di Hong Kong, indeks Hang Seng jeblok 9,4 persen. Sementara indeks Shanghai Composite di China amblas 6,2 persen.
Gelombang tarif yang diumumkan Trump pada 2 April lalu adalah wujud nyata dari janji kampanye lamanya. Tanpa persetujuan Kongres, ia langsung mengubah aturan perdagangan global sepihak. Dalam pandangan Trump, kesepakatan dagang yang selama ini dijalankan telah merugikan Amerika Serikat selama puluhan tahun.
Taruhan politiknya besar: rakyat AS harus rela membayar lebih mahal untuk kebutuhan sehari-hari demi mendukung visi ekonomi nasionalis Trump. Apakah rakyat akan bertahan dengan “obat pahit” itu? Pasar masih menunggu jawabannya.
Tarif Jadi Obat, Goldman Justru Sebut Ekonomi Makin Sakit
Meski Trump berulang kali menepis kemungkinan resesi dan menyebut tarif sebagai “obat” demi masa depan ekonomi yang kuat, pasar tak sepenuhnya yakin. Ketidakpastian kebijakan, tekanan biaya, dan gejolak di bursa saham membuat lembaga keuangan besar mulai menyusun ulang kalkulasi mereka. Salah satu yang paling vokal adalah Goldman Sachs—yang kini memberi sinyal bahwa risiko badai ekonomi tak lagi bisa dianggap angin lalu.
Lembaga keuangan global itu resmi menaikkan proyeksi risiko resesi di Amerika Serikat menjadi 45 persen dalam 12 bulan ke depan. Peningkatan ini disebut sebagai respons atas memburuknya sentimen pasar yang dipicu oleh ledakan tarif Presiden Donald Trump.
Sebelumnya, Goldman Sachs menempatkan probabilitas resesi di angka 35 persen. Namun lonjakan ketidakpastian kebijakan dan kondisi keuangan yang semakin ketat membuat lembaga ini merevisi perhitungannya. Mereka menilai tekanan terhadap belanja modal jauh lebih dalam dari asumsi awal.
Dan Goldman bukan satu-satunya. J.P. Morgan bahkan lebih pesimistis. Bank itu kini memproyeksikan peluang terjadinya resesi—baik di Amerika Serikat maupun secara global—telah mencapai 60 persen.
Yang menarik, revisi ini terjadi dalam waktu yang sangat cepat. Baru sebulan lalu, Goldman sudah mengerek proyeksi dari 20 ke 35 persen. Kala itu, mereka menyebut pondasi ekonomi AS mulai goyah dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Kini, dengan efek domino tarif yang semakin menekan kepercayaan bisnis dan belanja investasi, tanda-tanda perlambatan ekonomi terlihat makin kasat mata. Ini menjadi peringatan keras bahwa badai yang ditakuti pasar mungkin tinggal menunggu waktu.(*)
Trump Ogah Mundur dari Tarif, Sebut Obat Pahit Ekonomi Dunia
Trump tetap ngotot dengan kebijakan tarifnya meski pasar terguncang dan risiko resesi AS makin nyata menurut Goldman Sachs.
