Logo
>

USD14 Miliar Devisa dari Sektor ESDM, Analis Skeptis

Klaim ini tentu menarik perhatian, namun bagi para investor dan pelaku pasar, pertanyaan utamanya bukan sekadar semangat hilirisasi, melainkan apakah strategi pemerintah ini cukup konkret.

Ditulis oleh Dian Finka
USD14 Miliar Devisa dari Sektor ESDM, Analis Skeptis
Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia saat memberikan sambutan dalam acara halal bihalal Partai Golkar di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta Barat, Rabu, 16 April 2025. (Foto: KabarBursa/Dian Finka)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM — Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia baru-baru ini mengklaim bahwa sektor ESDM Indonesia berpotensi menyumbang devisa hingga USD10-14 miliar tanpa perlu mengubah regulasi yang ada. 

    Klaim ini tentu menarik perhatian, namun bagi para investor dan pelaku pasar, pertanyaan utamanya bukan sekadar semangat hilirisasi, melainkan apakah strategi pemerintah ini cukup konkret dan kredibel untuk mengatasi guncangan sentimen global yang kerap kali tidak terduga.

    Surya Rianto, founder Mikirduit.com, menekankan meski sektor ESDM punya potensi besar, tantangan yang ada saat ini tidak bisa dianggap remeh. 

    “Kalau mau dilakukan impor minyak dan liquified petroleum gas (LPG) dari Amerika Serikat (AS) memang bisa nutup sih. Ini jadi solusi. Untuk respons pasar, terserah bagaimana cara negosiasinya, yang penting timbal baliknya oke seperti tarif 0 persen. Kalau ada yang nyata seperti itu, baru bisa direspons pasar,” ujar Surya kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Kamis, 17 April 2025.

    Pernyataan Bahlil mengenai potensi devisa sektor ESDM tentu menggugah banyak pihak, namun bagi investor, fokus utama adalah bagaimana kebijakan tersebut dapat mempengaruhi valuasi saham-saham yang terlibat dalam hilirisasi.

    Saham-saham seperti PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Timah Tbk (TINS), PT Vale Indonesia Tbk (INCO), dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) selama ini menjadi indikator penting dalam mengukur sentimen pasar terhadap sektor hilirisasi ini.

    Namun, Surya mengingatkan bahwa ada sejumlah faktor yang perlu diperhatikan. "Terkait hilirisasi ini terkait program di mineral logam ya. Pemerintah baru saja nyesuain royalti terbaru, yang menurut kami dalam jangka pendek efeknya malah enggak terlalu oke untuk bisnis hilirisasi," katanya.

    "Karena harga nikel lagi di bawah ditambah kenaikan royalti. Ini bisa jadi seleksi alam untuk menurunkan produksi nikel di Indonesia," tambah Surya.

    Meski demikian, Surya tetap melihat prospek positif dalam jangka panjang. “Tapi sektor ini tetap menarik sih menurut saya karena mereka butuh penyesuaian keseimbangan antara supply dan demand. Kebijakan royalti ini bisa membantu menyesuaikan dari supply sambil tunggu demand-nya pulih.” lanjutnya.

    Ketegangan tarif global yang terus berlanjut memicu kekhawatiran di kalangan investor. Dengan volatilitas pasar yang meningkat, banyak yang bertanya-tanya sektor mana yang lebih resilient dan layak dilirik untuk memperkuat portofolio defensif di tengah ketidakpastian ini.

    Menurutnya, dalam kondisi ketegangan pasar yang terus berlanjut, langkah pertama yang bijak adalah mempertahankan likuiditas. 

    "Kalau ketegangan berlanjut, ya lebih baik stay cash dulu saja di reksa dana pasar uang atau obligasi negara. Nanti, kalau sudah mulai kelihatan ketegangan mereda, baru kita bisa cicil ke saham-saham yang murah, baik itu saham siklikal maupun defensif," jelas Surya.

    Surya juga menyarankan untuk mengambil pendekatan bertahap dalam membeli saham, terutama saham yang undervalued

    "Kalau mau, bisa cicil di saham yang murah saat ini. Saham-saham big bank, misalnya, masih cukup murah. Jika ingin mengambil risiko sedikit lebih tinggi, saham-saham nikel seperti INCO dan NCKL juga bisa menjadi pilihan," tambahnya.

    Selain itu, Surya juga menyoroti sektor telekomunikasi, yang menurutnya cukup defensif di tengah ketidakpastian pasar. 

    "Saham menara telekomunikasi seperti TOWR juga sudah cukup murah. Ini bisa jadi pilihan defensif yang menarik, mengingat kebutuhan terhadap infrastruktur telekomunikasi terus meningkat," katanya.

    Namun, Surya mengingatkan agar investor tidak terburu-buru untuk mengejar saham-saham logam yang sudah mengalami kenaikan harga yang signifikan. 

    "Untuk saham-saham logam yang sudah naik tinggi, sebaiknya kita wait and see dulu saja. Jangan tergoda untuk masuk terlalu cepat, karena harga bisa saja terkoreksi lagi," tutupnya.

    RI Balas AS Lewat Hilirisasi

    Sebelumnya diberitakan Kabarbursa.com, Bahlil menanggapi santai kebijakan AS yang menaikkan tarif impor terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia. 

    Menurutnya, langkah ini bukan sesuatu yang perlu ditanggapi secara reaktif, tetapi justru menjadi momentum untuk memperkuat strategi ekonomi nasional melalui hilirisasi dan optimalisasi sektor energi.

    “Kita tahu, dalam 1-2 minggu terakhir ini hampir setiap hari kita membaca berita soal kenaikan tarif perdagangan oleh Amerika. Dan Indonesia termasuk yang dikenakan tarif sebesar 32 persen. Tapi saya bilang, ini biasa aja. Jangan ditanggapi seperti dunia mau kiamat,” ujar Bahlil.

    Menurut Bahlil, strategi seperti ini sudah menjadi pola lama dalam diplomasi perdagangan global. 

    “Kalau kita ingin ajak orang kompromi tapi dia enggak mau datang, ya kita bikin gerakan tambahan. Itu yang dilakukan Amerika sekarang. Dan itu sah-sah saja,” katanya.

    Bahlil menyebut bahwa berdasarkan data BPS yang sudah dikonfirmasi ke Kementerian Perdagangan, neraca dagang Indonesia terhadap Amerika masih defisit sekitar USD14,6 miliar pada tahun 2024.

    Karena itu, pemerintah perlu menyiapkan strategi penyeimbang untuk memperkecil defisit tersebut. Salah satunya melalui sektor ESDM.

    “Kami sudah lapor ke Presiden. Kita bisa geser dari sektor ESDM untuk menambah devisa 10 sampai 14 miliar USD, salah satunya dari pembelian LPG dan cloth dari Amerika,” aku Bahlil.

    Lebih lanjut, strategi ini bisa dilakukan tanpa harus mengubah regulasi fundamental yang sudah baik, termasuk kebijakan hilirisasi dan industrialisasi.

    Menteri ESDM ini juga merespons wacana menjadikan mineral kritis Indonesia sebagai alat tawar dalam kerja sama dagang dengan Amerika. Menurutnya, ini bukan ancaman, tapi peluang.

    “Kita harus membuka diri. Critical mineral bukan alat tekanan, tapi bisa jadi bagian dari kerja sama bilateral kita. Kita senang kalau bisa membawa mineral itu ke meja dialog internasional,” jelasnya. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.