Logo
>

Utang Publik Indonesia Tembus Ribuan Triliun: Siapa Tanggung Bebannya?

Mengutip publikasi Kementerian Keuangan RI, total nilai utang sektor publik Indonesia sampai akhir kuartal III-2024, telah mencapai Rp16.601,02 triliun.

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Utang Publik Indonesia Tembus Ribuan Triliun: Siapa Tanggung Bebannya?
Ilustrasi utang. Foto: dok KabarBursa.com

KABARBURSA.COM - Ketika angka utang publik Indonesia menembus ribuan triliun rupiah, banyak warga mungkin hanya menanggapinya dengan anggukan kosong—menganggap itu sekadar urusan pemerintah. 

Padahal, di balik nominal fantastis tersebut, tersembunyi konsekuensi yang langsung atau tak langsung harus ditanggung oleh masyarakat luas, dari generasi kini hingga mendatang.

Mengutip publikasi Kementerian Keuangan RI, total nilai utang sektor publik Indonesia sampai akhir kuartal III-2024, telah mencapai Rp16.601,02 triliun.

Dengan angka Produk Domestik Bruto (PDB) senilai Rp20.892,4 triliun, total utang sektor publik Indonesia tersebut setara dengan 79,5%. Sebagai perbandingan, 10 tahun lalu, rasio utang publik terhadap PDB Indonesia baru di angka 57,02%.

Utang sektor publik yang makin membengkak itu terdiri atas utang Pemerintah (pusat dan daerah) senilai Rp8.607,64 triliun, lalu utang BUMN nonkeuangan Rp1.021,02 triliun. Juga, utang BUMN sektor keuangan sebesar Rp6.972,35 triliun.

Angka terkini hingga akhir 2024 kemungkinan akan lebih besar lagi. Data terakhir yang dirilis per akhir November, posisi utang Pemerintah RI mencapai Rp8.680,13 triliun, setara dengan 39,20% dari PDB.

Ekonom dari Universitas Andalas Syafruddin Karimi mengatakan yang berutang memang pemerintah, tapi yang membayar tetap rakyat. Lewat pajak, inflasi tersembunyi, atau pengurangan anggaran sektor penting seperti pendidikan dan kesehatan.

"Beban utang publik bukanlah isu teknokratis semata, melainkan persoalan distribusi tanggung jawab antarwarga negara," ungkap dia dalam keterangan resmi, jumat 4 Juli 2025

Dari Stimulus ke Beban Struktural

Secara teori, utang publik adalah alat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Banyak negara, termasuk Jepang dan Amerika Serikat, menggunakan utang sebagai instrumen kebijakan fiskal. Begitu pula Indonesia, terutama pasca krisis moneter 1997 dan pandemi COVID-19, menjadikan utang sebagai penyelamat ekonomi nasional: dari bansos, vaksinasi massal, hingga pemulihan UMKM.

Namun, Karimi mengingatkan bahwa utang menjadi masalah ketika digunakan tidak untuk belanja produktif, melainkan terserap ke birokrasi atau bahkan bocor lewat korupsi.

"Dalam konteks itu, utang justru membebani pertumbuhan dan menciptakan risiko fiskal jangka panjang," terangya

Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa pada tahun 2024, pembayaran bunga utang diperkirakan mencapai lebih dari Rp 500 triliun—belum termasuk pelunasan pokok. Di tengah tax ratio yang stagnan di kisaran 10–11 persen, beban tersebut hanya ditanggung oleh segelintir pembayar pajak aktif, termasuk buruh formal dan pelaku usaha yang patuh pajak.

Warisan Fiskal untuk Generasi Muda

Yang paling rentan menanggung beban ini, ujar Karimi, justru generasi muda. “Mereka mewarisi bukan hanya nominal utang, tapi juga ruang fiskal yang makin menyempit. APBN ke depan tak lagi fleksibel karena separuhnya habis untuk bayar utang," tambahnya

Konsekuensinya: subsidi bisa dikurangi, pembangunan bisa ditunda, dan pajak bisa dinaikkan.

Ia menekankan pentingnya orientasi jangka panjang dalam penggunaan utang. Bila utang hanya digunakan untuk belanja yang bersifat politis atau jangka pendek, maka ia berubah menjadi alat survival politik, bukan instrumen pembangunan.

Yang Perlu Diwaspadai Bukan Utangnya, Tapi Cara Mengelolanya

Syafruddin Karimi tak menolak utang sebagai alat fiskal. Justru menurutnya, yang seharusnya menjadi kekhawatiran publik adalah cara kita mengelola utang itu.

Bila dikelola dengan transparansi, akuntabilitas, dan digunakan untuk proyek-proyek produktif, maka utang bisa memperkuat daya saing nasional.

Namun jika sebaliknya, utang tanpa arah hanya akan memperdalam ketimpangan dan memperlemah kapasitas negara dalam merespons krisis. 

Di titik ini, ia mendorong agar masyarakat mulai aktif menuntut transparansi atas setiap pinjaman yang diambil pemerintah.

“Berapa realisasi proyeknya? Apa dampaknya? Apakah manfaatnya sebanding dengan bunga yang kita bayarkan?” tanya Karimi

Mendesak: Akuntabilitas dalam Demokrasi Fiskal

Terakhir, Syafrudin megingatkan utang publik bukan hanya angka, tetapi kontrak sosial antargenerasi. Dengan kata lain, keputusan fiskal hari ini menentukan ruang gerak ekonomi anak-anak bangsa di masa depan.

Pemerintah perlu lebih dari sekadar menjamin solvabilitas (kemampuan membayar). Harus ada penekanan pada kebermanfaatan dan efisiensi.

Ia menyerukan agar Kementerian Keuangan, Bappenas, dan parlemen melakukan pengawasan yang lebih tajam dan jujur terhadap peruntukan dan hasil dari utang negara.

“Utang negara sejatinya adalah utang publik. Dan dalam demokrasi, publik wajib mengetahui dan mengawasi bagaimana utang itu digunakan," tandasnya.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Ayyubi Kholid

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.