KABARBURSA.COM - Presiden Donald Trump kembali bikin gebrakan di awal April 2025. Rabu kemarin, ia mengumumkan tarif impor terbaru yang bisa dibilang sebagai perombakan besar-besaran kebijakan dagang Amerika Serikat. Levelnya mungkin cuma bisa disaingi masa pasca-Perang Dunia II.
Dulu, AS yang ngajak dunia dagang bebas bareng-bareng lewat General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) tahun 1947 sampai berdirinya World Trade Organization (WTO) tahun 1995. Sekarang, di tangan Trump, justru balik kanan, semua barang impor dipalakin tarif, seolah AS mau tutup pintu dagang dan bikin sistem main sendiri.
Lewat kebijakan ini, semua barang impor ke AS bakal dikenakan tarif sepuluh persen secara menyeluruh mulai 5 April. Tapi bukan Trump namanya kalau setengah-setengah. Beberapa negara yang dianggap “nakal” dalam urusan dagang akan mendapat tarif yang lebih tinggi dan mulai berlaku 9 April.
China kena 34 persen, Eropa 20 persen, dan Jepang 24 persen. Semua ini di luar tarif-tarif yang sudah diberlakukan sejak awal masa jabatan keduanya—mulai dari produk asal Kanada, Meksiko, China, sampai baja dan aluminium.
Trump berargumen bahwa tarif ini akan membangkitkan lagi industri manufaktur AS, menekan defisit perdagangan, dan membantu mengurangi utang negara. Tapi tentu saja, tidak semua setuju. Para pengkritik menilai langkah ini bisa mengacaukan perdagangan global dan mendorong inflasi lebih tinggi.
Tarif apa saja yang diumumkan Trump?
Mulai 5 April, semua barang impor ke AS akan dikenakan tarif sepuluh persen. Tapi, khusus untuk negara-negara tertentu, ada tarif tambahan yang lebih tinggi. Mulai 9 April, China akan dikenai tarif 34 persen, Eropa 20 persen, dan Jepang 24 persen.
Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) menyatakan angka-angka itu dihitung berdasarkan kebutuhan untuk menyeimbangkan defisit perdagangan bilateral antara AS dan masing-masing mitra dagangnya.
Gedung Putih mengklaim tarif baru ini didasarkan pada perhitungan berapa besar tarif yang dikenakan negara lain terhadap AS. Untuk hampir seratus negara—termasuk Uni Eropa yang dianggap satu blok—perhitungan tarif mengikuti satu rumus dasar, yakni nilai defisit perdagangan barang AS dengan negara tersebut dibagi jumlah barang yang diimpor AS dari sana.
Ambil contoh China. Defisit perdagangan barang AS dengan China pada 2024 diperkirakan sekitar USD295 miliar (sekitar Rp4.808 triliun), sementara impor dari China mencapai USD439 miliar (sekitar Rp7.155 triliun). Dibagi, hasilnya sekitar 67 persen. Nah, angka itu kemudian dibelah dua, sehingga jadilah tarif 34 persen yang kini ditetapkan untuk China.
Sebagai perbandingan, menurut Peterson Institute for International Economics, tarif China terhadap produk asal AS per Maret lalu masih di kisaran 23 persen.
Tarif baru ini akan bertumpuk di atas tarif 20 persen yang sebelumnya diberlakukan oleh Trump terkait isu fentanyl, ditambah berbagai tarif yang sudah diberlakukan sejak masa jabatan pertamanya—termasuk yang dilanjutkan oleh Presiden Joe Biden.
Dalam pidato yang sama, Trump juga memastikan bahwa tarif 25 persen untuk mobil buatan luar negeri akan berlaku mulai 3 April.
Apa itu tarif impor dan siapa yang akhirnya harus bayar?
Tarif pada dasarnya adalah pajak atas barang yang masuk ke AS. Yang pertama kali merasakan beban tentu saja adalah perusahaan-perusahaan Amerika dan para pelaku bisnis yang langsung mengimpor barang dari luar negeri. Tapi beban itu bisa bergulir ke hilir karena pelaku usaha tentu akan mempertimbangkan kembali harga jual dan permintaan pasar.
Kalau para importir ingin menekan dampak tarif, mereka bisa saja menaikkan harga jual. Ujung-ujungnya, beban itu pindah ke konsumen dan pelaku usaha lainnya di dalam negeri. Tapi rasa sakitnya bisa berbalik juga—banyak importir AS mungkin akan mengurangi jumlah pesanan barang yang kini jadi terlalu mahal karena kena tarif.
Barang dan Negara Mana Saja yang Akan Kena Dampak?
Perusahaan-perusahaan yang mengimpor barang ke Amerika Serikat sekarang harus siap bayar tarif tambahan sepuluh persen—baik itu untuk barang kebutuhan sehari-hari seperti sereal dari Meksiko, sampai barang mewah seperti mobil Volkswagen dari Jerman.
Karena besaran tarif bervariasi tergantung negara asal barang, dampaknya pun tidak merata. Ada yang kena sedikit, tapi ada juga yang benar-benar dibabat habis.
Negara-negara seperti Vietnam, Sri Lanka, dan Laos masuk daftar dengan tarif resiprokal tertinggi: masing-masing sebesar 46 persen, 44 persen, dan 48 persen. Sementara itu, China—mitra dagang terbesar kedua Amerika—kena tambahan tarif 34 persen, di luar yang sudah dikenakan sebelumnya.
Kenapa Trump Pilih Menggunakan Tarif?
Menurut Trump, tarif ini adalah cara jitu buat melindungi bisnis dalam negeri, memindahkan pabrik ke tanah Amerika sendiri, dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja buat pekerja lokal. Ia juga menyebut tarif sebagai alat untuk menekan defisit perdagangan alias selisih antara barang yang diimpor dengan yang diekspor Amerika.
Tapi banyak ekonom tidak sepakat. Mereka bilang tarif adalah alat yang terlalu kasar untuk menyelesaikan persoalan perdagangan. Alih-alih menyelamatkan, tarif malah bisa menaikkan harga barang dan memperberat beban konsumen serta pelaku usaha di AS.
Trump juga sempat menjadikan tarif sebagai alat tekan politik. Contohnya, ketika ia menggertak akan mengenakan tarif ke Kanada dan Meksiko awal tahun ini, kedua negara itu buru-buru janji buat memperketat pengawasan perbatasan agar bisa menekan arus migrasi dan penyelundupan narkoba. Gagasan tarif ini ternyata cukup ampuh meraih dukungan dari basis politik Trump yang anti-impor.
Apa Dampaknya Bagi Konsumen dan Bisnis di Amerika?
Pengumuman tarif terbaru ini langsung bikin indeks saham berjangka AS turun. Para investor khawatir kebijakan ini bakal memperlambat pertumbuhan ekonomi dan bikin inflasi makin tinggi. Bahkan sebelum pengumuman resmi, kekhawatiran soal tarif tambahan sudah bikin pasar gelisah—ada yang mulai bicara risiko resesi.
Bagi pelaku usaha, setidaknya sekarang ada kepastian. Tapi karena skema tarifnya cukup luas dan rumit, banyak perusahaan bakal butuh waktu untuk memahami betul cara kerjanya.
Mayoritas ekonom yakin tarif akan membuat harga barang-barang naik. Perusahaan bakal menyiasatinya dengan menaikkan harga jual, artinya konsumen AS yang akhirnya menanggung sebagian besar beban.
Firma BlueBay Asset Management, anak usaha RBC Global Asset Management, memperkirakan tarif baru ini akan mendorong inflasi AS naik satu persen. Pertumbuhan ekonomi pun diprediksi melambat menjadi 1,5 persen, tapi mereka meyakini AS belum akan jatuh ke jurang resesi.
Yang jelas, bahkan sebelum tarif ini diumumkan, keluarga-keluarga di AS sudah mulai mengerem pengeluaran. Penjualan maskapai penerbangan dan toko serba ada mulai menunjukkan pelemahan.
Pabrikan mobil dan suku cadangnya juga sudah mewanti-wanti bahwa beban tarif ini sebagian besar akan dialihkan ke konsumen. Morgan Stanley memperkirakan harga kendaraan bisa naik antara sebelas sampai dua belas persen untuk mengompensasi beban tarif.
Bagaimana Dampaknya terhadap Indonesia?
Meski tarif baru ini ditujukan langsung ke mitra dagang utama Amerika seperti China, Jepang, dan Eropa, negara-negara seperti Indonesia tetap harus waspada. Soalnya, perubahan besar dalam arsitektur dagang global biasanya memicu efek limpahan (spillover)—baik secara langsung maupun tidak langsung.
Dari sisi positif, bisa jadi Indonesia akan kecipratan peluang. Ketika produk China atau Eropa jadi lebih mahal di pasar AS karena tarif tinggi, pelaku usaha Indonesia bisa mengisi celah itu—asal bisa bersaing dari segi harga dan kualitas. Sektor yang berpeluang misalnya elektronik, komponen otomotif, atau tekstil.
Tapi jangan senang dulu. Di sisi lain, kondisi ini juga bisa memperparah ketidakpastian pasar global. Kalau perang dagang makin panas, negara-negara bisa saling balas tarif. Permintaan global melambat, investor jadi ogah ambil risiko, dan ekonomi dunia bisa tergelincir. Kalau ini terjadi, Indonesia—yang ekonominya masih sangat bergantung pada ekspor dan investasi asing—bisa ikut meriang.
Belum lagi kalau negara-negara seperti China memutuskan untuk buang barang ke pasar alternatif termasuk Asia Tenggara karena kehilangan akses ke pasar AS. Ini bisa bikin Indonesia kebanjiran barang impor murah yang memukul industri dalam negeri.
Intinya, Indonesia perlu bersiap menghadapi dua sisi koin: peluang dari pasar yang bergeser dan risiko dari guncangan global yang makin tak terduga. Pemerintah dan pelaku usaha harus jeli membaca perubahan ini, jangan sampai cuma jadi penonton saat peta dagang dunia digambar ulang.(*)
Yang Perlu Kamu Tahu soal Tarif Terbaru dari Trump
Trump tetapkan tarif puluhan persen untuk semua impor dan tarif tambahan bagi China, Jepang, serta Eropa. Kebijakan ini dinilai sebagai langkah proteksionis besar.
