KABARBURSA.COM - Delisting dan relisting merupakan dua istilah penting dalam dunia pasar modal yang perlu dipahami oleh investor, terutama bagi pemula yang sedang mulai mendalami investasi saham di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Delisting adalah proses di mana suatu perusahaan dikeluarkan dari papan pencatatan di bursa efek, yang berarti saham perusahaan tersebut tidak lagi diperdagangkan secara terbuka di pasar modal. Hal ini bisa terjadi karena berbagai alasan, seperti kinerja keuangan yang buruk, pelanggaran terhadap regulasi pasar modal, atau keputusan sukarela dari perusahaan.
Relisting, di sisi lain, adalah kebalikan dari delisting. Ini adalah proses kembali tercatatnya perusahaan yang sebelumnya telah keluar dari papan pencatatan bursa efek. Relisting terjadi setelah perusahaan memperbaiki masalah yang menyebabkan delisting atau memenuhi kembali persyaratan yang ditetapkan oleh bursa efek untuk kembali terdaftar dan diperdagangkan.
Direktur Penilaian Perusahaan PT Bursa Efek Indonesia (BEI), I Gede Nyoman Yetna, menjelaskan bahwa peraturan mengenai delisting dan relisting tertuang dalam aturan Bursa nomor 1 N. Peraturan ini mencakup proses delisting dan relisting untuk saham, efek bersifat utang, dan sukuk. Nyoman menegaskan bahwa relisting juga berlaku untuk saham, sehingga proses ini tidak hanya terkait dengan efek bersifat utang dan sukuk.
Menurut Nyoman, ada dua model delisting yang diatur dalam peraturan tersebut. Pertama adalah sukarela atau voluntary delisting, di mana perusahaan memutuskan untuk keluar dari papan pencatatan bursa secara sukarela. Kedua adalah forced delisting, di mana delisting dilakukan dengan paksa oleh regulator berdasarkan evaluasi dan monitoring terhadap kinerja atau kepatuhan perusahaan terhadap regulasi pasar modal.
Nyoman juga menyebutkan bahwa aturan mengenai delisting dan relisting sudah ada beberapa tahun lalu, namun saat ini aturan tersebut sedang disesuaikan dengan terbitnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 3 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan kegiatan di bidang pasar modal. Perubahan ini mencakup kewajiban buyback saham dan metode penentuan pricing dari buyback tersebut.
Penyesuaian aturan dilakukan untuk mengharmonisasi peraturan di bursa dengan peraturan yang lebih tinggi dari OJK. Hal ini bertujuan untuk memperkuat kerangka regulasi pasar modal dan memberikan arahan yang jelas bagi pelaku pasar dalam melakukan transaksi yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dampak delisting bagi emiten
Direktur Penilaian Perusahaan PT Bursa Efek Indonesia (BEI), I Gede Nyoman Yetna, menjelaskan bahwa peraturan mengenai delisting dan relisting tertuang dalam aturan Bursa nomor 1 N. Peraturan ini mencakup proses delisting dan relisting untuk saham, efek bersifat utang, dan sukuk. Nyoman menegaskan bahwa relisting juga berlaku untuk saham, sehingga proses ini tidak hanya terkait dengan efek bersifat utang dan sukuk.
Menurut Nyoman, ada dua model delisting yang diatur dalam peraturan tersebut. Pertama adalah sukarela atau voluntary delisting, di mana perusahaan memutuskan untuk keluar dari papan pencatatan bursa secara sukarela. Kedua adalah forced delisting, di mana delisting dilakukan dengan paksa oleh regulator berdasarkan evaluasi dan monitoring terhadap kinerja atau kepatuhan perusahaan terhadap regulasi pasar modal.
Nyoman juga menyebutkan bahwa aturan mengenai delisting dan relisting sudah ada beberapa tahun lalu, namun saat ini aturan tersebut sedang disesuaikan dengan terbitnya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nomor 3 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan kegiatan di bidang pasar modal. Perubahan ini mencakup kewajiban buyback saham dan metode penentuan pricing dari buyback tersebut.
Penyesuaian aturan dilakukan untuk mengharmonisasi peraturan di bursa dengan peraturan yang lebih tinggi dari OJK. Hal ini bertujuan untuk memperkuat kerangka regulasi pasar modal dan memberikan arahan yang jelas bagi pelaku pasar dalam melakukan transaksi yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Perlindungan kepada investor
Nyoman menyatakan bahwa pihaknya akan memberikan pengumuman secara periodik kepada publik mengenai rencana delisting. Jika dalam 6 bulan pertama tidak ada perubahan yang signifikan dari perusahaan yang akan mengalami delisting, pengumuman akan tetap diberikan kepada publik hingga 24 bulan.
“Dengan memberikan pengumuman secara berkala, kami memberikan sinyal kepada pasar modal sehingga investor dapat memahami konsekuensi dari proses delisting terhadap perusahaan. Kami akan memberikan pengumuman setiap 6 bulan sebanyak 4 kali selama 24 bulan, sehingga investor dapat mengambil keputusan investasi yang sesuai dengan kondisi perusahaan,” ujar Nyoman.
Pendekatan ini memastikan bahwa pasar modal tetap diberikan informasi yang transparan dan jelas mengenai kondisi perusahaan yang akan mengalami delisting. Hal ini juga memberikan kesempatan bagi investor untuk mengevaluasi investasi mereka berdasarkan informasi yang terkini dan mempertimbangkan strategi investasi yang tepat sesuai dengan situasi yang ada.
Biaya delisting
Nyoman menjelaskan bahwa pihaknya juga memberlakukan biaya delisting kepada perusahaan yang mengalami delisting. Biaya ini telah ditingkatkan dari sebelumnya 2 kali menjadi 5 kali, dengan tujuan agar perusahaan lebih mempertimbangkan untuk mempertahankan posisinya sebagai perusahaan tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI).
“Dengan menaikkan biaya delisting menjadi 5 kali lipat, kami ingin memberikan insentif kepada perusahaan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan statusnya sebagai perusahaan tercatat di BEI. Biaya delisting yang kami kenakan bukan semata-mata untuk mendapatkan pendapatan bagi bursa, tetapi juga untuk mendorong perusahaan tercatat agar terus meningkatkan kinerja dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh bursa,” tegas Nyoman.
Pendekatan ini menggarisbawahi pentingnya kualitas dan integritas perusahaan yang tercatat di bursa, serta memberikan insentif bagi perusahaan untuk terus memperbaiki kinerja dan tindakan mereka agar tetap mempertahankan posisi yang baik di pasar modal. (*)