KABARBURSA.COM - Full Call Auction (FCA) akhir-akhir ini ramai diperbincangkan di kalangan investor yang dinilai tidak transparan dan merugikan. FCA merupakan mekanisme perdagangan di mana investor akan melakukan order beli atau jual di harga bid atau ask tertentu yang akan dikumpulkan dan diperjumpakan (match) pada selang waktu tertentu. Harga match sendiri ditentukan berdasarkan volume terbesar.
Menurut manajemen Bursa Efek Indonesia (BEI), tujuan implementasi papan ini untuk meningkatkan proteksi terhadap investor dengan cara menempatkan saham dengan kriteria tertentu pada papan yang memiliki kriteria terpisah. Selain itu, juga untuk meminimalisir pembentukan harga yang tidak wajar dan proses price discovery yang lebih sesuai untuk saham dengan likuiditas rendah.
Sebelumnya, mekanisme perlindungan investor hanya terbatas pada pengenaan sunspensi dan sanksi, sehingga papan ini memungkinkan saham untuk dapat ditransaksikan secara khusus dengan batas bawah transaksi Rp1.
Namun, salah satu emiten yang terkena dampak dari FCA, milik Prajogo Pangestu yaitu PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN) sudah berada di papan pemantauan khusus dan diberikan notasi khusus oleh bursa, X, yang artinya saham bersangkutan dalam pemantauan khusus oleh bursa.
Sistem pemamtauan khusus oleh bursa tersebut menjadikan BREN hanya bisa menggunakan sistem FCA, maka investor yang memiliki saham BREN tidak bisa mengamati bid offer sebagaimana perdagangan saham biasa. Fitur yang disajikan bursa hanya IEP dan Indicative Equilibrium Volume (IEV).
Setelah BREN, terhitung hingga 31 Mei 2024, ada 54 emiten yang menyusul masuk dalam papan pemantauan khusus. Salah satunya adalah saham milik Bakrie, yaitu BNBR. Emiten tersebu masuk dalam pemantauan khusus dengan kriteria harga rata-rata saham selama 6 bulan terakhir di Pasar Reguler dan/atau Pasar Reguler Periodic Call Auction kurang dari Rp51,00.
Ada banyak akibat yang ditimbulkan dari hal ini, salah satunya anjloknya IHSG hingga 6970 atau turun 0,90 persen, yang membuatnya susah bangkit kembali.
Tetapi, kondisi ini ditanggapi biasa saja oleh Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI Irvan Susandy. Menurut dia,turbulensi kecil-kecilan di IHSG adalah hal yang wajar.
"Turbulensi ini wajar sebagai respon atas perkembangan pasar dan kinerja. Saya yakin, market akan melakukan penyesuaian terkait perubahan yang terjadi, baik secara makro, mikro, regional ataupun global," kata Irvan, dikutip Minggu (2/6/2024).
Berbeda pandangan, Investment Consultant sekaligus Founder of Indonesia Investment Education Rita Effendy, dalam reels Instagramnya berkomentar, FCA sudah memberikan kekecewaan kepada investor sejak diluncurkan.
"Memang dari awal, saya sudah sangat tidak setuju, terutama dengan nomor 10 dan 11 FCA, karena 10 itu jika saham itu akan disuspend lebih dari satu hari karena perdagangan. Padahal, kalau memang saham itu ada story, berarti kan ada yang minat beli," ucap Rita.
Ia menambahkan, para investor sudah lama sekali menyuarakan tentang FCA ini. Sementara dari pihak otoritas tidak mendengarkan aspirasinya.
Sebagau informasi, pada Kamis (30/5/2024), sebegai bentuk kekecewaan terhadap peraturan FCA oleh BEI, para investor mengirimkan dua karangan bunga yang bertuliskan "Rest in peace kebijakan FCA BEI" dan "Tolong ubah FCA! Nggak kondusif untuk market". Karangan bunga tersebut tertulis atas nama Devin Hutapea dan Dayat Subagja.
Sebagaimana diketahui, BEI telah resmi menerapkan Papan Pemantauan Khusus (PPK) tahap II dengan menggunakan skema FCA sejak 25 Maret 2024. PPK merupakan papan pencatatan untuk Perusahaan Tercatat yang memenuhi kriteria tertentu yang ditetapkan oleh BEI.
Saham-saham yang ditransaksikan secara call-auction adalah untuk penghuni PPK. Sementara saham di luar PPK diperdagangkan secara biasa atau reguler (continuous auction).
Adapun implementasi PPK tahap II (full periodic call auction) juga merupakan tindak lanjut dari PPK tahap I (hybrid call auction) yang telah diimplementasikan sejak 12 Juni 2023 untuk saham yang memiliki masalah likuiditas.
Menguap Rp400 Triluan dalam Sepekan
Dalam hitungan minggu ini, kapitalisasi pasar BREN diperkirakan lenyap hingga Rp401,36 triliun. Dari harga tertinggi di atas Rp12.175 per lembar saham, di akhir pekan berada di level Rp8.225 per lembar. Padahal jika melihat pergerakan saham BREN sejak listing, bisa dibilang sangat volatile, di mana harga meroket drastis dalam dua bulan dan menembus Rp8.000 per le,bar. Namun, dua hari berikutnya anjlok hingga ke level Rp4.000 per lembar (turun 50 persen).
Di sinilah BEI meresponnya dengan melakukan suspensi, karena kenaikan saham BREN juga terjadi saat investor ritel menyusut dan volume transaksi perdagangan menurun. Bursa juga mempertanyakan kenaikan harga saham BREN yang terjadi saat volume transaksi dan transaksi ritel emiten turun.
Di sini, manajemen BREN memberikan jawabannya. Bahwa peningkatan harga dan volume transaksi yang terjadi dalam dua bulan terakhir diduga akibat masuknya saham Perseroan ke dalam S&P Global Clean Energy Index & iShares Clean Energy pada 19 April 2024.
Faktor lainnya adalah energi baru terbarukan merupakan sektor yang sedang mendapat perhatian luas secara global dan sangat diminati. Selain itu karena keinginan investor untuk memegang saham perseroan dalam jangka panjang, termasuk yang disebabkan oleh adanya kewajiban kepada institusi atau industri tertentu untuk memiliki portofolio investasi di sektor energi terbarukan.
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.