KABARBURSA.COM - Dugaan keuntungan Rp62,14 miliar yang diterima PT Vale Indonesia Tbk (INCO) melalui pembelian solar nonsubsidi di bawah harga pasar dinilai membuka persoalan tata kelola energi dalam industri nikel.
Ekonom Universitas Andalas, Syafruddin Karimi, menilai kasus tersebut bukan semata urusan korporasi, tetapi menyangkut beban ekonomi yang berpotensi ditanggung negara.
Menurutnya, pemerintah selama ini menempatkan nikel sebagai motor ekonomi baru, namun sejumlah persoalan lingkungan dan energi justru menunjukkan tanda bahaya.
“Di atas kertas, perusahaan tambang besar seperti Vale tampil sebagai mitra strategis. Di lapangan, rangkaian data tentang penurunan reklamasi, lonjakan emisi dan konsumsi energi, serta peningkatan limbah berbahaya justru menyalakan lampu peringatan,” ujarnya kepada KabarBursa.com Rabu 25 November 2025.
Ia menegaskan bahwa penundaan reklamasi tambang tidak sekadar masalah teknis, melainkan beban yang akan diwariskan kepada publik.
“Lahan bekas tambang yang belum dipulihkan sejatinya berubah menjadi stok kerusakan lingkungan yang terus menumpuk,” jelasnya.
Syafruddin menambahkan bahwa kerusakan tersebut sejatinya merupakan potensi beban fiskal.
“Stok kerusakan itu identik dengan utang kontinjensi yang tidak tercatat di neraca APBN hari ini, tetapi berpotensi muncul dalam bentuk proyek pemulihan besar-besaran, penanganan krisis air bersih, dan dukungan sosial bagi masyarakat,” katanya.
Ia juga mengkritik ketergantungan tinggi sektor nikel terhadap energi fosil. Menurutnya, pola konsumsi Vale memperlihatkan kontradiksi besar terhadap narasi transisi energi nasional.
“Produksi nikel yang menjadi kebanggaan ekspor justru menggandeng ketergantungan tinggi pada energi kotor,” tegasnya. I
Ia menilai celah akses energi murah yang diduga dinikmati Vale memperburuk masalah ini. “Distorsi ini merusak insentif untuk berinvestasi pada efisiensi, teknologi hemat energi, dan penggunaan sumber energi terbarukan,” tambahnya.
Syafruddin juga mengingatkan risiko terhadap penerimaan negara ke depan jika tata kelola ini dibiarkan.
“Pada akhirnya, bila standar impor global terhadap jejak karbon komoditas terus menguat, komoditas yang lahir dari proses intensif energi fosil berisiko terkena hambatan non-tarif, penurunan permintaan, atau diskon harga yang menggerus penerimaan devisa,” ujarnya.
Selain itu, ia menilai lonjakan limbah berbahaya (B3) dari operasi tambang berpotensi menjadi beban jangka panjang yang tidak terlihat hari ini.
“Limbah mengandung logam berat, oli, dan bahan berbahaya lain tidak menghilang setelah keluar dari area pabrik, melainkan mengendap dalam bentuk kewajiban jangka panjang,” kata Syafruddin. Ia menegaskan bahwa negara sering kali menjadi pihak terakhir yang menanggung biayanya. “Ketika perusahaan tidak lagi mampu menanggung biaya remediasi, negara yang akhirnya turun tangan,” ucapnya.
Menurut Syafruddin, rangkaian persoalan energi, reklamasi, limbah, dan dugaan skandal solar murah tersebut dapat menggerus reputasi investasi nasional. “Hilirisasi memang menambah kapasitas industri, tetapi tanpa tata kelola yang kuat, bonus investasi dapat berubah menjadi penalti reputasi,” jelasnya.
Ia menekankan bahwa momentum ini seharusnya menjadi koreksi kebijakan. Pemerintah perlu memperkuat standar reklamasi dan pengawasan emisi, menutup celah distorsi harga energi, serta memastikan kewajiban lingkungan dijalankan secara terukur dan transparan.
“Biaya murah yang dinikmati hari ini berpotensi berubah menjadi kerusakan mahal dalam bentuk risiko energi, risiko investasi, dan risiko fiskal di masa depan,” ujarnya.
Praktik Bisnis Tak Transparan dan Rugikan Negara
Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) menilai kasus penjualan solar nonsubsidi yang melibatkan PT Vale Indonesia tidak hanya persoalan jual beli bahan bakar dengan harga lebih murah dari ketentuan.
Keuntungan sebesar Rp62,14 miliar disebut dalam sidang dakwaan. Praktik lancung itu sebagai tanda adanya praktik bisnis yang tidak transparan dan berpotensi merugikan negara.
Koordinator Nasional JATAM, Melky Nahar, menilai keuntungan itu mengindikasikan adanya pola tata kelola yang tidak sehat, di mana perusahaan tambang bisa mendapatkan keuntungan tinggi dengan menekan biaya secara tidak wajar.
“Jadi, cara seperti ini menunjukkan bagaimana jejaring ekonomi-tambang kerap memperoleh insentif biaya rendah dengan mengorbankan transparansi dan akuntabilitas publik,” ujarnya kepada KabarBursa.com di Jakarta, Senin 24 November 2025.
Ia menjelaskan bahwa keuntungan semacam ini seringkali membuat perusahaan abai terhadap tanggung jawab lingkungan. Menurutnya, ketika perusahaan terbiasa memperoleh profit dari praktik yang tidak transparan, komitmen terhadap pengawasan pencemaran hingga pemulihan ekosistem kian terabaikan.
“Perusahaan yang memprioritaskan keuntungan melalui praktik korupsi seringkali mengabaikan mitigasi pencemaran, pelaporan lingkungan, dan program pemulihan ekosistem secara nyata,” tegasnya.
Melky juga menekankan bahwa pola keuntungan tersebut sangat mungkin mendorong perluasan kegiatan tambang tanpa diiringi peningkatan investasi pada perlindungan lingkungan, atau sekadar digunakan untuk kompensasi yang tidak menyelesaikan kerusakan secara mendasar.
"Meskipun tidak ada laporan publik yang membuktikan transfer langsung, namun pola keuntungan biaya rendah sangat mungkin digunakan untuk memperluas operasi tambang tanpa penambahan investasi lingkungan, atau justru dipakai mengkompensasi masyarakat secara “kosmetik” alih-alih memperbaiki kerusakan secara fundamental," jelasnya.
JATAM Laporkan Kerusakan Parah di Konsesi Vale
Selain menyoroti skandal solar, JATAM juga mencatat kerusakan lingkungan yang terjadi di wilayah operasional PT Vale Indonesia di Luwu Timur, Sulawesi Selatan.
Aktivitas pembukaan lahan dan tambang terbuka disebut menyebabkan deforestasi di sekitar Danau Matano, Mahalona, dan Towuti, yang merupakan bagian penting dari bentang alam Wallacea.
Melky menjelaskan bahwa praktik tersebut memicu erosi dan penumpukan sedimen dari limbah tambang melalui Sungai Timbalo dan Mata Buntu.
Sedimentasi ini bahkan membentuk daratan lumpur baru yang mempersempit kawasan danau purba tersebut.
“Kawasan hutan suaka dan konservasi terus menyusut, dan sedimentasi menyebabkan sebagian danau berubah menjadi daratan lumpur,” ujar Melky.
Kerusakan ini turut berdampak pada kehidupan masyarakat. Akses air bersih terganggu, lahan pertanian rusak, hingga mengancam keamanan pangan.
Warga yang bergantung pada sawah di sepanjang aliran sungai disebut sering mengalami gagal panen, termasuk akibat pembukaan Bendung Petea oleh perusahaan.
Selain itu, populasi ikan endemik seperti Butini dan satwa khas seperti anoa dan babi rusa dilaporkan mengalami penurunan tajam.
Fakta Persidangan Seret Keterlibatan Vale Indonesia
Untuk diketahui, PT Vale Indonesia Tbk (INCO) disebut dalam dakwaan jaksa ikut memperoleh keuntungan dalam kasus penjualan solar nonsubsidi di bawah batas harga (bottom price), bahkan di bawah harga pokok penjualan (HPP). Dalam persidangan, nilai keuntungan itu disebut mencapai Rp62,14 miliar atau tepatnya Rp62.140.873.123.
Informasi tersebut terungkap dalam sidang perkara dugaan korupsi yang menjerat mantan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan. Ia juga pernah menjabat sebagai Direktur Pemasaran Pusat & Niaga Pertamina Patra.
Jaksa menyebut Riva terlibat dalam praktik korupsi yang berkaitan dengan pengelolaan minyak mentah dan produk kilang Pertamina serta subholding-nya, termasuk perusahaan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), dalam periode 2018–2023. Persidangan digelar pada Kamis 9 Oktober 2025.
Namun, berdasarkan dokumen di laman Keterbukaan Informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), PT Vale Indonesia membantah tudingan tersebut. Perseroan menyatakan selalu melakukan pembelian BBM jenis solar sesuai harga pasar sepanjang 2018–2023. Manajemen juga menegaskan proses pengadaan bahan bakar dilakukan berdasarkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik.
Perusahaan menilai isu tersebut sejauh ini belum menimbulkan risiko hukum bagi mereka. Meski begitu, Vale menyebut terus mengevaluasi proses pengadaan solar yang telah dilakukan mengikuti aturan yang berlaku.
"Meskipun demikian, Perseroan akan terus memantau semua isu pemberitaan selanjutnya serta tetap menganalisa ada tidaknya potensi dampak hukum dari setiap isu pemberitaan yang menyangkut Perseroan," terang Manajemen Vale Indonesia.(*)