KABARBURSA.COM – Pergerakan saham PT Vale Indonesia Tbk (INCO) dalam beberapa pekan terakhir tampak seperti sedang mencari pijakan baru. Ketika harga perlahan melemah dan tekanan distribusi asing semakin menebal, rilis manajemen dalam earnings call 3Q25 justru mengonfirmasi bahwa fundamental INCO sedang memasuki fase yang jauh lebih berat daripada yang tercermin di grafik harian.
Dari earning call tersebut terlihat produksi INCO sedang turun, capexnya melonjak, dan arus jual asing belum menunjukkan tanda mereda. Data ini menjadi kombinasi bahwa emiten nikel ini memiliki sinyal dengan risiko terbesar untuk memasuki 2026.
Manajemen INCO mengumumkan bahwa produksi nickel matte pada 4Q25 diproyeksikan turun ke 16.259 ton, terkontraksi -16 persen QoQ dan -12 persen secara YoY. Penurunan ini bukan bersifat sesaat, tetapi akan berlanjut hingga 2026. Penyebabnya ialah perbaikan electric furnace yang berlangsung hingga Mei tahun depan.
Dampaknya dari perbaikan tersebut sangat terlihat. Volume produksi 2026 ditetapkan hanya 67.000 ton, lebih rendah -5,9 persen YoY dari estimasi produksi 2025. Dengan kata lain, INCO memasuki 2026 dengan kapasitas yang mengecil, dan tidak cukup kuat untuk menghadapi kompetisi nikel global yang justru semakin agresif.
Beralih ke penjualan bijih saprolit yang memang melonjak secara signifikan pada 4Q25. Penjualannya diproyeksikan mencapai 1,6 juta wmt atau naik 79% QoQ. Secara penuh, volume 2025 mencapai 2,5 juta wmt, setelah sebelumnya tidak ada penjualan saprolit pada 2024.
Meski ini tampak sebagai katalis positif, ketergantungan pada segmen saprolit tidak dapat sepenuhnya mengimbangi tekanan penurunan produksi nickel matte yang merupakan core revenue INCO. Kinerja saprolit sendiri sangat bergantung pada premium harga yang saat ini berada di kisaran USD 20–25 per wmt. Dengan demikian, ini menjadi sebuah faktor eksternal yang mudah berubah ketika pasar nikel berfluktuasi.
Yang lebih mengkhawatirkan adalah siklus belanja modal (capex) yang meningkat tajam. Untuk 2026, INCO mengalokasikan capex sebesar USD750 juta, melompat dari capex 2025 yang hanya USD540 juta. Dana besar ini dipakai untuk pemeliharaan smelter, pengembangan tambang Bahodopi dan Pomalaa, serta penyelesaian tiga proyek smelter HPAL sampai 2027.
Lonjakan capex ini akan menggerakkan neraca perusahaan dari posisi net cash menjadi net debt. Pergerakan ini akhirnya menjadi sesuatu yang belum pernah terjadi pada siklus ekspansi sebelumnya. Dalam kondisi seperti ini, dividend payout ratio berpotensi menyusut dari level 2024 yang mencapai 60 persen. Investor dividen akan berada dalam posisi yang jauh kurang menguntungkan.
Ketidaknyamanan sentimen itu terlihat jelas pada perilaku broker. Di sisi beli, memang terdapat akumulasi moderat dari Stockbit Sekuitas Digtal (XL), Mandiri Sekuritas (CC), BNI Sekuritas (NI), dan Mirae Asset Sekuritas Indonesia (YP), dengan nilai antara Rp2,1–2,4 miliar. Namun pada sisi jual, tekanan asing jauh lebih besar.
CLSA (KZ) melepas Rp13,1 miliar, UBS (AK) menjual Rp4,2 miliar, diikuti CGS (YU) dan DBS (DP). Nilai distribusi ini mengerdilkan akumulasi ritel dan menjadi tanda bahwa investor institusi justru keluar ketika harga terseret melemah. Pergerakan harga selama 10 hari terakhir sejalan dengan pola ini, yaitu INCO turun beruntun, bahkan sempat terkoreksi -5,12 persen pada 18 November 2025 dan kembali melemah pada 24–25 November 2025.
Struktur orderbook pada 25 November juga memperlihatkan bahwa bid besar lebih bersifat defensif ketimbang akumulatif. Banyak lapisan bid berada pada rentang 3.750–3.820, namun offer di 3.860–3.920 tampak jauh lebih tebal.
Setiap upaya kenaikan tertahan oleh distribusi yang konsisten. Ini yang kemudian menegaskan bahwa penurunan harga bukan sekadar noise jangka pendek, tetapi reaksi pasar terhadap outlook fundamental yang semakin menantang.
Dengan produksi inti turun, capex melonjak drastis, neraca berpotensi berbalik menjadi net debt, dan distribusi asing yang terus membesar, INCO memasuki fase yang jauh dari ideal untuk investor jangka pendek maupun jangka menengah. Prospek ekspansi memang besar, tetapi jalan menuju sana dibayar dengan tekanan profitabilitas, cash flow yang mengetat, dan volatilitas harga nikel global yang masih tinggi.
Dalam kondisi seperti ini, sinyal risiko besar pada INCO bukan lagi spekulasi, tetapi sudah tampak jelas dari data. Produksi menyusut, beban modal meroket, dan pasar sudah lebih dulu bereaksi. Tren penurunan ini mungkin belum selesai, dan arah pergerakan selanjutnya akan ditentukan oleh kemampuan INCO menjaga stabilitas operasional di tengah tekanan yang semakin berat.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.