KABARBURSA.COM - Teknologi Starlink, dengan layanan internet satelit orbit rendah (LEO), kini menjadi topik panas di ruang rapat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ancaman terhadap data hingga potensi merusak pasar penyedia internet lokal menjadi perhatian utama.
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyoroti bahwa kehadiran Starlink, dengan dugaan ‘karpet merah’ dari pemerintah, bisa mengancam bisnis penyedia seluler atau ISP lokal.
Dalam masa pandemi hingga pasca pandemi, terjadi pertumbuhan di wilayah pedesaan yang menawarkan berbagai pilihan layanan. Namun, kehadiran Starlink pada 2024 membalikkan keadaan yang telah terbangun, jelas Ketua Umum APJII Muhammad Arif.
"Ada risiko dominasi penyedia layanan internet asing di daerah pedesaan," kata Arif, dikutip 2 Juni 2024.
"Ini meningkatkan ketergantungan pada penyedia asing dan berpotensi mengganggu kemandirian industri ISP lokal di Indonesia," imbuhnya.
Potensi lain adalah maraknya ISP ilegal serta praktik judi online dan penyebaran konten tidak pantas akibat peningkatan akses internet tanpa literasi digital yang memadai.
Ancaman Terhadap Internet Lokal
Starlink beroperasi dengan pemancar atau antena yang terhubung dengan satelit LEO pada ketinggian antara 200-2.000 km di atas permukaan laut. Melalui satelit NGSO dengan kekuatan 180 Gbps HTS Ka/Ku-Band, Starlink bisa menyediakan layanan mandiri tanpa bantuan operator seluler, dikenal sebagai direct to cell.
Menurut Arif, ini menjadi ancaman bagi penyelenggara selular lokal, penyedia infrastruktur menara telekomunikasi, dan seluruh ekosistem industri. Direktur Utama Telkom Ririek Adriansyah juga menyuarakan kekhawatiran bahwa layanan LEO akan mengganggu bisnis perusahaan, mengingat Starlink kini beralih dari skema business to business (B2B) melalui kerjasama dengan Telkomsat, menjadi business to consumer (B2C).
"Kalau pakai antena Starlink dibandingkan dengan IndiHome, bedanya satelit dan fiber optic, nanti juga layanan handphone biasa bisa akses ke Starlink," jelas Ririek.
Direktur Wholesale dan Layanan Internasional Telkom Bogi Witjaksono, , mengakui keunggulan satelit LEO yang lebih cepat dan kapasitas internet lebih tinggi. "Karena orbit lebih rendah, latensi atau delay lebih kecil sehingga seperti menggunakan jaringan terestrial," jelas Bogi.
Pasar Indonesia yang besar juga menarik bagi banyak layanan LEO lainnya. "Dalam waktu dekat, akan banyak satelit lokal orbit yang masuk ke negara kita," tambah Bogi.
Anggota Komisi VI DPR RI Fraksi Gerindra Andre Rosiade membela Telkom dan menyatakan bahwa Starlink hadir tanpa memenuhi persyaratan terlebih dahulu, termasuk tidak memiliki kantor resmi di Indonesia dan belum membayar pajak.
"Ini perlu perhatian serius karena Starlink telah meraup banyak keuntungan di pasar Indonesia. Ia juga menyarankan kerjasama dengan Telkom lebih baik daripada dengan Starlink untuk menyediakan pelayanan internet kepada 3.400 Puskesmas di Indonesia," kata dia.
Sementara, Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDIP Harris Turino menambahkan bahwa pemerintah Indonesia mengistimewakan Starlink dengan membiarkannya beroperasi meskipun belum menyelesaikan pembangunan Network Operating Center (NOC).
Mengklarifikasi hal ini, kuasa hukum Starlink Services Indonesia menyatakan bahwa mereka telah mematuhi regulasi dan kewajiban dari Kementerian Komunikasi dan Informatika.
Akses Starlink
Pada November tahun lalu, Elon Musk menyatakan bahwa proyek Starlink telah mencapai impas secara global. Layanan ini juga menjadi penyumbang terbesar dari seluruh satelit yang aktif. Dengan orbit rendah, Starlink diprediksi mampu meraup pendapatan Rp105 triliun dari pelanggan di seluruh dunia, dengan laba mencapai Rp60 triliun.
Pemerintah Indonesia telah mengisyaratkan dorongan agar Starlink berinvestasi di Indonesia, terbukti dengan pemberian izin dan sertifikasi penyelenggara sektor telekomunikasi. Fokusnya adalah pengembangan jaringan internet non-perkotaan.
Pengamat teknologi siber dan jaringan keamanan IT Alfons Tanujaya menilai bahwa kehadiran Starlink di segmen ritel justru menguntungkan Indonesia. Menurutnya, perkembangan teknologi adalah tentang disrupsi, mengubah dunia karena lebih andal, cepat, murah, dan efisien.
"Tidak perlu khawatir dimata-matai oleh Starlink, karena dengan menggunakan WhatsApp, Google Maps, dan ponsel Android atau iPhone, kita sudah secara sukarela dimata-matai," ucap Alfons.
Soal ancaman data, Alfons menegaskan bahwa Starlink memiliki risiko yang sama dengan jaringan internet yang ada saat ini. Pentingnya memiliki NOC sebagai syarat sertifikasi, dan keunggulan Starlink yang berpotensi menggantikan teknologi tower industri telko, membuat Indonesia juga bisa mendapatkan manfaat besar, yaitu percepatan ekonomi digital.
"Jika ada yang lebih murah, silakan berpindah, sama seperti memilih kabel serat optik, di mana yang dipilih adalah yang memberikan layanan dan harga terbaik," pungkas Alfons.