KABARBURSA.COM – Wall Street kembali melemah pada Rabu, 18 Juni 2025, dini hari WIB, lantaran terseret kenaikan tajam harga minyak mentah. Sentimen pasar yang sempat membaik sehari sebelumnya, kembali diguncang oleh memanasnya konflik antara Israel dan Iran, serta sinyal pelemahan ekonomi domestik AS.
Dilansir dari AP di Jakarta, Rabu, indeks S&P 500 anjlok 0,8 persen dan hampir kembali ke posisi awal pekan. Dow Jones Industrial Average terkoreksi 299 poin atau 0,7 persen, sementara Nasdaq terperosok 0,9 persen.
Harga minyak mentah jadi penekan utama. Minyak acuan AS (WTI) melesat 4,3 persen ke level USD74,84 per barel. Sementara Brent, acuan global, naik 4,4 persen ke USD76,45 per barel. Lonjakan ini dipicu eskalasi retorika Presiden Donald Trump terhadap Iran.
Melalui platform medianya, Trump menyerukan “PENYERAHAN TANPA SYARAT!” dan menyatakan bahwa AS tidak akan membunuh pemimpin Iran, “setidaknya untuk saat ini.”
Sebelumnya, Trump sempat meninggalkan pertemuan G7 lebih awal dan meminta warga Teheran untuk segera mengungsi. Hanya dalam delapan jam, Trump bergeser dari mengatakan kesepakatan nuklir dengan Iran masih “mungkin tercapai” menjadi seruan evakuasi bagi 9,5 juta penduduk Teheran.
Kekhawatiran pasar muncul karena konflik di kawasan Teluk berpotensi mengerek harga minyak dan bensin. Iran merupakan produsen utama minyak dunia dan berada di mulut Selat Hormuz—jalur penting distribusi minyak global. Meski konflik di kawasan ini sering memicu lonjakan harga, dampaknya biasanya bersifat sementara, selama aliran minyak tidak terganggu total.
Sementara itu, saham-saham sektor energi alternatif seperti surya justru anjlok. Padahal biasanya harga minyak yang tinggi mendorong minat terhadap energi terbarukan. Namun kali ini, kekhawatiran bahwa Kongres akan menghapus insentif pajak untuk energi rendah emisi membuat saham-saham solar terpukul. Enphase Energy merosot 24 persen dan First Solar amblas 17,9 persen.
Pasar obligasi juga mencatat penurunan imbal hasil (yield), setelah data menunjukkan penjualan ritel AS menurun pada Mei, lebih rendah dari bulan sebelumnya dan di bawah ekspektasi ekonom. Padahal, belanja konsumen menjadi penopang utama ekonomi AS agar tidak jatuh ke jurang resesi.
Namun analis Morgan Stanley, Ellen Zentner, menilai kondisi ini belum mengkhawatirkan. “Data hari ini menunjukkan konsumen mulai mengurangi belanja, tapi belum benar-benar mengerem,” ujarnya. Pada April, sejumlah konsumen sempat memborong mobil untuk menghindari dampak tarif baru Trump.
Saham AI dan Bioteknologi Melesat Tajam
Meski mayoritas saham di Wall Street tertekan, segelintir emiten justru mencatat lonjakan signifikan. Saham Jabil Inc. naik 8,9 persen setelah membukukan laba kuartalan di atas ekspektasi analis. CEO Mike Dastoor menyebut lonjakan ini didorong permintaan yang melonjak cepat terkait teknologi kecerdasan buatan (AI), di samping faktor lainnya.
Sementara itu, Verve Therapeutics melambung 81,5 persen usai raksasa farmasi Eli Lilly mengumumkan akuisisi perusahaan bioteknologi itu senilai USD1 miliar. Nilai akuisisi bisa bertambah menjadi USD1,3 miliar jika sejumlah target terpenuhi. Ironisnya, saham Eli Lilly justru terkoreksi 2 persen setelah pengumuman transaksi tersebut.
Secara keseluruhan, indeks S&P 500 melemah 50,39 poin ke level 5.982,72. Dow Jones Industrial Average turun 299,29 poin ke posisi 42.215,80, sedangkan Nasdaq Composite tergelincir 180,12 poin ke 19.521,09.
Perdagangan berlangsung di tengah dimulainya rapat dua hari Federal Reserve (The Fed) untuk menentukan arah suku bunga. Mayoritas pelaku pasar memperkirakan The Fed akan menahan suku bunga tetap, seperti yang sudah dilakukan sepanjang tahun ini, menyusul pemangkasan yang terjadi di akhir 2024.
Hati-hati, The Fed masih menunggu dampak penuh kebijakan tarif Presiden Donald Trump terhadap perekonomian dan inflasi. Saat ini, inflasi AS masih tergolong jinak dan mendekati target dua persen.
Yang lebih ditunggu pasar justru adalah proyeksi ekonomi dan suku bunga terbaru dari para pejabat The Fed yang dijadwalkan rilis Rabu waktu setempat. Proyeksi ini akan memberi sinyal bagaimana The Fed melihat arah ekonomi dan tingkat suku bunga dalam beberapa tahun ke depan.
Di pasar obligasi, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun turun ke level 4,38 persen, dari posisi 4,46 persen pada penutupan Senin.
Sementara itu, pasar saham global turut melemah. Indeks di sebagian besar bursa Eropa terkoreksi, menyusul kinerja campuran di Asia. Namun, indeks Nikkei 225 di Tokyo menguat 0,6 persen setelah Bank of Japan (BoJ) memutuskan menahan suku bunga acuannya.
BoJ saat ini tengah dalam proses menaikkan suku bunga secara bertahap dari level mendekati nol, serta mengurangi pembelian obligasi pemerintah untuk menekan laju inflasi.(*)