Logo
>

Ekonomi Lesu, Kelas Menengah Mulai Incar Mobil Bekas

Ditulis oleh Harun Rasyid
Ekonomi Lesu, Kelas Menengah Mulai Incar Mobil Bekas
Permintaan mobil bekas diproyeksikan tumbuh di tengan penjualan mobil baru yang stagnan di angka 1 juta unit ke bawah. Foto: KabarBursa.com/Harun.

KABARBURSA.COM - Pengamat Otomotif Yannes Martinus Pasaribu memproyeksikan permintaan mobil bekas akan terus tumbuh pada tahun 2025. Menurutnya, pertumbuhan permintaan terjadi seiring terjadinya penurunan penjualan mobil baru di dalam negeri.

Menurutnya, mobil bekas dapat menjadi alternatif menarik bagi konsumen yang tengah menekan pengeluaran akibat pelemahan ekonomi maupun daya beli.

“Indonesia sedang menghadapi tekanan ekonomi yang membuat banyak konsumen, terutama kelas menengah, mengubah pola belanja mereka. Pertumbuhan ekonomi melambat, sementara suku bunga dan inflasi terus menekan pengeluaran rumah tangga,” ujarnya saat dihubungi KabarBursa.com, Jumat, 23 Mei 2025.

Yannes menilai, pembelian mobil bekas dapat bertumbuh bahkan dapat menjadi pilihan utama konsumen. Hal ini lantaran mobil bekas yang diniagakan di pasaran memiliki sejumlah nilai lebih, khususnya dari harga unit yang relatif terjangkau.

“Dalam situasi ini, konsumen memilih mobil bekas sebagai solusi yang lebih terjangkau. Mereka aktif mencari kendaraan yang harganya lebih masuk akal, pajaknya ringan, dan depresiasinya tidak terlalu tajam,” ujarnya. 

Jika pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap lemah, kata Yannes, maka dalam beberapa tahun ke depan, mobil bekas kemungkinan besar akan menjadi pilihan utama konsumen kelas menengah hingga bawah.

Penjualan Mobil Baru Terjebak di Angka 1 Juta Unit

Industri otomotif nasional tengah menghadapi ujian, salah satunya dengan stagnansi penjualan mobil baru yang terjebak di angka 1 juta unit dalam kurun satu dekade lebih.

Yannes beranggapan, turunnya performa penjualan mobil baru dikarenakan tingkat pendapatan masyarakat kelas menengah sulit mengalami peningkatan.

Di sisi lain, harga kendaraan seiring berjalannya waktu terus naik akibat naiknya biaya produksi hingga melemahnya nilai mata uang rupiah. Sehingga mobil baru yang tidak tergolong sebagai kebutuhan primer, bakal semakin jauh dari keterjangkauan konsumen, khususnya bagi kelas menengah ke bawah.

“Indonesia kini menghadapi tantangan serius untuk keluar dari status negara berpendapatan menengah. Risiko middle-income trap semakin nyata, terutama terlihat dari stagnasi penjualan mobil baru yang terus bertahan di bawah 1 juta unit per tahun sejak 2014,” katanya.

“Padahal di negara berkembang, tren pembelian mobil biasanya menjadi indikator naiknya kelas menengah. Namun di Indonesia, harga mobil baru bahkan untuk segmen LCGC (Low Cost Green Car) saja yang awalnya di bawah Rp100 juta, naik drastis hingga menembus Rp200 juta, sementara pendapatan rumah tangga justru stagnan,” lanjutnya.

Sebagai informasi, menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kelas menengah di tahun 2024 mencapai 47,85 juta, turun dari 2019 yang sebanyak 57,33 juta.

Koreksi jumlah masyarakat kelas menengah sebagai kontributor terbesar dalam pembelian otomotif, menjadi penyebab stagnasi pasar mobil di level 1 juta unit selama 2014 sampai 2023 dan kontraksi pasar pada 2024.

Oleh sebab itu, penjualan mobil baru tahun 2025 dikhawatirkan jebol di bawah 800 ribu unit, melanjutkan tren buruk pada 2024, di mana pasar turun 13,9 persen menjadi 865.723 unit.

Tren penjualan mobil baru yang mengalami penurunan diakibatkan jumlah berkurangnya jumlah kelas menengah hingga pendapatan masyarakat yang mengalami stagnansi. Foto: KabarBursa.com/Abbas Sandji.

Sementara itu, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencanangkan target penjualan mobil baru tahun 2025 sebesar 900 unit.

Lebih lanjut ia menambahkan, produk otomotif seperti kendaraan baru sejatinya tetap memilliki daya tarik tinggi. Namun akibat tekanan ekonomi, konsumen kelas menengah yang sulit untuk naik kelas, menyebabkan daya beli di sektor otomotif terus berkurang.  

“Kelas menengah kesulitan mengejar kenaikan harga ini, bukan karena kurang minat, tetapi karena tekanan ekonomi yang makin kuat. Ini bukan sekadar soal konsumsi, tapi cerminan dari struktur ekonomi yang belum mampu naik kelas dan ketimpangan makin lebar, produktivitas stagnan, serta sektor bernilai tambah masih terbatas,” jelas Yannes.

Jika situasi ini terus dibiarkan, ekonomi masyarakat bakal terjebak di jurang stagnansi. “Daya beli masyarakat akan makin tergerus dan Indonesia makin sulit keluar dari jebakan stagnasi ekonomi jangka panjang,” ujarnya.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Harun Rasyid

Vestibulum sagittis feugiat mauris, in fringilla diam eleifend nec. Vivamus luctus erat elit, at facilisis purus dictum nec. Nulla non nulla eget erat iaculis pretium. Curabitur nec rutrum felis, eget auctor erat. In pulvinar tortor finibus magna consequat, id ornare arcu tincidunt. Proin interdum augue vitae nibh ornare, molestie dignissim est sagittis. Donec ullamcorper ipsum et congue luctus. Etiam malesuada eleifend ullamcorper. Sed ac nulla magna. Sed leo nisl, fermentum id augue non, accumsan rhoncus arcu. Sed scelerisque odio ut lacus sodales varius sit amet sit amet nibh. Nunc iaculis mattis fringilla. Donec in efficitur mauris, a congue felis.