KABARBURSA.COM – Kedigdayaan Tesla dalam memimpin penjualan, terutama untuk jenis kendaraan seperti Cybertruck, kini tinggal kenangan. Usai memimpin penjualan pada tahun lalu, kini kendaraan listrik yang sempat menjadi korban vandalisme di Amerika Serikat ini harus memberi tempat kepada Ford F-150 Lightning.
Berdasarkan data yang dilansir S&P Global Mobility, sebanyak 2.598 Lightning terdaftar pada bulan Maret. Jumlah ini lebih tinggi dibandingkan dengan Cybertruck yang hanya 2.170 Cybertruck. Meski selisihnya tidak terlalu jauh, tapi ketertinggalan ini menjadi pukulan telak bagi Tesla.
Dilansir dari Carscoops, Kekalahan ini bukanlah yang pertama. Berdasarkan data yang sama, Ford berhasil mencatatkan 7.913 unit truk pikap listrik terdaftar di Amerika Serikat selama kuartal pertama. Jumlah tersebut mengungguli Tesla dengan selisih 787 unit, yang hanya membukukan 7.126 unit.
Sorotan utama dari penurunan performa Cybertruck mengarah pada perbedaan mencolok antara versi produksi dengan janji awal yang pernah disampaikan Tesla. Pada peluncuran tahun 2019, perusahaan tersebut sempat menyebut bahwa harga varian entry-level akan dimulai dari USD39.900, lengkap dengan penggerak roda belakang dan jarak tempuh lebih dari 250 mil (sekitar 402 km).
Namun kenyataannya, situasi kini jauh berbeda. Model paling terjangkau dari Cybertruck saat ini dipasarkan seharga USD69.990, masih menggunakan sistem penggerak roda belakang, meskipun diklaim memiliki jangkauan yang lebih jauh yakni sekitar 350 mil (sekitar 563 km).
Meski peningkatan jarak tempuh tersebut patut diapresiasi, kenaikan harga sebesar USD30.090 tentu tidak bisa diabaikan begitu saja.
Yang lebih mengejutkan, varian roda belakang kini justru lebih mahal dibanding model berpenggerak semua roda dengan konfigurasi motor ganda. Awalnya, model AWD diperkirakan dibanderol sekitar $49.900. Namun, harga terkini melonjak hingga USD79.990 untuk versi tersebut.
Perubahan signifikan ini mulai terungkap pada November 2023, tetapi alih-alih membaik, situasi Tesla justru makin rumit. Perusahaan dan sang CEO, Elon Musk, kini turut terseret dalam dinamika politik yang memengaruhi persepsi publik, bahkan berdampak pada pemilik kendaraan.
Tesla Bakal Kebut Produksi Cybercab
Kebijakan penangguhan tarif selama 90 hari oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mulai memberikan efek pada industri otomotif nasional. Salah satunya dirasakan oleh Tesla, yang kembali mengaktifkan jalur impor komponen penting kendaraan listrik dari Tiongkok, setelah sebelumnya sempat menghentikan pengiriman akibat tensi perang dagang antara AS dan China.
Mengutip laporan Reuters, proses impor tersebut dilakukan secara diam-diam. Seorang sumber yang enggan disebutkan namanya menyebut bahwa CEO Tesla, Elon Musk, tengah mempersiapkan pengiriman suku cadang semikonduktor dan komponen untuk Cybercab pada akhir Mei 2025. Langkah ini disebut sebagai bagian dari persiapan produksi uji coba yang dijadwalkan berlangsung Oktober mendatang, sebelum produksi massal dimulai pada 2026.
Ambisi Tesla terhadap Cybercab tidak main-main. Model ini dirancang menjadi pusat dari layanan robotaxi—sebuah proyek yang sudah lama menjadi sorotan publik. Namun hingga kini, perusahaan masih merahasiakan sebagian besar informasi teknis terkait kendaraan otonom tersebut.
Meski demikian, informasi yang beredar menyebut bahwa Cybercab akan hadir dalam format dua penumpang, tanpa setir dan pedal, sepenuhnya mengusung konsep kendaraan otonom. Baterai yang akan digunakan disebut memiliki kapasitas di bawah 50 kWh, namun tetap mampu menjangkau jarak hingga 300 mil (sekitar 483 km) dalam sekali pengisian daya.
Tesla Semi Didorong untuk Produksi Massal 2025
Sementara itu, proyek Tesla Semi—truk listrik andalan Tesla—disebut bakal memasuki fase produksi massal pada tahun 2025. Meski produksinya telah dimulai sejak akhir 2022, progresnya hingga kini masih berjalan lambat.
Tesla berencana mempercepat produksi melalui fasilitas baru yang sedang dibangun di dekat Gigafactory Nevada. Pabrik tersebut diharapkan mampu meningkatkan kapasitas manufaktur secara signifikan dan mendorong skala produksi lebih besar.
Di tengah upaya Tesla memperkuat rantai pasok dan manufakturnya, relasi antara Elon Musk dan Presiden Donald Trump mencuri perhatian. Meski keduanya terlihat semakin dekat dalam beberapa isu strategis, kebijakan tarif masih menjadi titik perbedaan utama.
Trump pernah menyatakan bahwa “tarif adalah kata terindah dalam kamus menurut saya”, sebuah pandangan yang berseberangan dengan Elon Musk yang selama ini dikenal sebagai pendukung perdagangan bebas.
Seperti dilansir Reuters, Musk sempat mengimbau pemerintah untuk menurunkan tarif impor, walaupun ia mengakui bahwa keputusan akhir berada di tangan presiden.
Dampak kebijakan tarif ini pun terasa nyata di lapangan. Vaibhav Taneja, Chief Financial Officer Tesla, mengungkap bahwa kebijakan tersebut justru menghambat ekspansi produksi di Amerika Serikat, mengingat perusahaan masih harus mengimpor peralatan penting dari Tiongkok guna menunjang pengembangan lini produksi domestik.(*)