KABARBURSA.COM - Dalam beberapa tahun terakhir merek mobil China terus membanjiri pasar otomotif Tanah Air. Kehadiran merek mobil China seperti Wuling, BYD, Chery, Denza, AION, Geely hingga Xpeng dapat menambah opsi pembelian kendaraan yang lebih beragam bagi konsumen.
Selain itu, merek mobil China juga berani menawarkan produk berteknologi tinggi, desain yang tak kalah menarik, hingga harga yang kompetitif bahkan bisa lebih murah dibanding produk dari brand Jepang hingga Korea Selatan.
Pada medio 2000an, mobil China memang masih dipandang sebelah mata oleh pasar domestik. Namun, saat ini berbeda, inovasi produk sampai teknologi yang disuguhkan merek mobil Tiongkok bisa dibilang cukup mengancam pangsa pasar kendaraan roda empat yang masih didominasi merek Jepang seperti Toyota, Daihatsu, Honda hingga Suzuki.
Hubungan baik pemerintah China dan Indonesia turut melancarkan ekspansi bisnis merek mobil China di Tanah Air. Apalagi Indonesia memiliki volume penjualan mobil yang besar di kawasan ASEAN bahkan Asia, dengan angka penjualan yang bisa mencapai 1 juta unit setiap tahunnya.
Sejauh ini, jumlah merek mobil China di segmen kendaraan penumpang bahkan telah melampaui brand Jepang. China tercatat sudah menancapkan 17 merek untuk berbisnis di Indonesia.
Belasan merek China tersebut antara lain: Wuling, DFSK, Great Wall Motor (GWM), BYD, Jetour, Seres, FAW, BAIC, Denza, Chery, Neta, Jaecoo, Changan, AION, Geely, Xpeng, dan Zeekr.
Sedangkan merek asal Negeri Sakura yang kebanyakan sudah puluhan tahun bermain di pasar otomotif Indonesia, jumlahnya mencapai 13 merek, yakni Toyota, Daihatsu, Mitsubishi Motors, Honda, Suzuki, Nissan, Isuzu, Mazda, Subaru, Hino, Mitsubishi Fuso, UD Trucks, hingga Lexus.
Lantas dengan begitu, apakah pemerintah Indonesia seakan memberi karpet merah bagi para pabrikan China untuk berinvestasi di dalam negeri?
Ketua Tim Non KBLBB Kementerian Perindustrian Kemal Rasyad menampik anggapan tersebut. Ia mengatakan bahwa selama ini pemerintah selalu bersikap adil kepada para investor termasuk di sektor otomotif.
"Pemerintah Indonesia menjalankan kebijakan yang bersifat netral teknologi dan netral asal negara," ujarnya saat dihubungi KabarBursa.com, belum lama ini.
Kemal kemudian menyatakan, investor dari negara manapun akan selalu didukung bisnisnya selama memenuhi regulasi hingga syarat yang berlaku.
"Ini Artinya, seluruh pelaku industri otomotif, baik yang sudah lama berinvestasi seperti Jepang maupun pendatang baru dari negara lain, dipersilakan dan difasilitasi selama memenuhi ketentuan peraturan, komitmen investasi, serta kontribusi terhadap pengembangan industri dalam negeri," ungkapnya.
Ia menambahkan, peraruran Kementerian Perindustrian (Kemenperin) juga tidak mencantumkan hak khusus yang berlaku bagi suatu negara atau pihak investor tertentu.
"Dapat dilihat dari Permenperin 36 tahun 2021 tentang Program Low Carbon Emission Vehicle terkait insetif untuk kendaraan teknologi LCGC, hybrid, dan EV (Electric Vehicle) yang tidak ada ketentuan terkait asal pabrikan negara tertentu," tambah Kemal.
Serbuan Mobil China Sebagai Imbas Perang Dagang
Merek mobil China di Tanah Air terus hadir di pasar domestik guna menyaingi merek kendaraan asal Jepang, Korea Selatan, hingga Eropa.
Merek mobil China umumnya mengusung teknologi elektrifikasi kendaraan yang tengah didukung pemerintah lewat berbagai kebijakan semisal Pajak Penjualan atas Barang Mewah Ditanggung Pemerintah (PPnBM DTP) dan Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP).
Menurut pandangan Pengamat Pasar Uang, Ibrahim Assuaibi, tren merek mobil China masuk Indonesia ini merupakan dampak dari perang dagang China kepada negara pesaingnya dalam industri otomotif.
"Tahun 2024 Eropa memberikan biaya impor yang cukup tinggi terhadap China. Sehingga mobil-mobil listrik China saat itu banyak yang tidak bisa di ekspor ke Eropa karena mendapatkan sanksi," bukanya saat dihubungi KabarBursa.com, beberapa waktu lalu
Ibrahim lalu menyebut, China telah memproduksi mobil listrik secara besar-besaran, sehingga harga yang ditawarkan bisa lebih murah dari mobil listrik negara lain, termasuk Eropa.
Masifnya produksi China dalam mobil listrik juga didukung kebijakan pemerintahnya yang berpengaruh terhadap penggunaan kendaraan ramah emisi tersebut.
"Di sisi lain pun juga ada kebijakan di China, di mana 80 persen masyarakatnya sudah menggunakan mobil listrik. Ini karena pemerintah yang menginstruksikan kepada pejabat dari tingkat atas sampai bawah, agar menggunakan mobil listrik. Hal itu diikuti oleh masyarakat di China," ucap Ibrahim.
Dengan begitu, peredaran mobil listrik dari brand China mulai menginvasi negara di benua Eropa, Amerika, termasuk negara berkembang seperti Indonesia.
"Karena harganya relatif lebih murah, banyak masyarakat Eropa dan Amerika yang membeli mobil-mobil listrik dari Tiongkok. Situasi ini membuat perusahaan-perusahaan mobil listrik di Eropa itu mengalami kejatuhan sehingga Eropa mengenakan tarif yang cukup tinggi terhadap perusahaan-perusahaan otomotif China," terang Ibrahim.
"Dengan adanya perang dagang tersebut, banyak sekali mobil-mobil listrik dari China itu yang lari ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia," tambahnya.
Lebih lanjut, ia memproyeksikan bahwa serbuan mobil China di berbagai belahan dunia maupun Indonesia akan semakin meningkat di masa mendatang.
"Apalagi bersamaan dengan perang dagang China dan Amerika Serikat, kemungkinan besar semakin banyak lagi mobil-mobil keluaran China yang lari ke negara-negara berkembang," sebutnya.
Selain itu, Ibrahim juga menilai bahwa pergerakan merek mobil China yang masuk ke Indonesia belum bisa disaingi oleh brand otomotif Jepang, khususnya dalam hal ketersediaan model mobil listrik.
Sejauh ini di pasar domestik, Toyota sempat memasarkan mobil listrik bZ4X, kemudian Lexus memasarkan dua model lewat UX300e dan RZ450e, lalu Mitsubishi memiliki L100 EV sebagai mobil listrik niaga, serta Mazda dengan SUV listrik MX-30.
"China kebanyakan mencari negara-negara ketiga untuk memasarkan. Ini beda dengan Jepang. Sehingga Jepang masih kalah saing dengan China dalam industri mobil listrik,"kata Ibrahim.
Maka dari itu ia memandang, Indonesia masih menjadi pasar strategis bagi China dalam industri otomotif. Seiring hal tersebut, pemerintah Indonesia bisa mengambil keuntungan dari biaya impor yang dikenakan terhadap produk otomotif China.
"Sampai saat ini Indonesia itu dijadikan sebagai tempat untuk melakukan penjualan dari berbagai macam produk otomotif, baik dari merek Jepang, Korea Selatan, China, Eropa dan Amerika. Tetapi untuk mobil listrik, tetap dimenangkan kembali oleh China karena harganya lebih murah," imbuh Ibrahim.
"Selain itu karena ada biaya hingga pajak impor yang diterima oleh pemerintah. Masuknya mobil-mobil China tidak akan merugikan pemerintah, apalagi Indonesia belum ada mobil nasional," tambahnya.
Namun, Ibrahim juga mengungkapkan, perang dagang dan kondisi ekonomi global yang tak menentu bakal berdampak pada penurunan daya beli produk otomotif di dalam negeri.
"Saat ini kan sedang terjadi krisis ekonomi secara global akibat perang dagang. Kemungkinan besar penjualan mobil listrik pun bisa saja akan sedikit mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Selain itu ada masalah ekonomi yang dialami kelas menengah, sehingga mempengaruhi daya beli di sektor ini," ujarnya.(*)