Logo
>

Gerak Agresif Ekspansi PYFA Mampukah Selamatkan Laba?

PYFA agresif berekspansi lewat model CDMO, pabrik Ethica dan fasilitas Probiotec, namun lonjakan pendapatan yang besar masih dibayangi rugi usaha dan ROE negatif di tengah fase transformasi.

Ditulis oleh Yunila Wati
Gerak Agresif Ekspansi PYFA Mampukah Selamatkan Laba?
Pabrik PT Pyridam Farma Tbk. (PYFA). Foto: Dok Perusahaan.

KABARBURSA.COM – Transformasi PT Pyridam Farma Tbk. (PYFA) sepertinya bukan lagi sekadar jargon korporasi. Perusahaan ini jelas sedang menggeser dirinya dari sekadar pemain farmasi konvensional menjadi entitas manufaktur global dengan model bisnis CDMO (Contract Development and Manufacturing Organization) dan jaringan fasilitas lintas negara. 

Integrasi penuh fasilitas Probiotec di Kemps Creek, Australia, yang sudah mengantongi lisensi TGA dan sertifikasi Halal AIHCO, menunjukkan bahwa PYFA tidak main-main dengan ambisi ekspornya.

Proyek pabrik Ethica di Cikarang, yang ditargetkan beroperasi penuh awal 2026, disiapkan sebagai mesin produksi domestik yang lebih besar dan terpusat. Di atas kertas, kombinasi Ethica dan Probiotec plus lini OTC PYFAHealth dan PYFABeauty akan menjadikan PYFA sebagai salah satu pemain paling terintegrasi di segmen farmasi dan healthcare lokal. Ditambah, memiliki akses manufaktur bersertifikasi global.

Pertanyaannya, apakah ekspansi agresif ini sudah tercermin sebagai katalis positif di laporan keuangan, atau justru meninggalkan jejak tekanan baru di fundamental?

Mengerek Pendapatan, Namun Belum Cukup Menyelamatkan Laba

Berdasarkan data keuangan hingga kuartal III 2025, ada perubahan skala bisnis yang sangat drastis. Pendapatan konsolidasi hingga bulan kesembilan 2025 mencapai sekitar Rp2,06 triliun. Angkanya melonjak 77,3 persen secara tahunan dibandingkan Rp1,16 triliun pada periode yang sama tahun lalu. 

Jika diurai per kuartal, Q1–Q3 2025 masing-masing mencatat pendapatan Rp685 miliar, Rp700 miliar, dan Rp675 miliar. Bandingkan dengan Q3 2024 yang “hanya” Rp755 miliar, didahului Q2 Rp256 miliar dan Q1 Rp152 miliar. Dari sisi skala, lonjakannya jelas bahwa basis bisnis PYFA sudah naik kelas.

Namun, lonjakan omzet ini datang dengan harga mahal. Beban pokok penjualan 9M 2025 menyentuh sekitar Rp1,64 triliun, naik jauh dari sekitar Rp867 miliar di 9M 2024. Laba kotor memang ikut terkerek dari kurang lebih Rp296 miliar menjadi Rp417,86 miliar, tumbuh sekitar 41 persen. 

Tapi di sinilah kontradiksinya. Pertumbuhan laba kotor tertinggal cukup jauh dari pertumbuhan pendapatan. Artinya, margin kotor tergerus.

Secara kuartalan, Q3 2025 mencatat laba kotor Rp123 miliar dengan pendapatan Rp675 miliar. Margin kotor di kisaran 18 persen ini sebenarnya tidak buruk untuk industri farmasi yang sarat biaya bahan baku impor dan biaya kualitas. Tapi ketika masuk ke level berikutnya, cerita menjadi jauh lebih keras.

Operasional Masih Merah, Beban Usaha Jadi Titik Tekan

Masalah utama PYFA saat ini bukan di topline, melainkan di struktur beban usaha. Untuk 9M 2025, beban usaha (OPEX) tercatat sekitar Rp569 miliar, naik signifikan dibanding 9M 2024 yang berada di kisaran Rp408 miliar. 

Di Q3 2025 saja, beban usaha Rp206 miliar, jauh melampaui laba kotor yang “hanya” Rp123 miliar. Hasil akhirnya bisa ditebak, PYFA membukukan rugi usaha Rp82 miliar pada kuartal tersebut.

Dengan kata lain, bisnis inti ini sudah tumbuh besar, tetapi skala biaya yang menyertainya tumbuh lebih cepat dari laba kotor. Ini tipikal fase transformasi agresif, yaitu integrasi pabrik luar negeri, peningkatan kapasitas, penataan rantai pasok global, penguatan organisasi, hingga penambahan tenaga profesional. 

Secara strategis, langkah ini bisa dimaklumi. Namun secara finansial, investor harus menerima konsekuensi bahwa PYFA masih berada dalam zona investasi, bukan fase panen laba.

Di luar operasional, tekanan juga datang dari pos penghasilan atau beban lain-lain. Pada Q3 2025 PYFA mencatat beban lain-lain sekitar Rp70 milar. Akibatnya, rugi sebelum pajak melebar menjadi sekitar Rp153 miliar. 

Rugi bersih di level yang sama, yaitu Rp153 miliar, membuat EPS kuartalan tercatat negatif, sekitar minus 13,6.

Dari kacamata rasio profitabilitas, kondisinya tampak jelas. Return on Assets (ROA) Q3 2025 berada di sekitar minus 2,21 persen, sementara Return on Equity (ROE) minus 20,82 persen. Angka-angka ini menunjukkan satu hal, bahwa transformasi besar PYFA belum sampai pada tahap menghasilkan imbal hasil yang sehat bagi pemegang saham.

EBITDA Menguat, Tapi Belum Cukup Imbangi Skala Ekspansi

Di sisi lain, ada satu sinyal positif yang tidak boleh diabaikan. Manajemen menyampaikan bahwa EBITDA hingga 9M 2025 meningkat signifikan menjadi sekitar Rp133,32 miliar. Angka ini tumbuh lebih dari 100 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. 

Ini mengindikasikan bahwa dari sudut pandang cashflow operasional murni sebelum depresiasi dan amortisasi, mesin bisnis PYFA mulai hidup.

Namun, ketika EBITDA positif dan tumbuh, sementara laba usaha masih negatif, itu berarti beban depresiasi, amortisasi, dan faktor non-operasional lain—termasuk konsekuensi ekspansi aset dan integrasi—masih cukup berat. 

Secara praktis, PYFA berada dalam posisi “cashflow mulai menguat, bottom line masih dikorbankan”. 

Untuk perusahaan yang sedang membangun jaringan manufaktur global, pola seperti ini lazim. Tapi tetap saja, itu menegaskan bahwa ekspansi ini masih berada di fase menyedot sumber daya, bukan memberikan kontribusi penuh.

CDMO, Probiotec, Ethica: Fondasi Masa Depan atau Dua Sisi Pedang?

Secara strategis, reposisi PYFA ke model CDMO dan integrasi fasilitas Probiotec di Australia adalah langkah yang sangat visioner. Lisensi TGA dan sertifikasi Halal memberikan kombinasi unik, yaitu standar kualitas internasional sekaligus akses ke pasar muslim global. 

Kolaborasi dengan nama-nama besar seperti Eli Lilly, Amgen, Lundbeck, Merz Pharma, dan Polysan membuka peluang revenue dari produk-produk bernilai tambah tinggi, termasuk berbasis New Chemical Entity (NCE).

Di domestik, pembangunan pabrik Ethica di Cikarang yang ditargetkan beroperasi penuh pada awal 2026, menjadi katalis tambahan. Integrasi operasional Ethica dan Probiotec berpotensi menciptakan jaringan manufaktur yang terpusat, efisien, dan scalable. 

Jika kedua aset ini berhasil dioptimalkan, struktur biaya produksi bisa turun, utilisasi meningkat, dan margin kotor berpeluang pulih.

Tetapi di sinilah sisi tajam lainnya. Semua narasi ini masih bertumpu pada kata “jika”. Data keuangan terbaru menunjukkan bahwa PYFA masih rugi bersih, ROE dan ROA masih negatif, dan beban usaha sudah melampaui laba kotor. 

Artinya, ekspansi ini belum membuktikan diri sebagai katalis yang langsung menguatkan fundamental. Ia masih berstatus investasi strategis jangka panjang yang perlu waktu dan disiplin eksekusi untuk benar-benar diterjemahkan menjadi keuntungan berkelanjutan.

Jadi, Katalis Positif atau Sumber Risiko Baru? Jawabannya, untuk saat ini, keduanya sekaligus. Di satu sisi, lonjakan pendapatan 77,3 persen, kenaikan laba kotor lebih dari 40 persen, serta penguatan EBITDA menunjukkan bahwa transformasi PYFA bukan sekadar cerita di presentasi, tetapi sudah tercermin di laporan keuangan. 

Di sisi lain, rugi usaha, rugi bersih, hingga ROE negatif menegaskan bahwa perusahaan berada dalam fase menanggung harga dari strategi besar yang sedang dijalankan.

Bagi investor dan pelaku pasar, ekspansi PYFA kali ini bisa dibaca sebagai katalis positif jangka panjang dengan risiko eksekusi yang tinggi dalam jangka pendek. 

Selama manajemen mampu mengendalikan beban usaha, menekan beban non-operasional, dan mengangkat kembali margin kotor seiring ramp-up Probiotec dan Ethica, cerita PYFA bisa berubah dari “growth dengan rugi” menjadi “growth dengan profit”.

Namun sampai angka-angka di laporan keuangan benar-benar berbalik hijau dan ROE kembali ke zona positif, PYFA tetap harus dipandang sebagai emiten yang sedang berada di tengah jalan transformasi. Menarik dari sisi narasi, menjanjikan dari sisi potensi, tetapi belum sepenuhnya aman dari sisi fundamental.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Yunila Wati

Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79