KABARBURSA.COM - Presiden Direktur Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN), Nandi Julyanto, menyebut kebijakan ekonomi proteksionis Presiden AS Donald Trump memang tidak memberikan dampak langsung terhadap pasar dalam negeri.
Namun, efek tak langsung mulai dirasakan, terutama di negara-negara tujuan ekspor Indonesia. “Yang paling terasa adalah dampak terhadap negara tujuan ekspor kami seperti ASEAN dan Amerika Latin. Jika ekonomi mereka terpukul, ekspor kami pun menurun,” jelas Nandi dalam acara acara Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (KAGAMA), Rabu, 14 Mei 2025.
Nandi juga menyoroti bagaimana peta industri otomotif global tengah mengalami pergeseran akibat transformasi energi dan kebijakan dagang internasional. Ia membagikan pengalamannya saat berdiskusi dengan pihak Manila, yang memberikan perspektif baru mengenai strategi ekspor kendaraan dari China.
Menurutnya, Filipina sejatinya bisa menjadi pilihan alternatif investasi otomotif dari China. Namun, kondisi pasokan energi di negara tersebut masih tergolong lemah.
“Tapi ada perbedaan antara Indonesia dan Filipina. Filipina itu energinya masih kurang, masih shortboard,” kata Nandi.
Perbedaan kondisi ini, lanjut Nandi, menciptakan dinamika baru dalam distribusi produk otomotif di kawasan. Produsen harus menyesuaikan strategi mereka berdasarkan kesiapan infrastruktur dan permintaan konsumen di tiap negara.
“Sehingga ke Filipina mereka tidak masuk dengan produk elektronik dengan bateri, tapi masuk dengan produk hybrid,” jelasnya.
Dengan hal ini, Nandi melihat adanya potensi gejolak ekonomi di pasar Indonesia. Untungnya, kata Nandi, Cina-dan Amerika sudah menemukan kesepakatan sehingga gejolak itu bisa di tekan.
“Ekonomi China dan Amerika menemukan kesepakatan yang drastis karena kalau tidak, produk China akan mengalir ke negara-negara lainnya, termasuk Indonesia. Sehingga tentu akan memengaruhi pasar Indonesia. Maksudnya, barang-barang dari China dengan harga yang lebih murah akan memengaruhi pasar Indonesia,” jelas dia.
Sebagai informasi tambahan, Amerika Serikat dan China telah menyepakati langkah de-eskalasi perang dagang dengan memangkas tarif secara sementara.
AS menurunkan bea tambahan atas produk China dari 145 persen menjadi 30 persen. Sebagai respons, China juga menurunkan tarif atas barang-barang dari AS, dari 125 persen menjadi 10 persen. Kebijakan ini akan berlaku selama 90 hari dan diharapkan dapat meredakan ketegangan ekonomi global.
Karena kesepakatan itu, menurutnya penting untuk menjaga konsumsi dalam negeri agar dapat mendorong pertumbuhan industri otomotif. Ia mencontohkan bagaimana insentif pajak kendaraan saat pandemi berhasil meningkatkan penjualan sekaligus pendapatan negara.
“Kami pernah merasakan dampak positif ketika insentif pajak kendaraan diterapkan selama pandemi. Volume penjualan naik, pemasukan negara juga meningkat,” tambahnya.
Dalam konteks perubahan global, termasuk transformasi menuju kendaraan listrik dan disrupsi rantai pasok. Nandi melihat ada ruang bagi Indonesia untuk mengambil peran lebih besar.
Toyota, kata dia, tengah menyiapkan Indonesia sebagai salah satu basis produksi komponen kendaraan listrik global—dari baterai hingga power control unit (PCU)—dengan menggandeng mitra asal Tiongkok.
Nandi juga mengingatkan bahwa lonjakan kendaraan listrik di China, yang kini menguasai hingga 50 persen pasar otomotif di kota-kota besar seperti Shanghai, bisa berdampak pada Indonesia.
Pasalnya, pembatasan tarif di pasar Eropa dan AS bisa membuat produk-produk Tiongkok mengalir ke Indonesia. Namun, ia menekankan bahwa konsumen tetap menjadi penentu utama.
“Dalam setiap kesempitan selalu ada kesempatan. Kita harus pintar membaca peluang dan menjalin kerja sama strategis,” ujarnya.
Toyota Jalin Kerja Sama dengan China
Pada kesempatan yang sama, Nandi mengungkapkan bahwa perusahaannya telah menjalin kerja sama strategis dengan produsen asal Tiongkok guna menjawab kebutuhan pasokan baterai untuk kendaraan listrik. Kolaborasi ini dinilai penting mengingat keterbatasan ketersediaan bahan baku utama seperti lithium dan grafit yang hanya ditemukan di sejumlah negara.
“Lithium juga sangat terbatas secara sumber daya, hanya beberapa negara yang punya. Jadi kalau raw material-nya dikunci memang menjadi problem,” jelasnya.
Ia menambahkan, meskipun potensi sumber bahan baku tersebar di berbagai penjuru dunia, termasuk Indonesia, pemanfaatannya harus dilakukan dengan perhitungan matang. Menurut Nandi, aspek keekonomian menjadi kunci agar bahan baku tersebut mampu bersaing secara global.
Salah satu faktor penting dalam pertimbangan ini adalah pemilihan jenis baterai. Daripada mengandalkan baterai Lithium Iron Phosphate (LFP) yang membutuhkan grafit dalam jumlah besar, Toyota lebih condong memilih baterai berbasis nikel sebagai bagian dari strategi teknologinya.
“Kalau disampaikan tadi ya, kalau baterai LFP memang grafit banyak ya. Tapi kalau kita, lebih banyak nickel,” ujarnya menegaskan.
Sementara itu, Toyota juga dikabarkan tengah mempertimbangkan akuisisi terhadap Neta Auto, salah satu produsen mobil listrik asal Tiongkok yang sedang mengalami tekanan finansial. Informasi tersebut pertama kali dilaporkan oleh Kuai Technology pada 12 Mei 2025.
Walau belum ada pernyataan resmi, langkah akuisisi ini bisa menjadi strategi penting Toyota untuk memperkuat penetrasi pasar di Tiongkok—yang hingga kini masih menjadi pasar kendaraan listrik terbesar di dunia.
Sebagai informasi, Neta Auto merupakan merek kendaraan listrik yang diluncurkan pada 2014 oleh Hozon New Energy Auto. Dalam beberapa tahun awal, perusahaan ini mencatat pertumbuhan menjanjikan di pasar domestik dan mulai merambah pasar internasional.
Namun, sejak pertengahan 2024, Neta menghadapi tantangan berat: produksi berhenti total, terjadi pemutusan hubungan kerja massal, dan pencarian pendanaan eksternal terus menemui jalan buntu.
Puncaknya terjadi pada Februari 2025, saat Neta Auto secara resmi menyatakan kegagalan dalam pendanaan putaran E yang ditargetkan antara 4 hingga 4,5 miliar yuan (setara USD552 hingga USD621 juta).
Salah satu investor utama, yakni konsorsium dana negara BRICS, sempat menjanjikan dukungan sebesar 3 miliar yuan (sekitar USD414 juta). Namun, berbagai prasyarat seperti pengaktifan kembali fasilitas produksi dan jaminan pendanaan lanjutan tidak berhasil dipenuhi, yang akhirnya membuat kesepakatan batal terlaksana.(*)