KABARBURSA.COM - Untuk pertama kalinya dalam sejarah, kapasitas pembangkit listrik tenaga angin dan surya di China berhasil melampaui kapasitas pembangkit berbasis bahan bakar fosil. Hingga akhir Maret 2025, total kapasitas tenaga angin dan surya di negara tersebut mencapai 1.482 gigawatt (GW), sebuah tonggak besar yang diumumkan oleh Badan Energi Nasional China pada Jumat, 25 April lalu.
Meskipun China masih tercatat sebagai salah satu dari sedikit negara yang tetap membangun pembangkit listrik tenaga batu bara baru, pemerintahnya terus melaju dengan agresif dalam program ekspansi energi terbarukan. Dalam beberapa tahun terakhir, laju pembangunan fasilitas energi hijau mencetak rekor demi rekor baru.
China sebelumnya menetapkan target ambisius untuk meningkatkan kapasitas gabungan tenaga angin dan surya hingga 1.200 GW pada tahun 2030. Namun, target ini tercapai jauh lebih cepat — enam tahun lebih awal, sebuah pencapaian luar biasa yang membuat banyak pihak menyerukan agar Beijing menggandakan targetnya.
Namun, keberhasilan ini menghadirkan tantangan baru. Salah satu persoalan utama yang mengemuka adalah keterbatasan akses jaringan listrik. Meski energi terbarukan kini mendominasi kapasitas terpasang di China, kontribusinya terhadap total listrik yang benar-benar disalurkan ke konsumen masih jauh dari proporsional.
Di kuartal pertama tahun ini, tenaga angin dan surya hanya menyumbang 22,5 persen dari listrik yang dikirimkan kepada pelanggan, jauh di bawah ekspektasi mengingat kapasitas terpasangnya sudah melampaui separuh total kapasitas nasional. Jaringan distribusi masih lebih mengutamakan listrik dari pembangkit berbahan bakar fosil, memperlambat adopsi nyata energi bersih.
Permasalahan ini diperparah oleh fenomena "front-loading", yakni percepatan instalasi pembangkit energi terbarukan akibat berkurangnya permintaan ekspor turbin dan panel surya China di tengah meningkatnya proteksionisme global.
Menurut analis dari kelompok investasi asal Prancis, Natixis, China akhirnya mengalihkan fokus ke dalam negeri, membanjiri jaringannya dengan kapasitas baru yang belum siap ditampung. Alhasil, sebagian besar produksi dari tenaga angin dan surya terpaksa terbuang sia-sia.
Sementara itu, ironi besar muncul ketika China, di tengah gencarnya kampanye energi bersih, tetap menambah kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara. Sepanjang tahun 2024, pembangunan baru sebesar 99,5 GW kapasitas pembangkit berbasis batu bara dimulai.
Pemerintah beralasan bahwa pembangkit ini diperlukan untuk menyediakan energi baseload — yakni pasokan listrik stabil yang bisa menopang fluktuasi produksi dari sumber terbarukan yang bergantung pada kondisi alam.
Sebagai negara penghasil karbon dioksida terbesar di dunia, dan pemilik armada pembangkit listrik berbahan bakar batu bara terbesar, China memikul tanggung jawab besar terhadap keberhasilan upaya global dalam mengatasi perubahan iklim.
Pemerintah telah berkomitmen untuk mulai mengurangi konsumsi batu bara dalam periode 2026 hingga 2030, serta memastikan bahwa emisi karbon dioksida akan mencapai puncaknya sebelum dekade ini berakhir.
Selain itu, di bawah kesepakatan Paris, China berjanji untuk menurunkan intensitas karbon — jumlah emisi karbon per unit pertumbuhan produk domestik bruto — sebesar 65 persen dari level tahun 2005, sebelum tahun 2030.
Namun realitas di lapangan menunjukkan perjalanan yang penuh tantangan. Menurut Lauri Myllyvirta, peneliti senior di Asia Society Policy Institute, China dinilai masih jauh tertinggal dalam jalur pencapaian target-target iklimnya.
Pembangunan pembangkit batu bara baru dinilai berpotensi terus "menggeser" energi bersih, menghambat transisi energi yang lebih ramah lingkungan. Myllyvirta dalam laporannya yang diterbitkan oleh Dialogue Earth mengingatkan bahwa setelah beberapa tahun dengan progres lambat, China kini menghadapi tantangan besar untuk memenuhi komitmen utamanya di bawah Perjanjian Paris.
Di tengah semua dinamika ini, China berada di persimpangan jalan besar: di satu sisi memimpin dunia dalam kapasitas energi terbarukan, namun di sisi lain masih bergantung kuat pada batu bara untuk menjaga ketahanan energi nasional.
Keputusan-keputusan strategis yang diambil dalam beberapa tahun ke depan akan menjadi faktor penentu apakah China bisa mengubah posisinya dari kontributor besar emisi global menjadi pelopor transisi energi bersih dunia.
India Siapkan Insentif Besar Dorong Produksi Green Steel
Berbeda dengan China, dalam upaya mempercepat transisi menuju ekonomi rendah karbon, India kini tengah merancang serangkaian insentif untuk memperkuat produksi baja ramah lingkungan atau green steel.
Upaya ini menjadi bagian dari strategi nasional untuk mengurangi emisi gas rumah kaca secara signifikan dan mewujudkan target ambisius net zero emission pada tahun 2070.
Sebagai produsen baja terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok, India menyadari betapa vitalnya sektor baja dalam perekonomian sekaligus dampaknya terhadap lingkungan. Industri baja secara tradisional dikenal sebagai salah satu penyumbang emisi karbon terbesar, sehingga transformasi dalam sektor ini menjadi kunci dalam perjalanan India menuju masa depan berkelanjutan.
Sandeep Poundrik, Sekretaris Kementerian Baja India, dalam sebuah acara industri baru-baru ini mengungkapkan bahwa pemerintah tengah menyiapkan berbagai langkah untuk mendorong industri baja melakukan dekarbonisasi.
Salah satu langkah tersebut adalah melalui sebuah "misi nasional" yang bertujuan memberikan dukungan konkret kepada para produsen untuk mengurangi jejak karbon mereka. Poundrik menyampaikan optimismenya bahwa inisiatif ini akan segera mendapat persetujuan resmi dari pemerintah, membuka jalan bagi realisasi insentif besar-besaran dalam waktu dekat.
Dalam rencana ini, perusahaan-perusahaan baja akan diberikan insentif khusus untuk meningkatkan produksi green steel serta mengadopsi penggunaan energi terbarukan dalam operasional mereka. Selain itu, pemerintah juga tengah memfinalisasi regulasi yang akan mewajibkan penggunaan persentase tertentu dari green steel dalam setiap proyek yang didanai negara.
Kebijakan ini diharapkan menjadi katalisator yang efektif untuk meningkatkan permintaan baja ramah lingkungan di pasar domestik.
Upaya standarisasi green steel juga telah dilakukan. Pada tahun lalu, India secara resmi mendefinisikan green steel sebagai baja yang dalam proses produksinya menghasilkan emisi karbon di bawah 2,2 ton karbon dioksida per ton baja.
Definisi ini menjadi fondasi penting untuk menilai dan mengkategorikan produksi baja hijau di masa depan, sekaligus memberikan kerangka kerja yang jelas bagi produsen yang ingin berpartisipasi dalam program insentif.
Dorongan pemerintah India untuk mengembangkan green steel tidak hanya penting untuk memenuhi komitmen iklim global, tetapi juga membuka peluang besar bagi industri domestik untuk memperluas akses ke pasar internasional yang kini semakin ketat terhadap persyaratan emisi karbon.
Dengan negara-negara besar lain di dunia, termasuk di Eropa dan Amerika Utara, yang memperketat standar keberlanjutan dalam rantai pasok mereka, kemampuan India untuk menawarkan baja beremisi rendah bisa menjadi keunggulan kompetitif baru di tingkat global.
Namun, jalan menuju dekarbonisasi sektor baja tentu tidak mudah. Tantangan besar masih menghadang, mulai dari kebutuhan investasi teknologi yang tinggi, keterbatasan pasokan energi terbarukan yang stabil, hingga kebutuhan untuk mengubah proses produksi tradisional yang sudah mengakar kuat.
Meski demikian, dengan kombinasi dukungan kebijakan yang progresif dan dorongan inovasi dari sektor swasta, India menunjukkan keseriusannya dalam membangun masa depan industri baja yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Langkah-langkah yang diambil saat ini akan menentukan tidak hanya posisi India dalam peta transisi energi global, tetapi juga kualitas pertumbuhan ekonominya di dekade-dekade mendatang: apakah tetap bertumpu pada model pertumbuhan berbasis emisi tinggi, atau bertransformasi menjadi kekuatan baru dalam ekonomi hijau dunia.(*)