KABARBURSA.COM – Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Eddy Soeparno, mengatakan ekonomi karbon berpotensi menjadi salah satu pilar utama dalam mendukung pendapatan negara di masa depan. Di tengah upaya pemerintah untuk memaksimalkan sumber pendapatan seperti pajak, PNBP, dan cukai, Eddy percaya perdagangan karbon akan menjadi sektor yang semakin penting.
"Saya yakin sektor ini akan mencuat sebagai sumber pendapatan baru yang signifikan," ujar Eddy dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XII DPR RI di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta Pusat, Kamis 27 Febuari 2024.
Eddy menilai salah satu tantangan terbesar dalam pengembangan ekonomi karbon adalah perbedaan pemahaman dan persepsi mengenai mekanisme perdagangan karbon. Menurutnya, diperlukan langkah konkret untuk menyatukan pandangan antara pemangku kebijakan dan pelaku industri agar regulasi yang diterapkan bisa berjalan efektif.
Ia menyarankan pembentukan platform atau satuan tugas (Satgas) yang dapat menjadi wadah koordinasi antara pemerintah dan industri. Dengan adanya forum ini, kebijakan yang dikeluarkan dapat lebih mendukung perdagangan karbon sekaligus menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi industri dan investor.
Eddy pun menyoroti pentingnya revisi dan evaluasi terhadap kebijakan yang ada. Sektor perdagangan karbon, kata dia, harus didorong dengan regulasi yang sesuai untuk menciptakan industri yang bersahabat bagi pelaku usaha dan mampu menarik investor. "Regulasi yang baik harus benar-benar mendukung perkembangan perdagangan karbon. Kami di Komisi XII sangat terbuka untuk berdialog dan siap mendukung perubahan yang diperlukan untuk memajukan sektor ini," kata Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional ini.
Koordinasi Lintas Kementerian untuk Perdagangan Karbon
Pentingnya koordinasi antar-kementerian dalam pengembangan perdagangan karbon juga menjadi sorotan. Eddy menilai keterlibatan berbagai kementerian, seperti Kementerian Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Kementerian Keuangan, membuat kolaborasi lintas sektor menjadi kebutuhan mendesak agar mekanisme perdagangan karbon dapat berjalan optimal.
Jika muncul kendala di antara kementerian terkait, Eddy mengatakan Komisi XII siap untuk membahas dan mendukung kebijakan yang dapat mempercepat pertumbuhan sektor ini. Menurutnya, sinergi antar-lembaga sangat diperlukan guna memastikan perdagangan karbon mampu memberikan manfaat yang signifikan bagi perekonomian nasional.
Sebagai langkah ke depan, Eddy menekankan pentingnya diskusi yang berkelanjutan agar kebijakan yang dihasilkan tidak hanya mendukung pertumbuhan industri karbon, tetapi juga selaras dengan target keberlanjutan lingkungan. "Dalam kesimpulan rapat kita nanti, kita harus pastikan dukungan ini tercatat dan mendorong perdagangan karbon agar terus berkembang," katanya.
Skema Perdagangan Karbon
Ekonom dari Universitas Indonesia (UI) Ninasapti Triaswati mengingatkan skema perdagangan karbon (carbon trading) atau bursa karbon bisa menimbulkan permasalahan serius jika tidak dikelola dengan transparan dan akurat. Ia menyoroti prinsip dasar dari karbon kredit berisiko membuat perusahaan yang membeli kredit karbon merasa sudah ‘menebus dosa’ emisinya, padahal secara riil tingkat polusi tidak berkurang.
"Orang yang membeli karbon kredit itu seolah-olah sudah lunas mengotori, karena mereka bisa membeli kredit untuk menutupi emisinya. Secara akuntansi, hasilnya nol. Tapi kalau kita lihat secara prinsip, apakah ini benar-benar mengubah kondisi lingkungan? Jawabannya tidak, ini hanya mempertahankan status quo," ujarnya dalam Acara KabarBursa Ekonomic Insight (KEI) 2025, Rabu 26 Februari 2025 di Hotel Le Meridien Jakarta Pusat, Rabu, 26 Februari 2025.
Nina menjelaskan dalam sistem ini, perusahaan yang menghasilkan emisi tinggi dapat membeli karbon kredit dari pihak yang memiliki surplus, misalnya dari pengelola hutan atau proyek energi terbarukan. Namun, jika pencatatan karbon kredit tidak dilakukan dengan baik, ada potensi besar terjadinya overclaiming atau manipulasi perhitungan. "Yang paling bahaya adalah jika integritas karbon kredit ini tidak terjaga. Kita bisa saja mengklaim hutan kita menghasilkan karbon kredit dalam jumlah besar, padahal kenyataannya tidak sebesar itu. Jika pencatatannya tidak akurat, emisi yang seharusnya berkurang justru tetap berjalan tanpa ada perubahan nyata," kata Nina.
Pengalaman Australia dalam menerapkan sistem kredit karbon menjadi bukti bahwa ketidaktepatan perhitungan dapat menimbulkan konsekuensi besar. Nina mengacu pada riset independen yang menemukan bahwa klaim pengurangan emisi tidak selalu mencerminkan kondisi nyata di lapangan. Menurutnya, evaluasi akademik terhadap sistem yang diterapkan di Australia menunjukkan adanya ketidaksesuaian dalam perhitungan emisi.
Jika pengurangan yang diklaim ternyata tidak benar-benar terjadi, maka muncul pertanyaan mengenai siapa yang sebenarnya mendapat manfaat dari sistem ini. Ia menegaskan mekanisme perdagangan karbon seharusnya tidak sekadar menciptakan keseimbangan angka di atas kertas, tetapi memastikan emisi benar-benar berkurang. Selain itu, Nina juga menyoroti potensi bahaya jika bursa karbon hanya digunakan sebagai alat untuk menutupi polusi tanpa adanya langkah konkret dalam mengurangi emisi secara nyata.
"Kita harus hati-hati. Jangan sampai kita merasa sudah mencapai target pengurangan emisi hanya karena ada mekanisme perdagangan karbon ini. Faktanya, emisi tetap berjalan karena perusahaan yang mengotori merasa sudah bersih. Apalagi jika perhitungan emisi yang diklaim sebagai ‘plus’ itu tidak akurat," katanya.
Masa Depan Perdagangan Karbon Indonesia
Kepala Divisi Pengembangan Bisnis 2 Bursa Efek Indonesia (BEI), Ignatius Denny Wicaksono, menjelaskan masa depan bursa karbon di Indonesia menunjukkan harapan yang positif terutama perkembangan green investment semakin hari kian digalakkan dalam perdagangan global. Hal ini disampaikan Denny dalam acara diskusi KabarBursa Economic Insight 2025.
Denny menjelaskan nilai ekonomi karbon semakin menjadi faktor kunci dalam pengembangan proyek hijau dan investasi berkelanjutan. "Dulu sebelum ada nilai ekonomi karbon, proyek hijau hanya mengandalkan pendapatan dari penjualan energi yang dihasilkan. Sekarang, selain dari produksi energi, proyek juga mendapatkan tambahan pendapatan dari penghematan emisi karbon yang mereka lakukan," ujar Denny.
Saat ini, kata Denny, harga karbon di Indonesia ditaksir sekitar Rp58.000 per ton CO2. Dengan skema ini, proyek-proyek hijau seperti pembangunan pembangkit listrik tenaga angin dan air dapat memperoleh pendapatan tambahan dari penjualan karbon kredit. Perdagangan karbon di Indonesia sendiri mengalami perkembangan pesat sejak pertama kali diluncurkan pada 26 September 2013. Awalnya hanya terdapat satu proyek, namun kini jumlahnya telah bertambah menjadi tujuh proyek dengan total carbon credit yang telah diterbitkan mencapai 3,1 juta ton. Dari jumlah tersebut, sekitar 1,5 juta ton telah terjual, menunjukkan minat yang tinggi dari berbagai pihak.
"Saat ini sudah ada sekitar 107 perusahaan jasa yang ikut serta dalam perdagangan karbon, dan lebih dari 1.100 entitas yang telah menggunakan skema carbon offset, di mana 893 di antaranya adalah individu yang secara sukarela mengompensasi emisi karbon mereka," tutur dia. Denny tak merinci nama-nama entitas perusahaan yang telah berkontribusi dalam perdagangan karbon.
Tidak hanya di perusahaan, Denny menyebut tren offset karbon juga telah merambah diberbagai lini. Seperti seminar nasional bahkan acara pernokahan. Rata-rata konsumsi emisi karbon masyarakat Indonesia sekitar 3 ton per tahun, skema carbon offset memungkinkan individu untuk membayar sekitar Rp450.000 per tahun guna menyeimbangkan emisi mereka.
Animo yang tinggi terhadap perdagangan karbon menunjukkan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat dan pelaku industri terhadap aspek Environmental, Social, and Governance (ESG). Ke depan, perdagangan karbon diharapkan terus berkembang dan menjadi salah satu instrumen utama dalam mendukung target net zero emission Indonesia.
BEI memfasilitasi dua mekanisme perdagangan karbon, yaitu perdagangan sektor spesifik atau sectoral trading dan perdagangan lintas sektor cross-sectoral trading. Mekanisme ini memungkinkan perusahaan yang memiliki kelebihan kuota emisi untuk menjual kredit karbonnya kepada perusahaan lain, baik domestik maupun internasional. Sistem perdagangan karbon tersebut dirancang dengan standar internasional.(*)