KABARBURSA.COM - Para pemimpin dunia pada Selasa, 24 September 2024, menyerukan investasi yang jauh lebih besar dalam energi terbarukan guna menghadapi perubahan iklim. Negara-negara berkembang mengungkapkan mereka memerlukan dukungan finansial untuk melakukan transisi ini.
Dalam Global Renewables Summit, Presiden Kenya William Ruto menekankan pentingnya berinvestasi pada energi terbarukan di Afrika, sejalan dengan janji global yang dibuat pada KTT COP28 tahun lalu untuk melipatgandakan kapasitas energi bersih hingga 2030.
“Afrika hanya menerima kurang dari 50 persen investasi global dalam energi terbarukan, padahal benua ini memiliki 60 persen peluang energi surya terbaik di dunia,” ujar Ruto pada pertemuan yang berlangsung di sela-sela Sidang Umum PBB, dikutip dari Reuters, Rabu, 25 September 2024.
Ia juga menambahkan meski Afrika kaya akan sumber daya, akses terhadap sumber daya tersebut seringkali terhambat oleh campuran energi yang tidak dapat diandalkan atau terlalu mahal.
Perdana Menteri Barbados, Mia Mottley, menyoroti subsidi bahan bakar fosil lebih besar daripada subsidi energi terbarukan, sehingga membuat proyek energi bersih lebih mahal untuk dikembangkan di negara-negara kecil.
"Negara-negara kecil menghadapi kenyataan bahwa biaya energi terbarukan ... kemungkinan akan lebih tinggi daripada bahan bakar fosil tradisional," kata Mottley.
Laporan terbaru, termasuk yang dikeluarkan oleh International Energy Agency, menunjukkan melipatgandakan kapasitas energi terbarukan dunia dalam dekade ini adalah hal yang mungkin. Namun, upaya ini memerlukan regulasi yang kuat, termasuk aturan ketat untuk penerbitan izin proyek, serta investasi dalam pengembangan transmisi dan penyimpanan baterai.
Azerbaijan, yang akan menjadi tuan rumah KTT COP29 pada November mendatang, berencana mendorong pemerintah-pemerintah dunia untuk membuat komitmen global baru guna meningkatkan kapasitas penyimpanan listrik enam kali lipat.
Pada hari yang sama, sebuah koalisi yang terdiri dari beberapa perusahaan terbesar dunia, lembaga keuangan, dan kota-kota yang disebut Mission 2025 mendesak pemerintah untuk mengadopsi kebijakan yang dapat membuka investasi hingga 1 triliun dolar AS dalam energi bersih pada 2030. Kebijakan tersebut meliputi penetapan target kapasitas baru dan penawaran kredit pajak atau kontrak listrik jangka panjang untuk mendorong investasi.
Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, dalam pidato terakhirnya tentang perubahan iklim di sebuah forum yang dihadiri oleh para pemimpin bisnis energi bersih, merayakan undang-undang iklim sebesar 369 miliar dolar AS yang menjadi ciri khas pemerintahannya.
"Kami diberitahu bahwa ini tidak mungkin, tetapi kami melakukannya," kata Biden tentang pengesahan Undang-Undang Pengurangan Inflasi pada 2022, sambil menambahkan undang-undang tersebut telah mendorong inovasi dan menciptakan ratusan ribu lapangan kerja.
“Perusahaan swasta telah mengumumkan investasi lebih dari 1 triliun dolar AS dalam manufaktur bersih," ujar Biden. "Dan ini baru permulaan."
Beberapa perusahaan dan investor mulai melihat teknologi kecerdasan buatan (AI) sebagai solusi masa depan, tetapi mereka juga khawatir dengan pusat data yang boros energi yang diperlukan untuk mendukung AI.
“AI adalah masalah, tapi juga bagian dari solusinya,” ujar CEO AES Corporation, Andres Gluski, dalam wawancaranya dengan Reuters.
“Dengan AI, kita bisa menemukan material baru yang lebih baik untuk baterai, yang lebih baik daripada tembaga. Jika kita kekurangan tenaga kerja, AI bisa membantu. Jika kita perlu mengelola permintaan energi, AI juga akan membantu,” katanya.
Butuh Bantuan Negara Kaya
Pada Sidang Umum PBB Senin, 23 September 2024, lalu, negara-negara berkembang meminta negara-negara terkaya di dunia untuk lebih serius membantu mereka menghadapi dampak ekstrem dari perubahan iklim.
Dilansir dari Reuters, Selasa, 24 September 2024, para pemimpin negara kepulauan kecil yang paling rentan terhadap kenaikan permukaan air laut mendesak negara-negara yang paling banyak membakar bahan bakar fosil – yang menjadi penyebab utama peningkatan suhu – untuk berhenti sekadar “omong kosong” soal isu ini.
“Saya bertanya-tanya apakah negara kita semakin jauh dari persatuan dan kekuatan moral yang kita butuhkan untuk melindungi rakyat kita,” kata Menteri Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Samoa, Cedric Schuster, yang juga memimpin Aliansi Negara-Negara Kepulauan Kecil (AOSIS).
Negara-negara pulau dalam AOSIS kini memiliki suara yang kuat dalam pembicaraan iklim global. Dalam konferensi pers Senin, 23 September 2024, Schuster menantang negara-negara ekonomi terbesar di dunia dalam kelompok G20, yang menyumbang lebih dari 80 persen emisi gas rumah kaca global.
“Kita butuh semua negara, terutama G20, untuk memimpin dalam pengurangan emisi dan pendanaan iklim,” kata Schuster kepada wartawan. “Orang-orang yang rentan di dunia kita sudah lelah dengan janji kosong.”
Pesan serupa disampaikan Menteri Iklim dan Sumber Daya Alam Malawi, Yusuf Mkungula, yang berbicara atas nama blok negara-negara kurang berkembang. “Negara-negara industri harus memimpin.”
Permohonan ini menyoroti semakin lebarnya kesenjangan antara negara-negara yang paling banyak berkontribusi pada pemanasan global dan mereka yang paling menderita akibatnya, menunjukkan bahwa perubahan iklim bukan lagi sekadar masalah lingkungan, tetapi juga keadilan global.
Beberapa pemimpin negara berbicara di “KTT Masa Depan” PBB, sementara yang lain berbicara kepada wartawan dan panel diskusi di lebih dari 900 acara bertema iklim yang digelar di seluruh New York minggu ini.
Sementara itu, para ilmuwan dari Potsdam Institute for Climate Impact Research memperingatkan bahwa manusia telah merusak setidaknya enam sistem alami planet, termasuk keseimbangan iklim. Sistem ketujuh, kimiawi laut, kini terancam oleh pengasaman, yang terjadi saat lautan menyerap karbon dioksida dari udara.
“Peristiwa iklim semakin cepat dan sering,” kata Perdana Menteri Bahama, Phillip Davis, kepada Reuters. Ia mendesak negara-negara kaya untuk “tetap fokus” pada masalah ini. “Sejauh ini, sinyal yang dikirim [oleh negara-negara] tidak sesuai dengan komitmen yang telah dibuat,” katanya.(*)