Logo
>

Biaya Modal Tinggi, Indonesia Bisa Gagal Capai 100 GW PLTS

Biaya modal energi bersih di Indonesia masih 8–12 persen, dua kali negara maju, membuat target 100 GW PLTS dipertanyakan menjelang COP30 di Brasil.

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Biaya Modal Tinggi, Indonesia Bisa Gagal Capai 100 GW PLTS
Ilustrasi COP30. Foto: dok KabarBursa.com.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Mobilisasi pembiayaan iklim sebesar USD1,3 triliun per tahun menjadi salah satu agenda utama Presidensi Brasil pada COP30.

    Indonesia dinilai perlu mengambil peran aktif, terutama untuk mendukung percepatan transisi energi dan target 100 gigawatt (GW) pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto.

    Berdasarkan laporan World Energy Outlook 2025 dari International Energy Agency (IEA) menunjukkan bahwa negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, berpotensi menambah kapasitas energi terbarukan hingga 600 GW per tahun pada 2035 berdasarkan skenario STEPS.

    Jika momentum ini terjaga, ketergantungan terhadap batu bara dapat menurun signifikan. Saat ini, sekitar 55 persen dari permintaan batu bara global yang mencapai 6.090 juta ton (2024) digunakan untuk pembangkit listrik di negara berkembang.

    Namun, negara berkembang menghadapi hambatan biaya modal yang jauh lebih tinggi dibanding negara maju. Cost of capital untuk proyek energi bersih di kawasan ini, termasuk Indonesia– dapat mencapai 8–12 persen, atau dua kali lipat dari negara maju.

    Kondisi tersebut membuat proyek energi hijau sulit mencapai imbal hasil menarik, meski permintaan energi bersih terus meningkat.

    Direktur Climate Policy Initiative, Tiza Mafira mengungkapkan, mobilisasi pendanaan USD1,3 triliun per tahun tidak akan tercapai tanpa penurunan biaya modal di negara berkembang, termasuk Indonesia, yang kini bisa mencapai 8–12 persen atau dua kali lipat negara maju.

    “Jika kita tidak menurunkan biaya modal untuk proyek energi bersih, maka target Presiden Prabowo untuk 100 GW PLTS dalam satu dekade akan sulit tercapai,” kata Direktur Climate Policy Initiative, Tiza Mafira dalam keterangannya dikutip KabarBursa.com, Minggu, 16 November 2025.

    Tiza menilai reformasi harus diperluas, mencakup instrumen penjaminan, insentif fiskal, serta konsistensi regulasi. Indonesia juga perlu meyakinkan investor global pada Forum COP30 di Balem, Brasil, bahwa proyek energi terbarukan memiliki kepastian jangka panjang.

    “Sebab, tanpa langkah ini, kita berisiko menjadi penonton dalam arus investasi global, padahal Indonesia memiliki potensi surya terbesar di Asia Tenggara dan kebutuhan listrik yang terus tumbuh,” lanjutnya.

    Senada dengan itu, Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudistira menekankan bahwa Indonesia perlu merestrukturisasi aliran pendanaan energi untuk merealisasikan visi PLTS 100 GW.

    “Dengan biaya modal proyek energi bersih di Indonesia yang dua kali lebih mahal dibanding negara maju, pemerintah harus segera mengalihkan insentif fiskal, memutus arus kredit ke PLTU batu bara, dan menurunkan risiko investasi energi terbarukan. Integrasi program di pedesaan dan wilayah perbatasan dengan pembangunan PLTS juga mendesak. Tanpa langkah ini, target 100 GW PLTS hanya akan menjadi slogan, bukan game changer pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.

    Bhima mengingatkan bahwa mempertahankan dominasi energi fosil justru berpotensi menimbulkan kerugian ekonomi, kesehatan, dan lingkungan dalam jangka panjang. Mengacu studi CELIOS tentang dampak ekspansi pembangkit gas, beban biaya dapat mencapai ratusan triliun rupiah.

    Sementara itu, Tata Mustasya, Direktur Eksekutif SUSTAIN, menilai program PLTS 100 GW dapat menjadi mesin pertumbuhan berkelanjutan jika diterjemahkan menjadi kebijakan konkret. Ia menyebut COP30 sebagai momentum penting untuk memperkuat strategi energi surya nasional.

    “Pembiayaan dapat digerakkan melalui skema alternatif termasuk pungutan produksi batu bara yang berpotensi menghasilkan hingga Rp360 triliun dalam empat tahun– yang dipadukan dengan insentif untuk memperluas penggunaan energi surya oleh rumah tangga, industri, dan komersial dan pembangunan industri panel surya dalam negeri dengan menarik investasi domestik dan asing. Pengembangan 100 GW energi surya di 80 ribu desa juga akan mendorong transisi energi yang terdesentralisasi dan memperkuat kepemimpinan Indonesia di Global South,” kata Tata.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.