KABARBURSA.COM - Di tengah perdebatan tentang energi bersih dan upaya global untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, hidrogen muncul sebagai salah satu alternatif yang paling diperhitungkan. Gas yang melimpah di alam semesta ini sering disebut-sebut sebagai kunci untuk masa depan energi hijau. Namun, seberapa ramah lingkungan sebenarnya hidrogen, dan bagaimana cara kerjanya dalam memenuhi kebutuhan energi di masa depan?
Hidrogen telah lama dikenal sebagai gas yang memiliki potensi besar sebagai sumber energi. Namun, untuk benar-benar mengurangi emisi dan memberikan solusi bagi krisis iklim, kita perlu memahami cara memproduksinya dan dampak lingkungannya. Seberapa efektif hidrogen sebenarnya sebagai solusi untuk iklim?
Apa Itu Hidrogen?
Dilansir dari DW, Kamis, 3 Oktober 2024, hidrogen adalah elemen paling melimpah di alam semesta, berbentuk gas yang tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak beracun. Gas ini ringan, mudah terbakar, dan memiliki densitas energi yang tinggi — tetapi juga sangat eksplosif. Nama "Hindenburg" pun menjadi terkenal setelah kecelakaan tahun 1937 yang melibatkan kapal udara berisi hidrogen tersebut.
Meski terkenal karena kecelakaan itu, hidrogen telah digunakan selama puluhan tahun di industri petrokimia. Gas ini digunakan untuk memurnikan minyak, memproduksi amonia untuk pupuk, membuat plastik, baja, serta metanol.
Sebagai pembawa energi, hidrogen sangat kuat. Satu kilogram hidrogen mengandung 2,4 kali lebih banyak energi daripada jumlah gas alam yang sama, hampir tiga kali lipat dibandingkan bensin, dan sekitar empat kali lebih banyak dibandingkan batubara.
Apakah Hidrogen Sumber Energi Bersih?
Hidrogen sendiri, saat digunakan dalam sel bahan bakar untuk menghasilkan listrik — misalnya pada beberapa mobil — tidak menghasilkan emisi gas rumah kaca langsung. Produk sampingannya hanya air, listrik, dan panas.
Namun, hidrogen tidak semudah bahan bakar fosil yang bisa langsung digali dan dibakar. Di alam, hidrogen biasanya ditemukan dalam air, sebagai H dalam H2O. Namun, untuk memisahkan dan menyimpan gas ini membutuhkan waktu dan energi.
Saat ini, banyak proses pemisahan hidrogen justru mencemari lingkungan. Produksi hidrogen berkontribusi sekitar 2,2 persen terhadap emisi gas rumah kaca global, meskipun bahan bakar hidrogen yang dihasilkan nantinya terbakar tanpa emisi.
Beragam Metode Produksi Hidrogen
Meski hidrogen adalah gas tak berwarna, industri ini mengembangkan istilah warna untuk menggambarkan metode produksinya.
Saat ini, sebagian besar hidrogen yang dihasilkan disebut gray hydrogen yang menggunakan proses steam reforming dengan gas alam atau metana. Setiap ton gray hydrogen yang diproduksi melepaskan sekitar 10 ton CO2 ke atmosfer.
Black hydrogen dan brown hydrogen bahkan lebih buruk. Keduanya dihasilkan dengan mengubah batubara hitam atau cokelat menjadi gas pada suhu tinggi dan memisahkan hidrogen, yang mencemari atmosfer dengan CO2 dan karbon monoksida yang beracun.
Hidrogen abu-abu, hitam, dan cokelat biasanya digunakan dalam pemurnian minyak dan produksi pupuk, serta menyumbang sekitar 95 persen produksi hidrogen dunia saat ini. Blue hydrogen sedikit lebih menjanjikan, karena proses ini menangkap CO2 yang dihasilkan selama *steam reforming* dan menyimpannya di bawah tanah. Namun, metode ini hanya menangkap sekitar 80-90 persen emisi karbon.
Sementara itu, pink hydrogen diproduksi menggunakan tenaga nuklir, yang memang tidak menghasilkan emisi, tetapi meninggalkan limbah radioaktif. Ada juga turquoise hydrogen yang masih eksperimental dan meninggalkan karbon padat, serta yellow hydrogen yang menggunakan energi matahari atau campuran energi terbarukan dan fosil, namun belum banyak diproduksi.
Hanya green hydrogen yang tidak menghasilkan emisi CO2 selama produksinya, yang diproduksi melalui elektrolisis — memisahkan air menjadi oksigen dan hidrogen menggunakan energi terbarukan. Namun, saat ini green hydrogen hanya menyumbang kurang dari satu persen produksi hidrogen global.
Kendala di Balik Lambatnya Pertumbuhan Hidrogen Hijau
Beberapa hal menghambat perkembangan hidrogen hijau antara lain biaya, infrastruktur yang memadai, dan kurangnya energi terbarukan.
Saat ini, biaya produksi hidrogen hijau lebih dari dua kali lipat dibandingkan hidrogen abu-abu. Untuk membangun sektor hidrogen yang lebih luas demi memenuhi 15 hingga 20 persen dari kebutuhan energi dunia, diperlukan investasi sebesar 15 triliun dolar AS (sekitar Rp203 ribu triliun) hingga 2050, menurut laporan dari Energy Transitions Commission, sebuah lembaga pemikir internasional.
Taruhan Besar Uni Eropa pada Hidrogen
Namun, dalam laporan 2023 tentang hidrogen, Badan Energi Internasional (IEA) menyebutkan perluasan energi terbarukan di wilayah yang kaya akan sinar matahari dan angin — seperti India, Timur Tengah, dan Afrika — dapat meningkatkan porsi hidrogen hijau secara signifikan. Hal ini tentu dapat menurunkan biaya produksi, meski beberapa kritikus berpendapat bahwa akan lebih efisien menggunakan energi terbarukan secara langsung.
Selain itu, gas ini perlu dikirim ke pelanggan di seluruh dunia, dan hidrogen terkenal sulit diangkut dalam jumlah besar. Hidrogen harus disimpan dalam wadah khusus bertekanan, atau diubah menjadi bentuk cair pada suhu minus 253 derajat Celsius, lalu diangkut melalui pipa, truk, atau kapal. Hidrogen juga bisa dipindahkan dalam bentuk amonia, yang lebih mudah diangkut dalam bentuk cair.
Namun, sebelum semuanya terealisasi, dunia perlu membangun infrastruktur yang memadai. Jerman dan beberapa negara lain berencana untuk berinvestasi besar-besaran di sektor ini selama dekade mendatang, dengan harapan hidrogen dapat menjadi alternatif yang layak untuk bahan bakar fosil.(*)