KABARBURSA.COM – Pemerintah resmi menerapkan bahan bakar solar dengan campuran biodiesel berbasis minyak sawit sebesar 40 persen atau B40 mulai 1 Januari 2025. Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi, mengungkapkan program ini mampu menghemat devisa hingga Rp147,5 triliun, dibandingkan program B35 yang hanya menghemat Rp122,98 triliun.
“Dengan demikian terjadi penghematan devisa sekitar Rp25 triliun dengan tidak mengimpor BBM jenis minyak solar,” kata Eniya, dikutip dari laman esdm.go.id, Senin, 6 Januari 2024.
Eniya mengatakan program mandatori Biodiesel B40 tidak hanya berdampak positif secara ekonomi, tetapi juga membawa manfaat besar di bidang sosial dan lingkungan. Inisiatif ini meningkatkan nilai tambah minyak kelapa sawit (CPO) menjadi biodiesel hingga Rp20,9 triliun.
Selain itu, program ini menciptakan lapangan kerja bagi lebih dari 14 ribu pekerja di sektor pengolahan (off-farm) dan 1,95 juta pekerja di sektor perkebunan (on-farm). Dari sisi lingkungan, implementasi B40 mampu menekan emisi gas rumah kaca hingga 41,46 juta ton CO2e per tahun.
[caption id="attachment_109967" align="alignnone" width="1580"] Realisasi biodiesel di Indonesia dari tahun 2021 hingga Agustus 2024.[/caption]
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia mengatakan kebijakan B40 merupakan bagian dari Asta Cita Presiden Prabowo Subianto untuk mewujudkan ketahanan energi nasional. Menurut mantan Menteri Investasi ini, pemerintah telah mempersiapkan langkah lebih ambisius, yakni penerapan B50 pada 2026.
“Kita akan mendorong implementasi B50 pada 2026 dan kalau ini kita lakukan, maka impor kita terhadap solar, Insya Allah dipastikan sudah tidak ada lagi di tahun 2026,” kata Bahlil dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat, 3 Januari 2025, lalu.
Bahlil mengatakan langkah ini bertujuan untuk mendukung swasembada energi nasional sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil impor.
Data dari Dewan Energi Nasional (DEN) menunjukkan bauran energi Indonesia pada tahun 2023 masih didominasi oleh batu bara sebesar 40,46 persen, diikuti minyak bumi 30,18 persen, gas bumi 16,28 persen, dan energi baru terbarukan (EBT) 13,09 persen. Persentase energi terbarukan mengalami peningkatan sebesar 0,79 persen menjadi 13,09 persen. Meski demikian, realisasi ini masih berada di bawah target yang ditetapkan, yakni sebesar 17,87 persen.
Program B40 menjadi cara lain bagi pemerintah untuk meningkatkan penggunaan energi terbarukan. B40 merupakan program pencampuran biodiesel dengan bahan bakar fosil, di mana 40 persen dari bahan bakar yang digunakan berasal dari minyak kelapa sawit, sementara sisanya, 60 persen, adalah bahan bakar diesel berbasis fosil.
Implementasi ini diatur dalam Keputusan Menteri ESDM No 341.K/EK.01/MEM.E/2024. Alokasi biodiesel B40 tahun 2025 mencapai 15,6 juta kiloliter (kl), terdiri dari 7,55 juta kl untuk Public Service Obligation (PSO) dan 8,07 juta kl untuk non-PSO. Penyaluran biodiesel ini melibatkan 24 Badan Usaha BBN, dua BU BBM untuk distribusi PSO dan non-PSO, serta 26 BU BBM khusus untuk penyaluran non-PSO.
Masih Menggantung
[caption id="attachment_55078" align="alignnone" width="1236"] Kantor Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat. (Foto: Kabar Bursa/Abbas Sandji)[/caption]
Nyatanya, pelaksanaan program B40 masih terombang-ambing. Ketidakjelasan soal regulasi teknis membuat para pelaku industri kebingungan, termasuk para pedagang minyak sawit sendiri.
Hingga kini, Pertamina dan Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI) masih menunggu keputusan resmi untuk mulai menjual bahan bakar tersebut. “Setelah regulasi diterbitkan, akan ada waktu transisi sebelum penjualan dimulai. Saat ini kami telah mempersiapkan kilang Plaju dan Kasim untuk memproses B40,” kata Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, dikutip dari Reuters.
Sekretaris Jenderal APROBI, Ernest Gunawan, menyatakan bahwa para anggotanya belum bisa menandatangani kontrak distribusi biodiesel tanpa keputusan resmi dari pemerintah. Di sisi lain, Direktur Bioenergi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Edi Wibowo, mengatakan pihaknya masih menunggu arahan lebih lanjut terkait implementasi B40, namun belum memberikan rincian detail. Beberapa pejabat senior kementerian pun belum memberikan tanggapan terkait hal ini.
Pengamat industri minyak sawit memprediksi penerapan kebijakan B40 akan dilakukan secara bertahap. Sementara itu, pedagang minyak sawit masih menunggu alokasi resmi biodiesel dari pemerintah kepada distributor bahan bakar untuk menghitung dampaknya terhadap ekspor.
Sebelumnya, pemerintah mengumumkan rencana alokasi biodiesel sebesar 15,62 juta kiloliter (sekitar 4,13 miliar galon) untuk program B40 pada 2025. Namun, rencana subsidi yang hanya mencakup kebutuhan non-industri—kurang dari separuh kebutuhan nasional—memicu kekhawatiran di berbagai kalangan.
“Masih ada hambatan bagi sentimen bullish karena pelaku pasar belum yakin dengan keberhasilan kebijakan biodiesel B40 Indonesia,” kata Kepala Riset Sunvin Group yang berbasis di Mumbai, Anilkumar Bagani.(*)