KABARBURSA.COM – Industri batu bara Indonesia sedang berdiri di simpang jalan. Arus kas yang melimpah dan neraca keuangan yang sehat bisa menjadi bekal yang cukup untuk berbelok menuju bisnis energi bersih. Namun, banyak perusahaan masih menatap jalan itu dengan ragu.
Dalam laporan berjudul Coal in Indonesia: Paradox of Strength and Uncertainty, lembaga kajian Energy Shift Institute (ESI) menyoroti ironi yang tengah dihadapi perusahaan batu bara nasional. Di tengah tekanan global untuk transisi energi, industri batu bara justru mencetak rekor laba bersih hingga USD31,4 miliar sepanjang 2019–2023.
Angka ini hanya kalah dari sektor perbankan. Bahkan pada 2024, produksi batu bara Indonesia mencapai 836 juta ton—naik 7,9 persen dari tahun sebelumnya—dan seolah kebal dari penurunan permintaan global.
Namun, ESI mengingatkan kejayaan sektor batu bara tersebut hanya bersifat sementara. Hazel Ilango, principal dan pemimpin kajian transisi batu bara Indonesia di ESI, menilai keuntungan besar yang diraih dalam beberapa tahun terakhir lebih merupakan lonjakan sesaat yang wajar terjadi dalam industri komoditas yang fluktuatif, bukan karena adanya keunggulan struktural.
“Meski harga masih di atas tingkatan pra-pandemi, nilainya telah turun lebih dari separuh sejak 2022,” kata principal dan pemimpin kajian transisi batu bara Indonesia ESI, Hazel Ilango, dalam laporannya yang dikutip KabarBursa.com, Selasa, 24 Juni 2025.
Sektor ini memang menjadi penopang penting ekonomi nasional. Dalam beberapa tahun terakhir, kontribusi batu bara terhadap PDB nasional mencapai 3,6 persen. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, sepanjang tahun 2023, sektor mineral dan batu bara—yang mencakup pertambangan logam hingga batu bara dan lignit—menyumbang Rp2.198 triliun atau sekitar 10,5 persen terhadap total produk domestik bruto Indonesia.
Sementara itu, kontribusi spesifik dari subsektor batu bara dan lignit pada Kuartal II 2024 tercatat sebesar 3,48 persen. Namun, hingga pertengahan 2025 ini, BPS belum merilis data lengkap kontribusi tahunan untuk periode 2024. Meski demikian, tren kontribusi sektor ini menunjukkan betapa batu bara masih menjadi tulang punggung pendapatan negara, meski tekanan global untuk segera bertransisi menuju energi bersih kian menguat.
Di daerah-daerah seperti Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Selatan, ketergantungan terhadap batu bara sangat tinggi. Masing-masing 40, 25, dan 15 persen. Meski begitu, laporan ESI memperkirakan kontribusi ini akan terus menyusut jika tidak diantisipasi dari sekarang.
ESI menganalisis 12 perusahaan tambang nasional dan menemukan bahwa mayoritas memiliki fondasi yang kuat untuk mulai mendiversifikasi bisnis. Sebagian besar tambang yang dikelola tergolong aset matang yang mampu mempertahankan produksi tanpa investasi besar. Rata-rata rasio utang terhadap ekuitas hanya 21 persen, jauh lebih rendah dibanding rerata global yang mencapai 101 persen. Ini menjadikan perusahaan-perusahaan Indonesia berada dalam posisi likuiditas yang sangat aman.

“Gabungan faktor kepercayaan pasar pada sektor batu bara, kestabilan permintaan dan pasokan dalam jangka menengah, serta profitabilitas yang cukup terjaga, menempatkan Indonesia, eksportir batu bara termal terbesar di dunia, pada posisi yang ideal untuk menggunakan arus kas saat ini guna merancang transisi yang lebih teratur. Untuk itu, kami mendorong perusahaan tambang Indonesia untuk meninggalkan sikap wait-and-see,” tutur Putra Adhiguna, rekan penulis laporan tersebut.
Meski industri batu bara dikenal sebagai sektor padat modal, mayoritas perusahaan tambang di Indonesia justru memiliki struktur utang yang tergolong rendah. Berdasarkan laporan ESI, rasio utang terhadap total modal dari 12 perusahaan batu bara Indonesia pada tahun fiskal 2024 hanya rata-rata sebesar 21 persen. Angka ini sangat jauh di bawah rerata global yang mencapai 101 persen.

Data dalam grafik memperlihatkan bahwa sebagian besar perusahaan Indonesia, seperti PT Bayan Resources Tbk, PT ABM Investama Tbk, dan Baramulti Suksessarana, nyaris tidak memiliki utang signifikan di luar sewa. Bahkan perusahaan-perusahaan besar seperti PT Bumi Resources Tbk dan Adaro Andalan Indonesia pun masih menjaga rasio utangnya di bawah rerata global.
Fakta ini menandakan pelaku industri batu bara di Indonesia berada dalam posisi keuangan yang relatif kuat. Mereka mampu mempertahankan tingkat utang yang rendah, kendati beroperasi di sektor yang lazimnya menuntut investasi besar untuk pengembangan infrastruktur dan operasional tambang. Dalam konteks transisi energi, kondisi ini bisa menjadi keunggulan strategis yang memungkinkan perusahaan untuk bermanuver lebih fleksibel—termasuk dalam mendanai diversifikasi usaha ke sektor energi terbarukan.
Namun jalan menuju transisi tak sepenuhnya lapang. Salah satu tantangan terberat adalah ketergantungan ekspor ke China dan India yang pada 2023 mencapai 63 persen. Selain itu, profit industri terpusat hanya pada segelintir pemain—28 perusahaan menikmati seluruh keuntungan USD31,4 miliar. Pola ini membuat risiko sistemik sulit dihindari jika harga anjlok.
Di sisi lain, pemerintah masih menggelar regulasi yang dianggap membebani pelaku industri, seperti Domestic Market Obligation (DMO), retensi devisa, dan penyesuaian tarif royalti. Meski langkah ini bertujuan menjaga pendapatan negara, ESI menyebut kebijakan tersebut dapat memperlambat kemauan perusahaan untuk segera bertransformasi.
“Menemukan insentif bagi sektor ini untuk beralih ke bisnis yang lebih berkelanjutan sangat penting agar perusahaan-perusahaan ini tetap dapat berkontribusi bagi masa depan ekonomi Indonesia dan daerah-daerah penghasil batu bara,” kata Putra.
Sayangnya, hanya sedikit perusahaan yang mulai bergerak. Beberapa telah mengumumkan rencana parsial, seperti eksplorasi energi terbarukan atau ekspansi ke sektor non-batu bara. Namun sebagian besar masih sebatas niat di atas kertas, belum menunjukkan transformasi yang nyata.
“Perusahaan yang menunda perubahan demi mengejar keuntungan jangka pendek atau hanya menunggu cadangan habis, justru akan membatasi fleksibilitasnya dan meningkatkan risiko jangka panjang,” kata Ilango.
Ia juga mengingatkan peta energi dunia kini sedang bergeser. “Di Tiongkok, importir batu bara terbesar dari Indonesia, lebih dari tiga perempat pertumbuhan permintaan listriknya dipenuhi oleh energi bersih. Ini menunjukkan arah yang tidak bisa lagi diabaikan oleh Indonesia dan harus segera direspons dengan strategis.”(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.