KABARBURSA.COM - Skema power wheeling yang diusulkan dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBET) dikhawatirkan akan berdampak besar pada biaya penyediaan listrik negara. Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra Talattov, mengatakan skema ini dapat meningkatkan biaya pokok penyediaan listrik, terutama akibat masuknya pembangkit listrik swasta ke dalam jaringan distribusi negara. Hal ini dapat menyebabkan lonjakan pengeluaran bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) di masa mendatang.
“Tidak perlu menjadikan power wheeling sebagai stimulus dalam memacu energi baru terbarukan karena power wheeling sangat membahayakan keuangan negara. Beban negara berisiko naik dan membahayakan APBN pada periode mendatang," ujar Abra dalam keterangan tertulis, Selasa, 10 November 2024.
Abra menekankan beban APBN bisa meningkat karena skema ini akan menyebabkan kenaikan biaya pokok penyediaan listrik. Kenaikan ini lantaran masuknya pembangkit listrik swasta ke dalam sistem distribusi listrik negara melalui skema power wheeling.
Melalui skema ini, pembangkit listrik milik swasta diperbolehkan menjual listrik energi baru dan terbarukan (EBT) secara langsung ke masyarakat dengan menggunakan jaringan transmisi milik negara yang disewa. “Beberapa risiko sebagai implikasi skema power wheeling yang selanjutnya akan berdampak terhadap kesehatan keuangan negara," katanya.
Menurut Abra, risiko tambahan pada APBN dapat muncul karena sifat intermiten dari energi terbarukan yang digunakan dalam skema ini meningkatkan biaya cadangan listrik atau backup cost. Setiap 1 gigawatt (GW) pembangkit yang masuk melalui power wheeling, kata Abra, bisa menambah beban hingga Rp3,44 triliun.
Selain itu, Abra menilai pemerintah tidak perlu memberikan kemudahan tambahan kepada pihak swasta dalam penggunaan jaringan listrik negara. Dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) terbaru, kapasitas pembangkit energi terbarukan yang ditargetkan sudah mencapai 20,9 GW, di mana 56,3 persen atau setara 11,8 GW dikelola oleh pihak swasta.
"Kementerian Keuangan seharusnya menjadi garda terdepan dalam menolak skema power wheeling yang bisa merugikan keuangan negara. Kementerian Keuangan mengetahui betul kondisi fiskal negara di masa mendatang," kata Abra.
Abra menambahkan, pengembangan energi terbarukan sebetulnya bisa dijalankan hanya dengan mengacu pada RUPTL yang telah disepakati, tanpa perlu skema tambahan seperti power wheeling. Dia juga menegaskan pentingnya kewaspadaan pemerintah dalam pembahasan RUU EBET, terutama karena skema power wheeling yang diusulkan dapat membebani keuangan negara, yang pada akhirnya akan berdampak langsung pada pembangunan dan masyarakat kecil.
Dalih Percepat Energi Bersih
Pemerintah telah mengajukan skema pembatasan pemanfaatan jaringan transmisi atau power wheeling dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBET). Pemerintah berdalih skema ini adalah bertujuan untuk mempercepat pengembangan energi bersih dengan meningkatkan efisiensi penggunaan jaringan transmisi, serta memastikan PLN tetap sebagai badan usaha yang tidak dirugikan dalam penyediaan listrik.
Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi, mengatakan skema power wheeling mengatur pembangkit energi baru dan terbarukan dilarang menyalurkan listrik langsung ke konsumen, baik di dalam maupun di luar wilayah usaha PLN.
Namun, RUU EBET memungkinkan pembangkit listrik dengan Izin Usaha Pembangkit Tenaga Listrik Umum (IUPTLU) di wilayah usaha PLN menyalurkan listrik ke kawasan industri di luar wilayah PLN dengan menyewa jaringan PLN. Selain itu, pembangkit dengan Ijin Usaha Pembangkit Tenaga Listrik Surya (IUPTLS) dan konsumen PLN yang memiliki pembangkit EBT sendiri juga dapat menyalurkan listrik ke perusahaan tertentu dengan menyewa jaringan PLN. Menurut Eniya, skema ini justru memperkuat posisi PLN.
“Selama masih di wilayah usaha PLN dan ada sumber EBT, kita bisa memanfaatkan transmisi bersama PLN untuk suplai listrik ke konsumen PLN di wilayah tertentu," kata Eniya dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin, 9 September 2024.
Baca halaman selanjutnya...
Meski demikian, skema power wheeling menjadi isu kontroversial dalam RUU EBET. Serikat pekerja PLN telah menyatakan penolakan keras terhadap skema ini. Ketua Umum DPP SP PT PLN (Persero), M Abrar Ali, menilai konsep power wheeling merupakan bagian dari liberalisasi pasar listrik.
Skema ini memungkinkan adanya mekanisme Multi Buyer Multi Seller (MBMS), di mana pihak swasta maupun negara dapat menjual listrik langsung ke konsumen melalui pasar terbuka. Power wheeling terdiri dari dua jenis transaksi, yakni Wholesale Wheeling dan Retail Wheeling.
Wholesale wheeling terjadi ketika pembangkit listrik menjual daya dalam skala besar kepada perusahaan atau konsumen di luar wilayah operasionalnya. Sementara itu, retail wheeling memungkinkan pembangkit listrik langsung menjual energi ke pengguna akhir. Keduanya memanfaatkan jaringan transmisi yang berfungsi seperti jalan tol, di mana pengguna harus membayar biaya akses untuk menggunakannya.
Menurut Ali, konsep power wheeling berasal dari pola unbundling yang sebelumnya diatur dalam UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. Namun, Mahkamah Konstitusi membatalkan konsep ini melalui Putusan MK Nomor 111/PUU-XIII/2015 karena dianggap bertentangan dengan peran negara dalam mengontrol sektor kelistrikan. Kembalinya skema power wheeling dalam RUU EBET dipandang sebagai upaya liberalisasi yang dianggap melanggar konstitusi dan mengurangi kontrol negara atas energi listrik.(*)