Logo
>

Bumi Makin Gersang, Tiga Perempat Daratan Kini Kering Permanen

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Bumi Makin Gersang, Tiga Perempat Daratan Kini Kering Permanen

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Selama tiga dekade terakhir, 77,6 persen daratan di bumi menjadi lebih kering dibandingkan 30 tahun sebelumnya. Dalam laporan terbaru dari Konvensi PBB untuk Memerangi Desertifikasi (UNCCD), tercatat adanya tren yang mengkhawatirkan di tengah semakin seringnya bencana perihal air seperti banjir dan badai di beberapa wilayah dunia.

    Laporan itu mengungkapkan sejak 1990 hingga 2020, luas lahan kering di dunia bertambah 4,3 juta kilometer persegi—setara hampir sepertiga luas India—sehingga kini mencakup 40,6 persen dari total daratan Bumi (kecuali Antartika). Lebih dari 7,6 persen daratan dunia, dengan luas lebih besar dari Kanada, telah melewati ambang batas kekeringan, bergeser dari lahan basah ke lahan kering, atau dari kategori kering ringan ke lebih kering.

    Jika emisi gas rumah kaca tidak dikendalikan, laporan itu memperingatkan, 3 persen wilayah basah di dunia dapat berubah menjadi lahan kering pada akhir abad ini. Daerah yang berisiko mencakup Amerika Serikat bagian tengah, Meksiko tengah, kawasan Mediterania, sebagian besar Afrika selatan, dan Australia bagian selatan.

    Berbeda dengan kekeringan sementara, ariditas adalah transformasi permanen. “Ketika iklim suatu wilayah menjadi lebih kering, kemampuan untuk kembali ke kondisi semula hilang,” kata Sekretaris Eksekutif UNCCD, Ibrahim Thiaw, dilansir dari laman unccd, Selasa, 10 Desember 2024.

    “Ini adalah ancaman eksistensial yang memengaruhi miliaran orang di seluruh dunia,” imbuhnya.

    Dampak Sosial dan Ekologis

    Kekeringan permanen telah memperburuk degradasi lahan di banyak wilayah, dari Eropa (95,9 persen daratannya kini mengalami pengeringan) hingga Amerika Serikat bagian barat, Brasil, Afrika tengah, dan Asia timur. Akibatnya, wilayah yang sebelumnya menjadi lumbung pangan kini menghadapi masa depan yang suram. Di kawasan Mediterania, misalnya, semi-ariditas kian meluas, mengancam keberlanjutan pertanian dan kehidupan masyarakat.

    Di Afrika, peningkatan ariditas juga telah menyebabkan badai debu yang lebih besar dan sering, sementara di Timur Tengah dan Asia Selatan, migrasi paksa akibat tanah yang tidak lagi layak huni menjadi masalah besar. Diproyeksikan hingga 5 miliar orang akan hidup di kawasan kering pada akhir abad ini, berhadapan dengan tanah yang tandus, air yang semakin langka, dan ekosistem yang runtuh.

    Beberapa wilayah paling terdampak antara lain:

    1. Amerika Serikat Barat dan Brasil: Kekeringan ekstrem dan kebakaran hutan kini menjadi ancaman tahunan.
    2. Eropa Selatan dan Mediterania: Lumbung pangan tradisional ini menghadapi transisi menjadi lahan semi-arid.
    3. Afrika Tengah dan Asia Timur: Ekosistem megabiodiversitasnya terancam oleh desertifikasi.

    Sebaliknya, hanya 22,4 persen daratan dunia yang menjadi lebih basah, termasuk wilayah tertentu di Amerika Serikat tengah, pantai Atlantik Angola, dan Asia Tenggara. Namun, tren keseluruhan jelas: lahan kering terus meluas.

    Prediksi Iklim Indonesia di 2025

    Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika atau BMKG sebelumnya meluncurkan laporan Climate Outlook 2025 alias Pandangan Iklim 2025. Laporan ini, kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati, bisa jadi pegangan bagi pemerintah pusat, daerah, dan semua pihak yang aktivitasnya berkaitan dengan fenomena iklim. Intinya, prediksi cuaca sepanjang 2025 menunjukkan kondisi yang terbilang netral, meski tetap ada beberapa catatan penting untuk diwaspadai.

    Menurut Dwikorita, El Nino-Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) diprediksi bakal netral sepanjang tahun. Meski begitu, La Nina lemah diperkirakan masih bertahan hingga awal 2025. “Sepanjang 2025, sebagian besar wilayah Indonesia akan mengalami curah hujan tahunan pada kategori normal, dengan jumlah berkisar antara 1000 sampai 5000 mm per tahun,” ungkapnya, dikutip dari laman bmkg.go.id.

    Namun, suhu udara juga perlu diperhatikan. Pada Mei hingga Juli 2025, suhu permukaan di Indonesia diprediksi lebih hangat sekitar 0,3 hingga 0,6 derajat Celsius dibandingkan rata-rata. Wilayah Sumatera Selatan, Jawa, NTB, dan NTT disebut sebagai zona yang perlu ekstra waspada dengan kenaikan suhu ini.

    Sebanyak 67 persen wilayah Indonesia diperkirakan akan mendapat curah hujan lebih dari 2500 mm per tahun. Ini mencakup hampir seluruh Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Kepulauan Maluku, dan Papua. Di sisi lain, ada 15 persen wilayah yang diprediksi mengalami hujan di atas normal, termasuk sebagian kecil Sulawesi, NTT, dan Papua bagian tengah.

    Namun, 1 persen wilayah—termasuk NTT dan Maluku Utara—berpotensi mengalami curah hujan di bawah normal. Bahkan, Bali, NTB, dan NTT diingatkan soal potensi hari tanpa hujan yang panjang.

    Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, menyoroti dampak curah hujan terhadap sektor pertanian. Curah hujan normal hingga tinggi dinilai baik untuk meningkatkan produktivitas pangan, terutama di wilayah sentra pangan. Namun, untuk daerah yang diprediksi hujan di bawah normal, diperlukan langkah antisipasi seperti penyesuaian pola tanam, penggunaan bibit tahan kekeringan, dan pengelolaan air yang lebih efisien.

    “Dengan dukungan irigasi dan infrastruktur pendukung lainnya, wilayah tersebut masih bisa menghasilkan panen yang baik,” ujarnya.

    Ancaman Hidrometeorologi dan Kekeringan

    Bagi wilayah dengan curah hujan tinggi, potensi banjir dan longsor pada puncak musim hujan perlu diantisipasi. Sebaliknya, wilayah dengan curah hujan rendah berisiko mengalami kekeringan dan kebakaran hutan, terutama pada puncak musim kemarau. Infrastruktur pengelolaan air seperti drainase, waduk, dan kolam retensi harus dimaksimalkan agar mampu mengurangi dampak buruk dari kedua situasi tersebut.

    “Potensi curah hujan akibat La Nina lemah pada awal 2025 juga perlu diwaspadai karena bisa menambah curah hujan hingga 20 persen di atas normalnya,” kata Ardhasena.

    Meski prediksi curah hujan sebagian besar di atas normal, ancaman kebakaran hutan tetap ada. Catatan BMKG menunjukkan bahwa setiap tahun kebakaran hutan dan lahan tetap terjadi, terlepas dari prediksi iklim. Karena itu, kewaspadaan tetap diperlukan, terutama pada Juli-September 2025.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).