Logo
>

Dana Iklim Global Kehilangan Rp381 Triliun, Hambatan Baru Transisi Energi

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Dana Iklim Global Kehilangan Rp381 Triliun, Hambatan Baru Transisi Energi

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Investor global menarik hampir USD24 miliar atau sekitar Rp381 triliun dari dana iklim sepanjang sembilan bulan pertama 2024. Hal ini diungkap oleh laporan perusahaan jasa keuangan Amerika Serikat, Morningstar Sustainalytics. Penarikan besar-besaran ini berpotensi menghambat upaya transisi energi dunia.

    Kepala Penelitian Investasi Berkelanjutan Morningstar, Hortense Bioy, menyebut arus keluar dana iklim ini berbanding terbalik dengan tren tahun lalu. Pada periode yang sama 2023, investor menyetorkan USD40 miliar atau sekitar Rp636 triliun ke dana iklim. “Arus masuk mencapai puncaknya sebesar USD151 miliar pada 2021, kemudian turun menjadi USD 60 miliar di 2022 dan USD 40 miliar di 2023,” ujarnya, dikutip Reuters, Jumat, 22 November 2024.

    Faktor Pendorong Penarikan Dana

    Bioy menjelaskan, keluarnya dana dari sektor iklim dipengaruhi berbagai faktor, seperti kinerja buruk saham energi terbarukan, kekhawatiran tentang praktik greenwashing, sentimen anti-ESG, serta suku bunga tinggi. Perusahaan energi bersih, seperti yang bergerak di bidang tenaga surya, sangat terdampak oleh naiknya biaya pembiayaan akibat suku bunga tinggi. “Biaya pembiayaan benar-benar membebani valuasi mereka di pasar saham,” kata Bioy.

    Meskipun terjadi arus keluar, total aset dana iklim tetap meningkat 6 persen menjadi USD572 miliar hingga 30 September 2024, berkat apresiasi pasar. Sebanyak 85 persen dana ini berdomisili di Eropa, sementara 6 persen berbasis di Cina, dan 5 persen di Amerika Serikat.

    Dana transisi iklim, yang mendukung perusahaan menuju ekonomi rendah karbon, mencatat pengembalian rata-rata 17,2 persen hingga September, jauh lebih tinggi dibandingkan kategori ekuitas campuran global yang rata-rata hanya 12,4 persen. Namun, dana energi atau teknologi bersih masih tertinggal sejak 2021, dengan pengembalian negatif 3,2 persen hingga akhir September.

    Debat Dana Iklim di COP29

    [caption id="attachment_99201" align="alignnone" width="1440"] Menteri Perindustrian dan Teknologi Maju UEA sekaligus Presiden COP28 Sultan Ahmed Al Jaber menyampaikan pidato saat pembukaan Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (COP29) 2024 di Baku pada 11 November 2024. Foto: ALEXANDER NEMENOV/AFP via Getty Images.[/caption]

    Fenomena keluarnya dana besar untuk investasi iklim tersebut menunjukkan meski ada komitmen dan target ambisius dari negara-negara dunia, dukungan finansial tetap menjadi hambatan utama dalam mitigasi perubahan iklim. Isu pendanaan ini tak hanya terasa dalam sektor investasi, tetapi juga menjadi sorotan utama dalam forum COP29 di Baku, Azerbaijan.

    Di sana, diskusi mengenai uang—termasuk kompensasi dan perdagangan hak emisi karbon—menjadi titik berat pembicaraan.

    Di awal forum yang berlangsung pada Senin, 11 November 2024 itu, para perwakilan negara-negara anggota harus melalui sembilan jam adu argumen di belakang layar hanya untuk menentukan agenda dua pekan ke depan. Setelah urusan agenda disepakati, perhatian langsung tertuju pada isu utama: uang.

    Pda hari pertama itu ada kesepakatan soal isu finansial yang berlarut-larut, yaitu perdagangan hak emisi karbon. Menurut presiden COP29 yang baru, Mukhtar Babayev, langkah ini berpotensi membuka dana hingga USD250 miliar (sekitar Rp3.875 triliun dengan kurs Rp15.500) per tahun untuk membantu negara miskin.

    Namun, Erika Lennon, Senior Attorney di Center for International Environmental Law, mengingatkan resolusi yang dipaksakan di awal konferensi tanpa diskusi atau perdebatan, bisa menjadi preseden buruk bagi proses negosiasi secara keseluruhan.

    Ketika pembicaraan bergulir ke persoalan finansial, jumlah dana yang dibutuhkan negara berkembang diperkirakan mencapai USD1,3 triliun (Rp20.150 triliun) per tahun. Angka ini datang dari negara-negara Afrika, yang meski hanya menyumbang tujuh persen dari emisi gas rumah kaca, sudah mengalami krisis iklim berulang kali, dari banjir hingga kekeringan.

    Presiden baru konferensi iklim PBB itu membuka COP29 dengan peringatan keras. Ia mengatakan berapa pun jumlah yang disepakati nanti, dana tersebut akan menggantikan kesepakatan lama yang menetapkan target USD100 miliar per tahun.

    Negara-negara kaya sebenarnya ingin mendekati angka itu. Jika kesepakatan tercapai, dana kemungkinan berasal dari berbagai sumber, mulai dari hibah, pinjaman, hingga investasi swasta. “Angka-angka ini memang terdengar besar, tapi tidak sebanding dengan biaya yang harus kita tanggung jika tidak bertindak,” ujar Babayev saat membuka pertemuan.

    Tanda Bencana Iklim Makin Nyata

    [caption id="attachment_99200" align="alignnone" width="1160"] Seorang pria berjalan melewati banjir yang mengalir deras di pinggiran Boone, Carolina Utara, untuk membantu pengemudi yang terdampar saat badai Helene melanda pada 27 September 2024. Foto: onathan Drake/Reuters[/caption]

    Tahun ini, suhu global sedang menuju peningkatan 1,5 derajat Celsius dan berpotensi menjadi tahun terpanas dalam sejarah peradaban manusia. Target untuk membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat Celsius sejak era pra-industri telah ditetapkan dalam Kesepakatan Paris 2015. Namun, batasan ini untuk dua hingga tiga dekade ke depan, bukan satu tahun saja. “Mustahil, tidak mungkin,” ujar Sekretaris Jenderal Organisasi Meteorologi Dunia, Celeste Saulo.

    Efek perubahan iklim seperti badai, kekeringan, dan banjir sudah dirasakan. “Kita sedang menuju kehancuran,” kata presiden COP29, Mukhtar Babayev. “Entah Anda menyadarinya atau tidak, orang-orang menderita di tempat-tempat terpencil. Mereka mati dalam kegelapan. Dan mereka butuh lebih dari sekadar belas kasih atau doa. Mereka butuh kepemimpinan dan aksi nyata.”(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).