KABARBURSA.COM - Pembicaraan tahunan iklim PBB dalam forum COP29 resmi dimulai Senin, 11 November 2024. Di awal forum, para perwakilan negara-negara anggota harus melalui sembilan jam adu argumen di belakang layar hanya untuk menentukan agenda dua pekan ke depan. Setelah urusan agenda disepakati, perhatian langsung tertuju pada isu utama: uang.
COP adalah singkatan dari Conference of the Parties (Konferensi Para Pihak). Forum dunia ini melibatkan hampir 200 negara yang telah menandatangani Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim. Azerbaijan menjadi negara ke-29 digelarnya forum yang bergulir sejak 1995 itu.
Di Baku, Azerbaijan—tempat sumur minyak pertama dunia dibor dan aroma bahan bakar masih bisa tercium di udara terbuka—topik pembicaraan tak hanya soal emisi karbon, tapi juga aroma duit yang besar. Mengutip laporan AP, Selasa, 12 November 2024, negara-negara berkembang menuntut agar negara kaya membayar kompensasi untuk mengurangi polusi karbon, beralih dari energi fosil ke energi bersih, serta menghadapi dan beradaptasi dengan dampak bencana iklim yang terus meningkat.
Untuk membuka 12 hari pembicaraan di COP29 dengan sesuatu yang positif, pada hari pertama itu ada kesepakatan soal isu finansial yang berlarut-larut, yaitu perdagangan hak emisi karbon. Menurut presiden COP29 yang baru, Mukhtar Babayev, langkah ini berpotensi membuka dana hingga USD250 miliar (sekitar Rp3.875 triliun dengan kurs Rp15.500) per tahun untuk membantu negara miskin.
Namun, Erika Lennon, Senior Attorney di Center for International Environmental Law, mengingatkan resolusi yang dipaksakan di awal konferensi tanpa diskusi atau perdebatan, bisa menjadi preseden buruk bagi proses negosiasi secara keseluruhan.
Ketika pembicaraan bergulir ke persoalan finansial, jumlah dana yang dibutuhkan negara berkembang diperkirakan mencapai USD1,3 triliun (Rp20.150 triliun) per tahun. Angka ini datang dari negara-negara Afrika, yang meski hanya menyumbang tujuh persen dari emisi gas rumah kaca, sudah mengalami krisis iklim berulang kali, dari banjir hingga kekeringan.
[caption id="attachment_99198" align="alignnone" width="1920"] Para pemimpin dunia yang menghadiri konferensi perubahan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang dikenal sebagai COP29, berpose untuk foto keluarga di Baku, Azerbaijan, Selasa, 12 November 2024. REUTERS/Murad Sezer.[/caption]
Presiden baru konferensi iklim PBB itu membuka COP29 dengan peringatan keras. Ia mengatakan berapa pun jumlah yang disepakati nanti, dana tersebut akan menggantikan kesepakatan lama yang menetapkan target USD100 miliar per tahun.
Negara-negara kaya sebenarnya ingin mendekati angka itu. Jika kesepakatan tercapai, dana kemungkinan berasal dari berbagai sumber, mulai dari hibah, pinjaman, hingga investasi swasta. “Angka-angka ini memang terdengar besar, tapi tidak sebanding dengan biaya yang harus kita tanggung jika tidak bertindak,” ujar Babayev saat membuka pertemuan.
Tanda Bencana Iklim Makin Nyata
Tahun ini, suhu global sedang menuju peningkatan 1,5 derajat Celsius dan berpotensi menjadi tahun terpanas dalam sejarah peradaban manusia. Target untuk membatasi pemanasan hingga 1,5 derajat Celsius sejak era pra-industri telah ditetapkan dalam Kesepakatan Paris 2015. Namun, batasan ini untuk dua hingga tiga dekade ke depan, bukan satu tahun saja. “Mustahil, tidak mungkin,” ujar Sekretaris Jenderal Organisasi Meteorologi Dunia, Celeste Saulo.
Efek perubahan iklim seperti badai, kekeringan, dan banjir sudah dirasakan. “Kita sedang menuju kehancuran,” kata presiden COP29, Mukhtar Babayev. “Entah Anda menyadarinya atau tidak, orang-orang menderita di tempat-tempat terpencil. Mereka mati dalam kegelapan. Dan mereka butuh lebih dari sekadar belas kasih atau doa. Mereka butuh kepemimpinan dan aksi nyata.”
[caption id="attachment_99199" align="alignnone" width="1200"] Pemandangan drone menunjukkan area yang rusak akibat Badai Helene di Steinhatchee, Florida, 27 September. REUTERS/Marco Bello[/caption]
Sekretaris Iklim PBB, Simon Stiell, yang kampung halamannya di Pulau Carriacou dihancurkan Badai Beryl tahun ini. Ia bercerita tentang tetangganya, seorang perempuan 85 tahun bernama Florence, yang hanya fokus pada satu hal: “Tetap kuat untuk keluarga dan komunitasnya.” Menurut Stiell, banyak orang seperti Florence di seluruh dunia. “Tersungkur, tapi bangkit lagi.” Itulah yang dunia harus lakukan terhadap perubahan iklim.
Latar Politik Global yang Bergejolak di Tengah Pembicaraan
Dalam setahun terakhir, banyak negara mengalami gejolak politik, termasuk Amerika Serikat—penghasil karbon terbesar dalam sejarah—dan Jerman—negara yang dikenal memimpin dalam aksi iklim. Terpilihnya Donald Trump yang skeptis terhadap perubahan iklim dan runtuhnya koalisi pemerintahan di Jerman telah mempengaruhi dinamika negosiasi iklim kali ini.
“Negara-negara kaya seharusnya lebih cepat menurunkan emisi,” ujar ilmuwan iklim Imperial College London, Friederike Otto. “Namun, yang kita dapatkan justru Trump, dan pemerintah Jerman yang ambruk karena sebagian dari mereka ingin lebih ambisius terhadap aksi iklim.”
Awalnya, penyelenggara COP29 berharap negosiasi ini dapat menghentikan konflik di berbagai belahan dunia. Namun, perang di Ukraina, Gaza, dan lainnya terus berlangsung. Puluhan aktivis iklim di konferensi banyak di antaranya mengenakan kaffiyeh Palestina seraya membawa spanduk menuntut keadilan iklim dan agar negara-negara berhenti memicu genosida.
“Ini adalah sistem penindasan dan diskriminasi yang sama, yang menempatkan orang di garis depan perubahan iklim dan konflik di Palestina,” kata Lise Masson dari Friends of the Earth International, yang mengecam AS, Inggris, dan Uni Eropa karena kurang berkontribusi pada dana iklim sambil tetap menyuplai senjata ke Israel.
Mohammed Ursof, aktivis iklim dari Gaza, menyerukan dunia untuk mengembalikan kekuatan ke tangan masyarakat adat. Kekuatan, kata dia, harus kembali ke rakyat.
[caption id="attachment_99200" align="alignnone" width="1160"] Seorang pria berjalan melewati banjir yang mengalir deras di pinggiran Boone, Carolina Utara, untuk membantu pengemudi yang terdampar saat badai Helene melanda pada 27 September 2024. Foto: onathan Drake/Reuters[/caption]
Jacob Johns, penyelenggara komunitas Hopi dan Akimel O’odham, datang dengan harapan untuk dunia yang lebih baik. “Di balik kehancuran, selalu ada benih untuk membangun,” ujarnya di panel diskusi tentang harapan masyarakat adat terhadap aksi iklim. “Kita harus menyadari bahwa kita bukan warga satu bangsa, tetapi warga bumi.”
Harapan Besar untuk Paket Finansial yang Kuat
Paket finansial yang sedang dirumuskan dalam pembicaraan iklim tahun ini sangat penting karena setiap negara memiliki tenggat hingga awal tahun depan untuk mengajukan target baru — dan diharapkan lebih ambisius — untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dari pembakaran batu bara, minyak, dan gas alam. Jumlah uang yang disediakan akan mempengaruhi seberapa ambisius rencana iklim setiap negara.
Beberapa peneliti iklim dari Pasifik menyebut jumlah dana bukan masalah terbesar bagi negara-negara pulau kecil—negara yang paling rentan terhadap kenaikan permukaan laut. “Mungkin ada dana di luar sana, tapi untuk kami di Pasifik, mengakses dana ini adalah tantangan besar,” kata Hilda Sakiti-Waqa dari Universitas Pasifik Selatan di Fiji. “Pasifik sangat membutuhkan bantuan teknis untuk menyusun aplikasi dana ini.”
Meskipun pertemuan sempat tertunda, optimisme masih terasa. “Pengalaman saya sekarang adalah negara-negara benar-benar datang untuk bernegosiasi,” ujar utusan iklim Jerman, Jennifer Morgan.
“Kita tidak bisa meninggalkan Baku tanpa hasil yang substansial,” kata Sekretaris Iklim PBB, Simon Stiell. “Inilah saatnya menunjukkan bahwa kerja sama global belum tamat. Kerja sama ini justru bangkit menghadapi tantangan.”(*)