KABARBURSA.COM – Ekonom senior Ryan Kiryanto menilai ada kesalahan cara pandang masyarakat kepada prinsip ESG atau environmental (lingkungan), social (sosial) dan governance (tata kelola perusahaan). Menurutnya, prinsip yang sedang ramai dibicarakan ini disempitkan maknanya hanya sebatas environmental.
Sekadar informasi, prinsip environmental, social, and governance adalah kerangka kerja yang digunakan oleh perusahaan untuk mengintegrasikan tanggung jawab lingkungan, sosial, dan tata kelola dalam operasi bisnis mereka. Tujuannya adalah untuk menciptakan bisnis yang berkelanjutan dan bertanggung jawab, baik secara sosial maupun lingkungan
“Kalau kita bicara ESG, hampir semua korporasi, termasuk pengurus korporasi baik dari swasta dan usaha negara hanya berfokus pada huruf ‘E’ yang pertama,” kata Ryan Kiryanto dalam Media Briefing bertajuk Memaksimalkan Peran Lembaga Jasa Keuangan di Era ESG di Sarinah, Jakarta, dikutip, 13 September 2024.
Kesalahpahaman kepada prinsip ESG berdampak kepada laporan-laporan sustainable atau berkelanjutan yang masuk hanya berisikan beragam kegiatan ramah lingkungan. Kendati demikian, menurutnya hal itu tidak sepenuhnya salah karena di dalam ESG ada bagian yang bernama environmental.
Berdasarkan hasil temuannya di lapangan, 67 persen laporan berkelanjutan hanya berisi kegiatan ramah tamah dengan lingkungan, penanaman pohon, mengecat gedung dengan warna hijau, serta menghias kantor dengan beragam tanaman.
Menurutnya, kesalahpahaman memahami ESG, kata dia dapat berbahaya, karena membuat prinsip ESG jadi tidak ada bedanya dengan kegiatan corporate social responsibility atau biasa dikenal dengan istilah CSR. Padahal seharusnya CSR menjadi bagian dari ESG.
Mengembalikan social dan governance dalam ESG
Laporan perusahaan yang masuk hanya sebatas menggunakan warna hijau dan unsur tanaman agar terlihat peduli lingkungan. Hal inilah yang menurut Ryan harus dikoreksi. Terlalu fokus kepada lingkungan membuat aspek-aspek lain dalam ESG, seperti social dan governance jadi sekadar hiasan.
Aspek sosial, kata dia, tidak kalah penting untuk dilaksanakan. Karena, konsep sosial dalam ESG bisa disederhanakan menjadi prinsip “memanusiakan manusia”. Ia mencontohkan, sebuah perbankan harus mampu melayani customer yang meliputi nasabah, supplier, vendor atau mitra kerja berkebutuhan khusus.
“Misal ada orang berkebutuhan khusus datang ke kantor, pihak bank harus menyediakan kursi roda, menyediakan jalur tersendiri untuk orang-orang berkebutuhan khusus. Sementara dari sisi pemberi kerja, juga perlu memperhatikan aspek manusia. Contohnya adalah mempekerjakan orang-orang berkebutuhan khusus,” jelasnya.
Hal seperti inilah yang menurutnya harus menjadi perhatian semua pelaku usaha, termasuk perbankan. Menurutnya, orang-orang yang memiliki kebutuhan khusus dapat membantu pekerjaan periset, risk manager, data analitik, atau pekerjaan yang tidak membutuhkan aktivitas di luar ruangan.
Sementara di aspek governance atau tata kelola, kata Ryan, harus berada dalam prinsip good corporate governace. Jika dalam koteks BUMN underlying values-nya adalah AHLAK sehingga semua pihak yang bekerja di BUMN harus menjadikan AHLAK sebagai nilai utama dan nilai khusus yang sifatnya unik dan ada di masing-masing BUMN.
“Tinggal dikombinasikan antara AHLAK sebagai values secara umum dengan values dari setiap BUMN. Kemudian juga harus ada unsur yang terkait dengan pengendalian risiko, atau risk management karena untuk mengoperasikan usahanya, BUMN harus memikirkan atau mempertimbangkan aspek pengendalian risiko,” jelasnya.
Selain itu yang tidak kalah penting adalah pentingnya perusahaan harus patuh kepada aturan yang diterbitkan, baik aturan di dalam atau di luar perusahaan seperti OJK, BUMN dan aturan perundangan lain yang relevan dengan bisnis.
Jika dalam konteks perbankan, bentuk penerapan ESG yang baik adalah memperhatikan perusahaan yang dibiayai. Bank harus memastikan bahwa operasional perusahaan yang akan dibiayai juga memperhatikan prinsip ESG. Posisi perbankan yang secara ekonomi ada di hilir (pembiayaan) harus dapat menekan mitra usahanya mengikuti prinsip ESG.
Agar dapat memetik manfaat dari penerapan ESG, sebuah perbankan harus melakukan assessment ke lembaga-lembaga yang concern terhadap pengujian tingkat ESG. Usai melakukan assessment, perbankan akan menerima skor.
“Kalau skornya itu makin rendah berarti risiko dari bank itu berada pada level risiko yang sangat-sangat rendah atau istilahnya itu low risk. Bank atau perusahaan-perusahaan yang memiliki tingkat risiko yang rendah efek dari penerapan ESG akan diburu investor atau pemodal. Mereka mencari emiten perusahaan yang baik atau perusahaan yang sudah komplai dengan prinsip ESG.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.