KABARBURSA.COM - Induk perusahaan Google, Alphabet, bersama TPG Rise Climate dan sejumlah investor lainnya, mengucurkan investasi senilai Rp12,7 triliun (USD800 juta) kepada pengembang energi bersih, Intersect Power. Investasi ini dirancang untuk menjawab kebutuhan energi masif pusat data mereka yang makin mendesak seiring lonjakan permintaan layanan berbasis kecerdasan buatan (AI) dan cloud computing.
Tak hanya Google, perusahaan teknologi besar seperti Microsoft dan Meta juga berlomba membangun pusat data skala besar untuk menopang pertumbuhan teknologi AI.
Dalam pengembangan proyek ini, Alphabet menggandeng Intersect Power dan TPG Rise Climate untuk merancang kawasan industri yang mengintegrasikan pusat data dengan pembangkit energi bersih di lokasi yang sama. Hal ini diyakini bisa menciptakan efisiensi sekaligus memperkuat komitmen pada energi berkelanjutan.
Strategi ini memungkinkan Google menggunakan listrik bebas karbon langsung dari sumbernya seraya mengurangi ketergantungan pada jaringan listrik umum yang sering mengalami kendala. “Dengan pusat data yang menggunakan daya bersihnya sendiri, kami dapat menambah kapasitas energi baru ke jaringan dan meningkatkan keandalan sistem,” ujar Google dalam pernyataan resminya, dilansir dari Reuters, Kamis, 12 Desember 2024.
Langkah ini sekaligus menjadi jawaban atas tantangan besar yang kini dihadapi sistem kelistrikan Amerika Serikat. Pertumbuhan teknologi baru, termasuk AI generatif, memberikan tekanan besar pada jaringan listrik yang sudah rentan. Dengan membangun pembangkit listrik bersih khusus untuk pusat data, Google berharap dapat memangkas waktu pengerjaan proyek sekaligus memastikan pasokan listrik yang stabil.
Sebagai pelanggan utama fasilitas energi bersih baru yang dikembangkan Intersect Power, Google berkomitmen untuk menjadikan pusat datanya lebih ramah lingkungan. Tahap awal proyek ini dijadwalkan beroperasi pada 2026 dan sepenuhnya selesai pada 2027.
Intersect Power sendiri adalah perusahaan yang fokus menyediakan solusi energi rendah karbon. Didirikan pada 2016, perusahaan ini berada di bawah portofolio TPG Rise Climate, dana investasi yang khusus menangani isu perubahan iklim. Proyek bersama ini diharapkan menjadi model baru integrasi teknologi tinggi dengan energi berkelanjutan.
Taruh Modal Besar di Proyek Reaktor Nuklir
Hampir sebulan setelah Microsoft menginvestasikan USD16 miliar (Rp252,8 triliun) untuk menghidupkan kembali pembangkit nuklir Three Mile Island yang telah lama ditutup, Google dan Amazon menyusul dengan kesepakatan besar untuk mendukung rencana ambisius kebangkitan nuklir Amerika Serikat.
Dilansir dari Huffpost, Amazon Web Services telah mengumumkan kerja sama dengan dua perusahaan utilitas untuk mendanai pembangunan pembangkit nuklir generasi baru di dekat pusat data mereka di Virginia dan Washington. Tidak seperti Microsoft dan Google, Amazon tidak hanya membeli listrik yang dihasilkan tenaga nuklir.
Perusahaan ini, bersama miliarder Ken Griffin, menggelontorkan USD500 juta ke X-energy, sebuah perusahaan rintisan di Maryland yang merancang reaktor modular kecil. Reaktor ini berukuran jauh lebih kecil dibandingkan reaktor konvensional dan menggunakan gas bersuhu tinggi sebagai pendingin, bukan air.
CEO X-energy J. Clay Sell menyebut kolaborasi ini akan mendefinisikan masa depan energi nuklir canggih di pasar komersial.
Investasi Amazon ini mencerminkan strategi serupa saat mereka membeli saham di Rivian bersamaan dengan pemesanan armada truk listrik dari produsen tersebut. Amazon berencana besar membangun pembangkit listrik tenaga nuklir baru dengan kapasitas 5 gigawatt di Amerika Serikat dalam 15 tahun ke depan, menggunakan reaktor 80 megawatt milik X-energy.
“Ini seperti iklan lama Hair Club for Men—‘Saya bukan hanya presiden, tetapi juga klien,’” ujar Brett Rampal, ahli tenaga nuklir dari hedge fund Segra Capital Management.
Rampal menilai langkah ini menunjukkan keseriusan Amazon. Beberapa perusahaan kesulitan terjun lebih dalam ke energi nuklir, tetapi Amazon tampak benar-benar berkomitmen pada kesepakatan ini.
Pengumuman Amazon muncul dua hari setelah Google, melalui induk perusahaannya Alphabet, mengungkapkan kesepakatan lebih kecil untuk membeli hingga 500 megawatt listrik dari Kairos Power. Perusahaan ini juga mengembangkan reaktor “canggih” yang menggunakan garam fluoride sebagai pendingin.
James Krellenstein, fisikawan sekaligus CEO konsultan nuklir Alva Energy di Cambridge, Massachusetts, menyebut langkah perusahaan-perusahaan besar ini sebagai kabar baik untuk industri nuklir. Menurutnya, permintaan dari perusahaan swasta berpengaruh seperti Amazon dan Google menunjukkan adanya pasar yang jelas untuk generasi baru energi nuklir.
Bangkit di Tengah Krisis Listrik dan Perubahan Iklim
Dalam tanda lain perubahan arah industri, bank-bank terbesar dunia bulan lalu berjanji untuk mendukung kesepakatan nuklir setelah bertahun-tahun menjauh dari proyek-proyek yang biasanya melebihi anggaran hingga miliaran dolar.
“Pasar memberikan sinyal, pemerintah AS memberikan sinyal, pemerintah negara bagian memberikan sinyal,” ujar seorang pakar. “Pertanyaan sebenarnya adalah, apakah kita dapat memenuhi kebutuhan pasar tersebut?”
Setelah puluhan tahun mengalami penurunan, tenaga nuklir mulai bangkit kembali di tengah lonjakan permintaan listrik dan kesadaran yang semakin besar bahwa panel surya dan turbin angin saja tidak cukup untuk menggantikan bahan bakar fosil.
Permintaan listrik AS relatif stagnan sejak akhir 1990-an karena industri berat berpindah ke luar negeri dan peralatan baru yang lebih efisien meredam dampak pertumbuhan populasi terhadap jaringan listrik yang sudah tua. Namun, perangkat lunak kecerdasan buatan (AI) kini mendorong permintaan listrik meningkat bersamaan dengan kebijakan pengurangan emisi karbon yang mendorong lebih banyak warga Amerika mengganti mobil, kompor, dan pemanas berbahan bakar fosil dengan alternatif bertenaga listrik.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.