Logo
>

Kakao Terdampak Iklim, Saatnya Emiten Cokelat Diversifikasi

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Kakao Terdampak Iklim, Saatnya Emiten Cokelat Diversifikasi
Ilustrasi kakao. Foto: Dok. PT Freyabadi Indotama.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Harga cokelat kini makin bikin geleng-geleng kepala. Setelah sempat menembus rekor tertinggi pada akhir 2024, harga kakao global menurut data Trading Economics anjlok ke USD8.200 (Rp135.300.000 dengan kurs Rp16.500) per ton pada Maret 2025. Namun, di balik fluktuasi ini, satu hal tetap tidak berubah: produksi kakao dunia sedang tidak baik-baik saja.

    Cuaca ekstrem yang makin tak bisa diprediksi membuat tanaman kakao di banyak negara penghasil utama mengalami tekanan berat. Pantai Gading dan Ghana, yang menyumbang 60 persen produksi kakao global, terkena dampak buruk El Nino. Curah hujan rendah, suhu lebih panas, dan serangan penyakit pucuk bengkak membuat panen mereka jauh di bawah ekspektasi.

    Indonesia sebagai produsen kakao terbesar keempat dunia juga mengalami tren serupa. Data dari BPS menunjukkan produksi kakao nasional terus mengalami penurunan, dari 650 ribu ton pada 2022 menjadi 632 ribu ton pada 2023, atau turun 2,84 persen. Beberapa wilayah utama penghasil kakao seperti Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara turut terdampak. Padahal, kedua wilayah itu merupakan penghasil kakao terbesar di Indonesia dengan masing-masing menyumbang 19,92 persen dan 16,09 persen dari total produksi nasional pada 2023.

    Produksi kakao 2023. Sumber: Dok. BPS.

    Harga yang naik memang menguntungkan bagi para petani dan eksportir kakao dalam jangka pendek. Namun, tren ini tidak berkelanjutan. Ketika produksi turun akibat perubahan iklim, industri kakao global menghadapi risiko besar, yakni permintaan yang tetap tinggi tetapi pasokan yang makin sulit dipenuhi. Jika tidak ada langkah mitigasi, industri cokelat dunia—termasuk emiten kakao di Bursa Efek Indonesia (BEI)---bisa terkena dampak yang lebih parah dalam beberapa tahun ke depan.

    Dampak Iklim dan Produksi yang Tergerus

    Fluktuasi harga kakao bukan semata soal permainan pasar, tapi juga karena produksi yang makin tak stabil. Organisasi Kakao Internasional (ICCO) memproyeksikan surplus 142 ribu ton untuk musim 2024-2025, setelah tiga tahun berturut-turut mengalami defisit. Surplus ini terjadi karena kenaikan harga tahun lalu mendorong peningkatan produksi. Namun, di sisi lain, penggilingan kakao—indikator konsumsi utama—justru turun 4,8 persen akibat harga yang terlalu mahal.

    Di Indonesia, kondisi tidak jauh berbeda. Produksi kakao nasional terus turun dalam dua tahun terakhir dengan tren penurunan ini sebagian besar disebabkan oleh kombinasi faktor:

    • Cuaca ekstrem yang makin sulit diprediksi akibat perubahan iklim.
    • Tanaman kakao yang sudah tua dan kurangnya regenerasi pohon di banyak daerah penghasil. Bahkan banyak petani yang mengalihkan lahan kakao menjadi sawit.
    • Produktivitas rendah akibat kurangnya inovasi dalam teknik pertanian.


    Data dari Kementerian Perdagangan menunjukkan harga referensi (HR) kakao Februari 2025 sempat menyentuh USD11.102,84 (Rp183,19 juta) per metrik ton, naik 5,24 persen dari bulan sebelumnya, sebelum akhirnya turun lagi di Maret 2025 ke USD10.394 (Rp171 juta) atau turun sebesar Rp8 juta. Ini mencerminkan bagaimana volatilitas harga kakao kini makin sulit diprediksi.

    Emiten Kakao COCO & BTEK Kena Dampak

    Ilustrasi kakao. Foto: Dok. Kementan.

    Dampak dari fluktuasi harga kakao ini paling terasa di PT Wahana Interfood Nusantara Tbk (COCO) dan PT Bumi Teknokultura Unggul Tbk (BTEK), dua emiten yang paling banyak berurusan dengan bisnis kakao di Indonesia. COCO merupakan perusahaan berbasis di Bandung yang bergerak di industri gula-gula, khususnya cokelat premium. Perusahaan ini menawarkan berbagai produk cokelat seperti bubuk kakao, cokelat batangan, dan minuman cokelat di bawah merek SCHOKO, D’LANIER, dan WINFIL, yang didistribusikan di dalam negeri dan diekspor ke Asia, Eropa, Australia, Selandia Baru, hingga Amerika Serikat. COCO juga mulai merambah bisnis kopi dengan mendirikan BIKOIN, yang berfokus pada biji kopi hijau dan kopi olahan, menjadikannya perusahaan dengan diversifikasi produk yang lebih luas di segmen makanan dan minuman.

    Sementara itu, BTEK lebih berfokus pada industri hulu sebagai pengolah biji kakao menjadi bahan baku untuk industri makanan dan minuman. Melalui anak usahanya, PT Golden Harvest Cocoa Indonesia (GHCI), BTEK memproduksi bubuk kakao, lemak kakao, pasta kakao, dan bungkil kakao yang digunakan sebagai bahan dasar dalam berbagai produk olahan. Dengan fasilitas produksi skala besar di Serang, Banten, dan kapasitas pengolahan hingga 120.000 ton per tahun, BTEK lebih dominan sebagai pemasok bahan baku industri dibandingkan COCO yang berorientasi pada produk akhir.

    COCO

    Laporan keuangan kuartal III 2024 COCO menunjukkan betapa beratnya tekanan bisnis di tengah harga kakao yang fluktuatif. Pendapatan perusahaan menyusut dari Rp138,37 miliar pada periode yang sama di 2023 menjadi Rp120,14 miliar pada 2024. Sementara itu, beban pokok penjualan (COGS) justru meningkat dari Rp107,37 miliar menjadi Rp114,04 miliar, yang berarti COCO harus merogoh kocek lebih dalam untuk bahan baku meskipun pendapatan mereka menurun.

    Akibatnya, laba kotor perusahaan mengalami penurunan drastis, dari Rp31 miliar menjadi hanya Rp6,1 miliar, yang berarti COCO kehilangan sekitar 80 persen margin kotor mereka dalam setahun. Jika di kuartal III 2023 mereka masih mencatatkan laba operasional Rp4,39 miliar, pada kuartal III 2024 COCO berbalik mencatatkan rugi operasional Rp16,32 miliar.

    Tren keuangan COCO.
    Jika melihat laporan tahunan 2023, kondisi COCO sebenarnya sudah menunjukkan tanda-tanda kesulitan sejak tahun tersebut. Pemakaian bahan baku mereka anjlok hingga 40,82 persen, dari Rp222,04 miliar menjadi Rp131,40 miliar. Namun, ini bukan karena efisiensi, melainkan lebih ke ketidakmampuan perusahaan membeli lebih banyak bahan baku akibat kenaikan harga. Pendapatan juga turun tajam dari Rp289,79 miliar pada 2022 ke Rp171 miliar pada 2023. Ini mencerminkan penurunan permintaan atau sulitnya COCO meneruskan kenaikan harga bahan baku ke konsumen akhir.

    Di pasar saham, COCO dan BTEK menghadapi nasib yang cukup kontras. Saham COCO diperdagangkan di level Rp76, turun 2,56 persen dalam sehari. Grafik pergerakan sahamnya menunjukkan volatilitas tinggi dengan kenaikan yang tidak bertahan lama sebelum kembali terkoreksi.

    BTEK

    Sementara itu, BTEK masih menghadapi tekanan serupa, meskipun angka keuangan mereka menunjukkan sedikit perbaikan. Dalam laporan kuartal IV 2024, beban pokok penjualan mereka melonjak tajam dari Rp134,69 miliar di 2023 menjadi Rp425,27 miliar di 2024. Meski begitu, mereka berhasil membukukan laba kotor Rp19,79 miliar, berbalik dari rugi kotor Rp8,59 miliar di kuartal tahun sebelumnya.

    Namun, meski laba kotor membaik, BTEK masih mencatatkan rugi operasional Rp18,66 miliar di kuartal IV 2024. Angka ini memang lebih baik dibandingkan kerugian Rp27,61 miliar di 2023, tetapi tetap menunjukkan bisnis BTEK masih berjuang untuk keluar dari tekanan biaya produksi.

    Keuangan BTEK.

    Jika merujuk ke laporan tahunan 2023, kondisi fundamental BTEK juga tidak jauh berbeda. Total aset mereka meningkat dari Rp4,05 triliun di akhir 2023 menjadi Rp4,11 triliun di kuartal III 2024. Namun, di sisi lain, liabilitas atau utang mereka juga ikut naik dari Rp2,94 triliun ke Rp3,02 triliun atau menunjukkan mereka masih harus mengandalkan utang untuk menjaga likuiditas.

    Dari sisi saham, BTEK justru mengalami lonjakan harga yang cukup signifikan. Sahamnya naik 16,67 persen dalam sehari dan menyentuh harga Rp7. Tapi jangan senang dulu, jika dilihat kenaikannya secara riil hanya Rp1 rupiah atau dari sebelumnya sebesar Rp6.

    Saatnya Setop Monokultur, Mulai Diversifikasi

    Di tengah fluktuasi harga kakao yang tajam, emiten kakao yang hanya bergantung pada satu komoditas semakin rentan terhadap tekanan bisnis. COCO dan BTEK merasakan dampaknya secara langsung. COCO, yang lebih berfokus pada produk jadi seperti cokelat premium, mengalami pukulan besar akibat mahalnya harga bahan baku yang sulit ditransfer ke konsumen akhir. Sementara BTEK, yang bergerak di industri pengolahan kakao hulu, menghadapi beban biaya produksi yang meningkat drastis. 

    Di sinilah pentingnya diversifikasi bisnis. Emiten seperti PT Salim Invomas Pratama Tbk (SIMP) dan PT London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) yang memiliki bisnis kakao tetapi juga bergerak di sektor perkebunan sawit dan produk agribisnis lainnya, justru tetap mencetak laba meskipun produksi kakao menurun. SIMP, misalnya, memiliki pendapatan dominan dari sawit yang membuat kinerja keuangannya tetap solid di tengah gejolak pasar kakao.

    SIMP membagi bisnisnya menjadi dua divisi utama, yakni Divisi Perkebunan dan Divisi Minyak & Lemak Nabati (EOF). Pada tahun 2023, 71 persen dari total pendapatan SIMP berasal dari Divisi EOF, yang mencakup bisnis minyak goreng, margarin, dan shortening, sementara 29 persen sisanya berasal dari Divisi Perkebunan yang mencakup sawit, karet, tebu, dan tanaman lain seperti kakao dan teh​. Dari segmen perkebunan itu sendiri, produk sawit (CPO dan PK) memberikan kontribusi dominan sekitar 85 persen terhadap total pendapatan segmen perkebunan, dengan nilai penjualan mencapai Rp9,23 triliun​. 

    Dalam laporan keuangan kuartal IV 2024, berhasil mencatat pertumbuhan laba yang signifikan pada kuartal IV 2024 meskipun menghadapi tekanan dari volatilitas harga komoditas. Pendapatan perusahaan tercatat sebesar Rp15,97 triliun, sedikit menurun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai Rp16 triliun.
    Keuangan SIMP.

    Dari sisi biaya, beban pokok penjualan turun menjadi Rp11,13 triliun, lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp12,64 triliun. Penurunan beban pokok ini menjadi salah satu faktor utama yang mendorong kenaikan laba kotor perusahaan. Laba bruto tercatat melonjak menjadi Rp4,83 triliun, meningkat tajam 44 persen dibandingkan laba bruto tahun sebelumnya yang hanya Rp3,36 triliun.

    Kinerja operasional SIMP juga menunjukkan perbaikan. Laba usaha naik drastis menjadi Rp3,3 triliun, hampir dua kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang hanya Rp1,93 triliun. Peningkatan ini didukung oleh efisiensi biaya dan kenaikan pendapatan operasional lainnya, yang naik dari Rp178,7 miliar di 2023 menjadi Rp323,1 miliar di 2024. Dari sisi laba bersih, SIMP mencetak Rp2,18 triliun, lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya Rp926 miliar.

    Sementra itu, LSIP mencatat pertumbuhan laba bersih yang luar biasa, yakni melonjak 93,82 persen menjadi Rp1,47 triliun. Peningkatan laba ini terjadi meskipun pendapatan LSIP hanya naik 8,89 persen menjadi Rp4,56 triliun yang disebabkan oleh kombinasi kenaikan harga jual rata-rata CPO dan efisiensi biaya produksi.

    Harga jual rata-rata CPO LSIP naik 16,7 persen menjadi 4.144 ringgit per ton, meskipun volume penjualan CPO turun 7,59 persen menjadi 280 ribu ton. Biaya produksi hanya naik tipis 0,55 persen menjadi Rp2,82 triliun dengan biaya pemupukan dan pemeliharaan turun 27,29 persen menjadi Rp452 miliar, serta biaya panen turun 3,7 persen menjadi Rp588 miliar.
    Keuangan LSIP.

    Dengan efisiensi biaya yang lebih baik dibandingkan pertumbuhan pendapatan, laba kotor, laba operasional, dan laba bersih LSIP meningkat lebih tinggi dari pendapatan. Proyeksi kinerja LSIP untuk 2025 lebih moderat. Pendapatan LSIP diperkirakan turun 3,88 persen menjadi Rp4,38 triliun, sementara laba bersih turun 28,1 persen menjadi Rp1,06 triliun, sebelum kembali bertumbuh di 2026 dengan estimasi pendapatan naik 15,03 persen menjadi Rp5,04 triliun, dan laba bersih naik 30,41 persen menjadi Rp1,38 triliun.

    LSIP adalah anak usaha SIMP yang berarti bisnis kakao yang dikelola oleh LSIP juga menjadi bagian dari portofolio SIMP. Dalam laporan tahunan SIMP, luas lahan tertanam milik perusahaan mencapai 293.429 hektar, dengan 244.337 hektar (83 persen) ditanami kelapa sawit. Sisanya termasuk lahan karet, tebu, serta tanaman lain seperti kakao dan teh seluas 19.470 hektar.

    Diversifikasi bisnis yang dilakukan SIMP dan LSIP menujukkan ketahanan pendapatan mereka tetap terjaga meski harga kakao dunia tengah berfluktuasi. Langkah diversifikasi ini sebenarnya sudah mulai terlihat di COCO, yang kini mengembangkan lini bisnis kopi melalui anak usahanya, BIKOIN. Dengan ekspansi ke pasar kopi, COCO berusaha mengurangi ketergantungan pada kakao dan memperluas segmen konsumennya. Namun, tantangannya masih besar, yakni bagaimana COCO bisa menyeimbangkan portofolio bisnisnya agar tidak lagi terlalu bergantung pada satu komoditas yang volatil? 

    BTEK, di sisi lain, masih sangat bergantung pada kakao sebagai sumber utama bisnisnya. Tanpa diversifikasi ke sektor lain atau setidaknya ekspansi ke produk turunan kakao dengan nilai tambah lebih tinggi, perusahaan ini akan terus terombang-ambing oleh naik-turunnya harga bahan baku. 

    Transisi Energi dan Krisis Iklim

    Harga kakao yang melonjak dalam beberapa tahun terakhir tidak hanya dipicu oleh faktor pasar dan spekulasi, tetapi juga karena dampak nyata perubahan iklim. Fenomena seperti El Nino telah menyebabkan curah hujan di bawah normal di wilayah penghasil kakao terbesar di dunia, seperti Pantai Gading dan Ghana. Akibatnya, produksi kakao global tertekan, pasokan berkurang, dan harga meroket.  

    Dalam laporan yang dirilis oleh Yayasan CERAH, disoroti bahwa perubahan iklim yang semakin ekstrem berkontribusi langsung pada anjloknya hasil panen komoditas kakao. Solusi jangka panjang yang dapat diambil oleh industri adalah mendukung transisi energi—mengurangi emisi karbon global agar dampak perubahan iklim dapat ditekan.  

    Di Indonesia sendiri, industri kakao masih banyak bergantung pada energi fosil dalam proses pengolahan dan distribusinya. Tanpa langkah konkret menuju energi yang lebih bersih, rantai pasok kakao akan terus menghadapi ancaman besar dari sisi produksi. 

    Bagi emiten kakao, pergeseran ke energi hijau bukan hanya soal keberlanjutan lingkungan, tetapi juga strategi mitigasi risiko jangka panjang. Perusahaan yang mulai menerapkan energi terbarukan dalam operasionalnya bisa lebih tahan terhadap tekanan biaya energi yang meningkat akibat regulasi global terkait karbon. 

    Bagaimana Investor Harus Menyikapi?

    Bagi investor, situasi ini bisa menjadi peluang sekaligus peringatan. Perusahaan kakao yang masih terpaku pada monokultur dan tidak memiliki strategi mitigasi yang jelas berisiko mengalami penurunan kinerja dalam jangka panjang. COCO dan BTEK saat ini berada di persimpangan jalan—apakah mereka akan bertahan dengan model bisnis lama, atau beradaptasi dengan tren baru di industri.

    Beberapa poin yang bisa diperhatikan investor:  

    1. Perusahaan dengan diversifikasi lebih baik cenderung lebih stabil. Emiten seperti SIMP dan LSIP yang memiliki sumber pendapatan dari sektor lain masih mampu mencetak laba meskipun bisnis kakaonya terdampak.  
    2. Perusahaan yang mulai mengadopsi transisi energi dan strategi keberlanjutan akan lebih mampu menghadapi risiko jangka panjang.  
    3. Perhatikan strategi ekspansi dan inovasi. COCO dengan bisnis kopinya adalah contoh bagaimana perusahaan mencoba beradaptasi. Jika strategi ini berhasil, bisa menjadi katalis positif bagi sahamnya.  

    Fluktuasi harga kakao yang tajam telah menjadi ujian berat bagi emiten kakao di Indonesia. COCO dan BTEK, sebagai dua perusahaan yang paling terdampak, kini menghadapi tekanan untuk beradaptasi atau tertinggal. Dengan tantangan dari sisi harga bahan baku, perubahan iklim, hingga tren keberlanjutan global, saatnya bagi industri kakao untuk keluar dari pola lama dan mengadopsi strategi yang lebih tangguh.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).