KABARBURSA.COM - Indonesia memiliki potensi besar dalam produksi hidrogen hijau berkat melimpahnya sumber energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan air. Berdasarkan data yang dipresentasikan Tenaga Ahli Bidang Teknik Industri UGM, Wangi Pandan, dalam acara Hydrogen Road to Global Hydrogen Ecosystem Summit (GHES) 2025, Selasa, 18 Maret 2025, kapasitas energi terbarukan yang dimiliki Indonesia mencakup 3.294 gigawatt tenaga surya, 155 gigawatt tenaga angin, serta 95 gigawatt tenaga hidro. Dengan kapasitas ini, Indonesia berpotensi menjadi pemain utama dalam industri hidrogen hijau global.
Namun, hingga saat ini, pemanfaatan sumber daya tersebut masih tergolong rendah. Pada 2024, kapasitas pemanfaatan tenaga surya baru 675 megawatt, sementara tenaga angin hanya 152 megawatt, jauh dari potensi maksimalnya.
Di tingkat global, momentum investasi hidrogen hijau semakin besar. Hydrogen Council mencatat hingga 2024, terdapat 1.572 proyek hidrogen hijau yang diumumkan di berbagai negara dengan nilai investasi mencapai USD680 miliar hingga 2030. Negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Uni Eropa telah menetapkan strategi nasional mereka untuk mempercepat adopsi hidrogen hijau dalam sektor industri dan transportasi.
Sementara itu, Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan dalam pengembangan hidrogen hijau. Salah satunya adalah minimnya infrastruktur dan regulasi yang mendukung produksi dan distribusi hidrogen hijau. Hingga kini, belum ada kebijakan insentif yang jelas bagi investor untuk mengembangkan proyek hidrogen hijau dalam skala besar.
Selain itu, tantangan lainnya adalah ketergantungan sektor energi terhadap bahan bakar fosil. Batu bara dan gas masih mendominasi bauran energi nasional, yang menyebabkan transisi ke hidrogen hijau berjalan lebih lambat dibanding negara-negara lain.
Di sisi lain, kebutuhan akan hidrogen hijau terus meningkat di sektor industri global. Berdasarkan skenario dekarbonisasi yang diproyeksikan oleh Energy Transitions Commission (ETC) dan International Energy Agency (IEA), permintaan hidrogen hijau di sektor industri dan transportasi pada 2050 diperkirakan mencapai 813 juta ton per tahun. Dengan tren ini, peluang pasar bagi Indonesia sebenarnya sangat besar, terutama sebagai pemasok hidrogen hijau ke negara-negara yang sudah menetapkan target ambisius dalam transisi energi.
Meski menghadapi berbagai tantangan, Indonesia masih memiliki kesempatan untuk mempercepat pengembangan hidrogen hijau. Namun, hal ini membutuhkan langkah strategis yang mencakup percepatan regulasi, investasi dalam infrastruktur, serta penguatan kerja sama internasional. Jika potensi ini dapat dioptimalkan, Indonesia berpotensi menjadi eksportir hidrogen hijau di kawasan Asia.
PLN Bangun Pabrik, ESDM Siapkan Regulasi
Saat ini, Indonesia mulai memasuki era hidrogen hijau sebagai bagian dari strategi transisi energi. Langkah konkret pertama dilakukan oleh PT PLN (Persero) yang meresmikan Green Hydrogen Plant (GHP) pertama di Indonesia di kawasan PLTGU Muara Karang, Jakarta. Fasilitas ini mampu memproduksi 51 ton hidrogen hijau per tahun menggunakan energi dari PLTS dan Renewable Energy Certificate (REC) dari PLTP Kamojang.
Hidrogen hijau adalah sumber energi bersih yang hanya menghasilkan uap air, tanpa emisi karbon. Teknologi ini diproyeksikan menjadi salah satu pilar utama menuju Net Zero Emissions (NZE) 2060. Direktur Utama PLN, Darmawan Prasodjo, menyebut langkah ini sebagai inovasi dalam menjawab tantangan transisi energi. “Ke depan, hidrogen hijau ini adalah game changerdalam transisi energi.,” ujarnya, dikutip dari laman pln.co.id di Jakarta, Selasa, 18 Maret 2025.
Fasilitas ini diharapkan bisa mendukung transportasi berbasis hidrogen. Dari total 51 ton produksi per tahun, sekitar 43 ton dapat digunakan untuk 147 mobil hidrogen yang menempuh jarak 100 km setiap hari. Jika dibandingkan dengan kendaraan berbahan bakar minyak (BBM), penggunaan hidrogen hijau ini bisa mencegah emisi 1.920 ton CO2 per tahun.
Selain sektor transportasi, hidrogen hijau ini juga bisa dimanfaatkan oleh industri baja, produksi beton, dan manufaktur bahan kimia serta pupuk. PLN Nusantara Power menargetkan pengembangan lebih lanjut ke pembangkit lain di Pulau Jawa, dengan potensi kapasitas produksi hidrogen hijau mencapai 150 ton per tahun.
Di sisi regulasi, Kementerian ESDM juga mulai bergerak membentuk Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) khusus hidrogen. Regulasi ini diharapkan memberi kepastian hukum, mendorong investasi, serta mengakselerasi inovasi di sektor hidrogen hijau.
Direktur Jenderal EBTKE, Eniya Listiani Dewi, menjelaskan permintaan hidrogen di Indonesia diperkirakan mencapai 9,9 juta ton per tahun pada 2060. Pengembangan ini bukan hanya untuk transisi energi dalam negeri, tetapi juga sebagai komoditas ekspor ke negara-negara seperti Singapura yang sudah menyatakan minat untuk menyerap hidrogen hijau dari Indonesia.
“Langkah ini tidak hanya akan memberikan kepastian hukum dan regulasi bagi para pelaku industri, tetapi juga mendorong inovasi, investasi, serta kolaborasi lintas sektor yang diperlukan untuk mempercepat pengembangan ekosistem hidrogen di Indonesia," kata Eniya ketika membuka Konsultasi Publik Penyusunan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) Hidrogen yang digelar pada Selasa, 24 September 2024, dikutip dari laman esdm.go.id.
Pemerintah menargetkan penggunaan hidrogen hijau bisa mengurangi emisi CO2 Indonesia hingga 11,6 juta ton per tahun. Selain itu, pengembangan ekosistem hidrogen hijau diprediksi bisa menciptakan hingga 5,3 juta lapangan kerja baru pada 2050.
Namun, masih ada tantangan besar yang harus diselesaikan, yakni soal biaya produksi yang tinggi. Menurut Eniya, 70 persen dari total biaya produksi hidrogen hijau berasal dari harga listrik EBT. Oleh karena itu, pemerintah perlu memastikan keekonomian proyek ini agar kompetitif dengan sumber energi lainnya.
“Potensi ekonomi hidrogen itu menjanjikan, pasar hidrogen hijau dunia diperkirakan mencapai nilai USD11-triliun pada tahun 2050,” kata Eniya.
Menurut Eniya, pasar hidrogen hijau dunia diprediksi akan terus berkembang hingga mencapai USD70 miliar pada 2060. Dari sisi lingkungan, ia mengutip studi IRENA yang menunjukkan emisi karbon Indonesia saat ini berada di angka 6 gigaton per tahun, setara dengan 10 persen emisi global.
Jika hidrogen hijau digunakan untuk menggantikan 10 persen energi berbasis fosil, maka emisi karbon bisa dikurangi secara signifikan. Indonesia sendiri berpotensi menurunkan emisi hingga 11,6 juta ton CO2 per tahun melalui pemanfaatan hidrogen hijau dalam transisi energi.
Dengan potensi sumber daya energi terbarukan yang melimpah, Indonesia sebenarnya bisa menjadi pemain utama dalam pasar hidrogen hijau global. Namun, tanpa regulasi yang jelas dan dukungan infrastruktur yang memadai, implementasi skala besar masih sulit dilakukan.
Langkah PLN membangun GHP di Muara Karang bisa menjadi benchmark untuk proyek serupa di masa depan, sementara regulasi KBLI dari ESDM akan menjadi fondasi hukum bagi investor yang ingin masuk ke sektor ini.(*)