KABARBURSA.COM – Isu perubahan iklim mendorong negara-negara di dunia beralih dari energi fosil ke energi terbarukan. Berdasarkan laporan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) berjudul Unlocking Indonesia’s Renewable Energy Investment Potential, tahun 2023 mencatatkan momen bersejarah, investasi global di sektor energi terbarukan melampaui energi fosil. Kapasitas pertumbuhannya mencapai hampir 50 persen atau sekitar 510 GW—laju tercepat dalam dua dekade terakhir.
Namun, laporan tersebut menyimpulkan Indonesia belum mampu mengikuti tren ini. Selama tujuh tahun terakhir, investasi energi terbarukan di Tanah Air cenderung stagnan. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), investasi energi terbarukan pada 2023 hanya mencapai USD1,5 miliar (sekitar Rp22,8 triliun) dengan tambahan kapasitas baru sebesar 574 MW.
[caption id="attachment_110594" align="alignnone" width="1161"] Investasi di sektor energi dan sumber daya mineral Indonesia tahun 2017–2023 menunjukkan dominasi pada minyak dan gas (biru tua), serta mineral dan batu bara (jingga). Sementara itu, investasi pada energi baru dan terbarukan (abu-abu) masih relatif rendah, meskipun tren menunjukkan sedikit peningkatan. Sektor listrik (kuning) turut berkontribusi dalam realisasi investasi, tetapi belum cukup signifikan untuk mendukung target transisi energi hijau. Sumber: IEEFA.[/caption]
Jika menilik data, Indonesia masih sangat bergantung pada energi fosil. Dari 2018 hingga 2023, tambahan kapasitas listrik nasional mencapai 21 GW, di mana 18,4 GW berasal dari energi fosil dan hanya 3,2 GW dari energi terbarukan. Investasi untuk sektor minyak, gas, serta batu bara masih mendominasi, sementara energi baru dan terbarukan belum menjadi prioritas.
[caption id="attachment_110595" align="alignnone" width="1179"] Perbandingan kapasitas terpasang total (kiri) dan tambahan kapasitas baru (kanan) di sektor energi Indonesia periode 2018–2023 menunjukkan dominasi bahan bakar fosil (jingga), sementara energi baru dan terbarukan (abu-abu) masih berkontribusi kecil. Meskipun ada peningkatan kapasitas baru pada 2023, pangsa energi terbarukan masih tertinggal jauh dibandingkan energi fosil. Sumber: IEEFA.[/caption]
Sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau, potensi energi terbarukan Indonesia, khususnya tenaga surya dan angin, sangat besar. Sayangnya, potensi tersebut belum termanfaatkan optimal. Pada 2023, kapasitas pembangkit listrik tenaga surya Indonesia hanya bertambah 574 MW dari total potensi 3.293 GW—setara 0,017 persen.
Sebagai perbandingan, Vietnam memiliki kapasitas energi surya dan angin sebesar 19,5 GW, diikuti Thailand dengan 3,13 GW, dan Filipina dengan 3,02 GW.
[caption id="attachment_110596" align="alignnone" width="1136"] Perbandingan kapasitas operasional energi surya (kuning) dan angin (biru) di Asia Tenggara menunjukkan Vietnam unggul jauh dengan total 19,5 GW. Sementara itu, Indonesia hanya memiliki kapasitas gabungan sebesar 0,73 GW, tertinggal dibandingkan negara lain seperti Thailand dan Filipina. Data ini menunjukkan betapa perlunya akselerasi pengembangan energi terbarukan di Indonesia.[/caption]
Daya Tarik Investasi Menurun
Lambatnya pengembangan energi terbarukan di Indonesia berdampak pada turunnya daya tarik investasi di sektor ini. Menurut laporan Renewable Energy Country Attractiveness Index (RECAI) oleh Ernst & Young pada November 2023, Indonesia bahkan tidak masuk dalam daftar 40 negara teratas untuk investasi energi terbarukan. Sementara itu, Filipina berada di peringkat 32, Vietnam di peringkat 33, dan Thailand di peringkat 38.
Sebagai penandatangan Perjanjian Paris, Indonesia berkomitmen mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen secara mandiri atau 41 persen dengan dukungan internasional pada 2030. Indonesia juga menargetkan net-zero emissions (NZE) pada 2060 atau lebih cepat. Namun, untuk mencapai target tersebut, dibutuhkan investasi lebih dari USD1 triliun (sekitar Rp15.200 triliun).
Mengandalkan anggaran negara saja tidak cukup. Pemerintah perlu menarik investasi swasta melalui skema kerja sama publik-swasta untuk mendanai proyek energi terbarukan. Selain itu, diperlukan pembenahan iklim investasi agar sektor ini lebih menarik bagi investor asing dan domestik.
Target Bauran Energi Terbarukan 2025 Dipangkas
Pemerintah kembali memangkas target bauran energi baru terbarukan (EBT) untuk 2025 menjadi 16 hingga 17 persen. Sebelumnya, target tersebut telah direvisi dari 23 persen menjadi 17 hingga 19 persen pada awal 2024.
Menurut Kepala Balai Besar Survei dan Pengembangan Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (BBSP KEBTKE) Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM, Harris, porsi bauran EBT nasional saat ini masih di bawah 14 persen dan diperkirakan tidak akan mengalami kenaikan signifikan hingga akhir 2024.
“Tahun depan mungkin hanya di 16 hingga 17 persen, jadi belum bisa mencapai 23 persen,” ujar Harris dalam diskusi bertema Developing National Energy Security, While Driving Indonesia’s Green Economy di Jakarta Convention Center (JCC), Selasa, 18 Oktober 2024.
Target awal bauran EBT sebesar 23 persen pada 2025 ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (PP KEN). Pemerintah berencana menyesuaikan target tersebut melalui revisi aturan agar lebih realistis.
“Sebelum 20 hari ini, mudah-mudahan bisa ditetapkan Kebijakan Energi Nasional menggantikan PP 79/2014 yang sudah akan diganti,” kata Harris.
Pada awal tahun ini, pemerintah telah merevisi target bauran EBT untuk 2025 menjadi 17 hingga 19 persen. Perubahan ini diselaraskan dengan peta jalan transisi energi yang menargetkan porsi bauran energi primer EBT mencapai 19 hingga 30 persen pada 2030. Untuk 2060, targetnya mencapai 70 hingga 72 persen.
“Pada 2060 ditargetkan energi terbarukan mencapai porsi 72 persen. Tentu masih ada energi fosilnya, tetapi energi fosil yang rendah emisi seperti gas,” tambah Harris.
Pemerintah juga merencanakan penerapan teknologi penyerap karbon agar ketahanan dan kecukupan energi lebih optimal. Harris menegaskan, target jangka panjang menuju Indonesia Emas 2045 dan net zero emission (NZE) pada 2060 telah dirinci dalam peta jalan yang mencakup penggantian energi fosil dengan sumber energi terbarukan.
Selain itu, pemerintah akan mendorong pengurangan ketergantungan terhadap minyak dengan beralih ke energi listrik dan bahan bakar nabati sebagai bagian dari strategi permintaan energi.
“Program besar yang akan kita capai dan laksanakan untuk mengawal Indonesia menuju NZE di masa depan. Indonesia sudah berkomitmen dalam Perjanjian Paris 2016, dan kini juga sudah ada regulasi untuk NZE 2060,” kata Harris.(*)