KABARBURSA.COM - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengidentifikasi sejumlah tantangan yang dihadapi perbankan Indonesia dalam mengembangkan segmen kredit hijau dan keberlanjutan. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menyebut sinergi dan sinkronisasi kebijakan antara berbagai sektor, termasuk sektor riil dan UMKM, menjadi salah satu hambatan utama.
Selain itu, peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) di bank untuk memahami, menilai, dan mempersiapkan langkah-langkah mitigasi dan adaptasi dalam transisi menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan juga menjadi fokus OJK. “Serta peningkatan kapasitas SDM di bank untuk memahami, menilai dan mempersiapkan aksi mitigasi dan adaptasi dalam transisi menuju peningkatan kontribusi pada sektor ekonomi yang berkelanjutan,” ujar Dian dalam keterangan tertulis, Ahad, 16 September 2024.
Data menunjukkan adanya peningkatan dalam total kredit atau pembiayaan berkelanjutan beberapa tahun terakhir. Pada 2019, realisasi kredit berkelanjutan tercatat sebesar Rp927 triliun. Angka ini terus meningkat, menjadi Rp1.181 triliun pada 2020, Rp “1.409 triliun pada 2021, dan Rp1.571 triliun pada 2022. Pada akhir 2023, jumlahnya mencapai Rp 1.959 triliun.
Dorongan dari regulator dan pemangku kepentingan dianggap berperan penting dalam meningkatkan kesadaran perbankan mengenai pentingnya pembiayaan berkelanjutan. OJK mempersilakan bank mengacu pada Taksonomi Hijau Indonesia (THI) dan Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) untuk kategorisasi kredit hijau dan keberlanjutan.
Peraturan ini telah diatur dalam POJK No. 51/2017 dan POJK No. 60/2017, yang kemudian direvisi melalui POJK No. 18/2023 tentang Kegiatan Usaha Berwawasan Lingkungan (KUBL).
Dalam upaya mendorong perbankan untuk memperbesar porsi kredit hijau, OJK juga akan terus memperbarui regulasi guna mendukung pencapaian Net Zero Emissions (NZE) dan mendorong adopsi standar internasional serta praktik terbaik. “OJK juga akan terus melakukan update regulasi/kebijakan guna mendukung pencapaian Net Zero Emissions (NZE),” kata Dian.
Sejumlah bank besar telah menunjukkan komitmennya dalam menerapkan prinsip Environment, Social, and Governance (ESG). Misalnya, Bank Danamon Indonesia menargetkan pembiayaan hijau dan berkelanjutan dapat mencapai 25 persen dari total kredit hingga akhir 2024. "Mudah-mudahan bisa mencapai 24 persen–25 persen tahun ini untuk portofolio sustainable," ungkap Direktur Syariah & Sustainability Finance Bank Danamon, Herry Hykmanto.
Bank Mandiri juga mencatat peningkatan signifikan dalam penyaluran kredit hijau. Pada semester pertama 2024, Bank Mandiri menyalurkan green loan senilai Rp139 triliun, naik 20,87 persen dibandingkan semester pertama 2023. Bank ini memiliki pangsa pasar terbesar dalam portofolio hijau di antara empat bank jumbo di Indonesia, dengan porsi lebih dari 30 persen. Pembiayaan ini mencakup pengelolaan sumber daya alam hayati, penggunaan lahan berkelanjutan, serta pengembangan bangunan ramah lingkungan. "Bagi nasabah ritel, Bank Mandiri saat ini juga mengembangkan produk berupa KPR hijau," kata Wakil Direktur Utama Bank Mandiri, Alexandra Askandar.
Rencana Prabowo Luncurkan Dana Ekonomi Hijau USD65 Miliar
Presiden terpilih Indonesia Prabowo Subianto, berencana untuk meluncurkan dana ekonomi hijau dengan menjual kredit emisi karbon dari proyek-proyek seperti pelestarian hutan hujan, dengan target USD65 miliar hingga 2028. Mengutip Reuters, salah satu penasihat Prabowo dalam kebijakan iklim, Ferry Latuhihin, mengatakan nantinya akan ditujung regulator baru untuk aturan emisi karbon yang bertugas mengawasi upaya mencapai target emisi Indonesia di bawah perjanjian Paris.
Regulator tersebut kemudian akan membentuk “kendaraan misi khusus” yang akan mengelola dana hijau dan menjalankan proyek-proyek pengimbangan karbon. Proyek-proyek tersebut akan mencakup pelestarian hutan, reforestasi, serta penanaman kembali lahan gambut dan mangrove, untuk menghasilkan kredit karbon yang dapat dijual secara internasional.
Targetnya adalah untuk mengembangkan kebijakan tersebut hingga mencapai 1.000 triliun rupiah (USD65 miliar) pada 2028.
“Kita perlu memanfaatkan keunggulan komparatif Indonesia, yaitu alam,” kata Latuhihin.
Skala dana yang diusulkan, yang belum pernah dilaporkan sebelumnya, memiliki potensi untuk membantu salah satu penghasil emisi terbesar di dunia dan rumah bagi hutan tropis terbesar ketiga di dunia mencapai tujuannya untuk netralitas karbon pada tahun 2060.
Namun, hal ini tentunya akan menghadapi tantangan besar, termasuk persaingan di pasar karbon global dan memastikan proyek-proyek tersebut dianggap kredibel.
Direktur pelaksana Energy Shift Institute Christina Ng, mengatakan bahwa ekosistem alami Indonesia yang luas menawarkan ruang untuk proyek offset karbon besar, tetapi target-target tersebut sangat ambisius dari segi finansial dan operasional. Energy Shift Institute sendiri adalah sebuah lembaga pemikir yang fokus pada transisi energi Asia.
Prabowo, yang akan dilantik pada 20 Oktober, telah berjanji untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen selama masa jabatannya yang lima tahun, dari 5 persen saat ini, termasuk melalui investasi dalam proyek-proyek hijau.
Latuhihin mengatakan bahwa proyek offset akan menciptakan peluang kerja besar dan dapat membantu mencapai target pertumbuhan.
Pemerintah yang akan datang bakal menyediakan modal awal, yang masih ditentukan, tetapi diharapkan dana tersebut akan berkembang dengan menjual kredit karbon di dalam negeri dan luar negeri serta membayar dividen kepada pemerintah setelah menjadi menguntungkan, katanya.
Mengumpulkan dana dalam entitas seperti itu akan memungkinkan Indonesia menjalankan proyek-proyek hijau berskala besar tanpa menggunakan anggaran pemerintah, kata Latuhihin.
Dia mengatakan bahwa standar internasional tentang verifikasi akan diikuti, dan teknologi akan diterapkan untuk memastikan seberapa banyak karbon dioksida (CO2) yang dihapus dari atmosfer oleh setiap proyek.(*)