KABARBURSA.COM - Upaya negara-negara G7 untuk menutup pembangkit listrik tenaga batu bara di negara berkembang menghadapi penundaan. Batas waktu Juli berlalu tanpa ada kesepakatan untuk penutupan dini PLTU di Indonesia. PLTU Cirebon-1 di Jawa Barat diharapkan menjadi yang pertama ditutup dalam inisiatif ini.
Program ini merupakan bagian dari Kemitraan Transisi Energi yang Adil (Just Energy Transition Partnerships/JETP) dengan Indonesia, Senegal, Afrika Selatan, dan Vietnam. Program ini bertujuan untuk mendukung transisi ke ekonomi rendah karbon melalui investasi, hibah, dan pinjaman miliaran dolar dari negara anggota G7, bank multilateral, serta pemberi pinjaman swasta.
Mengurangi emisi dari batu bara, bahan bakar fosil paling kotor, menjadi langkah penting dalam JETP. Hal ini dilakukan untuk menghindari dampak terburuk dari perubahan iklim. Namun, kesepakatan penutupan PLTU di Afrika Selatan masih belum tercapai. Negara tersebut masih menghadapi masalah pemadaman listrik yang berkepanjangan. Harapan kini beralih ke PLTU Cirebon-1, yang memiliki kapasitas 660 megawatt.
Masalah hukum dan keuangan menjadi hambatan utama penutupan Cirebon-1. Pemerintah Indonesia khawatir biaya penggantian PLTU dengan energi terbarukan bisa mencapai USD1,3 miliar. Sebagian besar biaya itu digunakan untuk subsidi guna menutupi pembangkitan energi terbarukan yang lebih mahal.
Pergantian pemerintahan yang akan terjadi pada bulan Oktober juga menambah kekhawatiran. Pakar eenergi terbarukan yang tergabung dalam tim teknis JETP Indonesia, Fabby Tumiwa, menyampaikan kekhawatirannya. "Jika kesepakatan ini tidak ditandatangani sebelum 20 Oktober, saya khawatir masalah ini akan terabaikan," ujarnya, dikutip dari Reuters, Rabu, 25 September 2024.
Ia menyinggung fokus presiden terpilih Prabowo Subianto yang menekankan kemandirian dan keamanan energi. Batu bara, yang menghasilkan dua pertiga listrik Indonesia, menjadi komponen penting dalam strategi tersebut.
Prabowo belum memberikan komentar terkait PLTU Cirebon-1. Tim kampanyenya juga belum menanggapi permintaan konfirmasi. Meskipun dalam janji kampanyenya, Prabowo sempat menyebutkan rencana penghentian PLTU batu bara.
Melalui JETP Indonesia, negara-negara kaya menjanjikan USD20 miliar untuk membantu transisi energi di Indonesia. Namun, hingga kini, sebagian besar dana tersebut belum dicairkan.
Masalah Hukum yang Rumit
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan pemerintah yang sedang menjabat tengah berusaha menyelesaikan kesepakatan penutupan PLTU Cirebon-1 secepat mungkin. Namun, ia tidak merinci lebih lanjut.
David Elzinga, pimpinan program Mekanisme Transisi Energi Asia di Asian Development Bank (ADB), yang terlibat dalam skema penutupan dini ini, menyatakan pentingnya kesepakatan Cirebon. "Indonesia sudah menempatkan diri sebagai pemimpin. Sekarang sangat penting untuk segera menyelesaikan kesepakatan ini," tegasnya.
Kesepakatan ini menjadi kunci bagi program ETM regional ADB. ADB berencana membuat kesepakatan serupa di Vietnam, Filipina, dan beberapa pembangkit lain di Indonesia.
PLN dan operator PLTU Cirebon, PT Cirebon Electric Power (CEP), perlu menyepakati perjanjian pembelian listrik yang baru. Namun, menurut Direktur CEP, Joseph Pangalila, hal ini belum tercapai hingga batas waktu Juli.
PLN menganggap perlunya perlindungan hukum yang lebih kuat dan peta jalan jelas untuk menutup PLTU sebagai masalah utama. Biaya pembangkitan listrik diperkirakan akan naik hampir 90 persen.
PLN juga khawatir kesepakatan ini bisa berujung pada tuntutan hukum di masa depan. Jika transaksi tersebut dianggap merugikan negara, pejabat PLN bisa terkena tuduhan korupsi. "Kalau tidak hati-hati, bisa ada yang terkena masalah karena dianggap sebagai kerugian negara," kata Rachmat Kaimuddin, Wakil Menteri yang mengawasi infrastruktur listrik, dalam sebuah forum baru-baru ini.
Pada Juni lalu, mantan CEO Pertamina dijatuhi hukuman sembilan tahun penjara. Ia dianggap menandatangani kontrak gas jangka panjang yang menyebabkan kerugian negara sebesar USD114 juta, menurut keputusan pengadilan anti-korupsi.
“Kami sangat ingin kesepakatan ini segera selesai, tapi yang lebih penting adalah memastikan transaksi pertama ini berjalan dengan cara terbaik,” kata Direktur Jenderal ADB dan Kepala Sektor Bank, Ramesh Subramaniam.
Beberapa bank swasta sudah bersiap untuk berinvestasi dan serangkaian kesepakatan baru bisa dimulai setelah urusan PLTU Cirebon selesai. ADB bahkan sudah mengkaji sekitar 30 pembangkit lainnya di Indonesia.
“Meskipun butuh waktu, kami banyak belajar. Dan kami merasa kesepakatan berikutnya akan jauh lebih mudah,” katanya.
PLTU Cirebon-1 adalah pembangkit yang relatif baru. Pembangkit listrik ini beroperasi sejak 2012. Jika kesepakatan tercapai, operasinya akan berhenti pada 2035, bukan 2042 seperti yang direncanakan sebelumnya.
Meskipun lebih bersih dibanding pembangkit lama, emisi dari PLTU Cirebon dan pembangkit lainnya di sekitar Jakarta sering dituding sebagai penyebab polusi kronis di Indonesia. Beberapa warga desa nelayan di sekitar lokasi pun menyambut baik rencana penutupan ini.
Amin, seorang nelayan berusia 64 tahun, menyalahkan PLTU tersebut dan aktivitas bongkar muat batu bara di dermaganya atas polusi dan berkurangnya ikan di perairan sekitar. “Saat pertama dibuka, airnya masih baik. Tapi lama kelamaan air semakin keruh. Dua tahun terakhir, tambak kerang hijau di sini tidak menghasilkan apa-apa,” ujarnya.
“Dari awal pembangunan, saya sudah menentangnya,” kata Amin.(*)