KABARBURSA.COM – PT Pertamina (Persero) terus menunjukkan dukungannya terhadap transisi energi nasional lewat penguatan sumber daya manusia di sektor energi baru terbarukan (EBT).
Kali ini, Pertamina membekali 40 perwakilan dalam program Desa Energi Berdikari (DEB) atau Local Hero dengan Sertifikasi Junior Operator Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
Program ini menjadi bagian dari inisiatif Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) Pertamina yang mendorong kemandirian energi desa serta pertumbuhan ekonomi hijau berbasis teknologi tepat guna.
Seperti diketahui, pemerintah menargetkan 76 persen tambahan kapasitas listrik 69,5 GW (Gigawatt) hingga 2034 bersumber dari energi terbarukan.
Sejalan dengan arah tersebut, Pertamina kini telah mengembangkan 176 Desa Energi Berdikari di seluruh Indonesia, dengan 149 unit PLTS aktif beroperasi, dan menargetkan 80 tambahan unit baru pada 2025.
Vice President CSR & SMEPP Management PT Pertamina (Persero), Rudi Ariffianto, mengatakan bahwa sertifikasi ini dilaksanakan bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melalui Pusat Pengembangan SDM Ketenagalistrikan, Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (PPSDM KEBTKE) di Jakarta, pada Selasa 14 Oktober 2025.
“Dari 176 DEB yang sudah beroperasi, kita membutuhkan lebih banyak operator junior yang tersertifikasi. Karena itu, program sertifikasi ini akan terus berlanjut seiring bertambahnya jumlah PLTS di lapangan,” ujar Rudi kewat keterangan resmi, Rabu 15 Oktober 2025.
Sejak pertama kali digelar pada 2023 hingga 2024, sebanyak 48 Local Hero telah lulus sertifikasi, dan kini 40 peserta baru kembali mengikuti pelatihan untuk memperkuat kapasitas SDM di desa-desa binaan.
“Kami tidak berhenti di penyediaan listrik saja. Energi dari PLTS ini dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi seperti pertanian, perikanan, hingga usaha kreatif desa,” tambah Rudi.
Salah satu peserta, Kukuh Diki Prasetya dari Lampung, penggerak DEB di sektor kopi, menuturkan bahwa kehadiran PLTS telah mempercepat produktivitas petani.
“Program Pertamina membantu mempercepat target kami. Dari yang seharusnya 10 tahun bisa tercapai dalam 5 tahun. Energi surya membuat petani bisa bekerja lebih cepat dan efisien,” ujarnya.
Kini, Kukuh telah membina 18 kelompok petani kopi yang mengelola produksi dari hulu ke hilir, sekaligus menjadi inspirasi bagi desa-desa lain di sekitar.
Kisah serupa datang dari Edison Fami di Desa Wisata Malasigi, Papua, yang sukses mengembangkan ekowisata hutan berkelanjutan dengan PLTS berkapasitas 8,72 kWp (Kilowatt peak).
“Lewat PLTS ini, kami mendapat penerangan, air, dan harapan baru. Energi matahari membuat masyarakat bisa mengembangkan wisata tanpa merusak hutan,” ungkap Edison.
Sementara itu, Kasmawati, Local Hero dari Maros, Sulawesi Selatan, melalui DEB AFT Hasanuddin, aktif membina Kelompok Wanita Tani (KWT) Baji Minasa dalam pertanian hidroponik berbasis energi surya. “Kami belajar bahwa energi terbarukan bisa berjalan seiring dengan ekonomi hijau yang menyejahterakan,” tuturnya.
Vice President Corporate Communication PT Pertamina (Persero), Fadjar Djoko Santoso, menegaskan bahwa DEB merupakan salah satu upaya Pertamina menghadirkan energi transisi di tingkat akar rumput.
“Melalui pelatihan dan sertifikasi ini, Pertamina berupaya memperkuat kemandirian energi masyarakat sekaligus menciptakan dampak positif bagi keberlanjutan lingkungan,” jelasnya.
Sebagai pemimpin transisi energi nasional, Pertamina berkomitmen mendukung target Net Zero Emission 2060 dan pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs) melalui penerapan Environmental, Social & Governance (ESG) di seluruh lini bisnisnya.
Pertamina Jadi Pelopor Energi Rendah Karbon di Asia Tenggara
Pertamina berusaha melahirkan sederet inovasi produk rendah karbin untuk mendukung keberlanjutan energi nasional dan global.
Menurut Wakil Direktur Utama Pertamina, Oki Muraza, sejumlah produk inovatif telah berhasil dikembangkan dan dipasarkan, di antaranya Pertamax Green, Sustainable Aviation Fuel (SAF), dan Renewable Diesel (RD).
“Pertamina tidak hanya berfokus pada ketahanan energi nasional, tetapi juga berperan aktif menurunkan emisi dan menciptakan ekosistem energi yang lebih hijau,” ujar Oki dalam keterangan resmi, Jumat 10 Oktober 2025.
Diketahui, produk Pertamax Green 95 hadir dengan RON (Research Octane Number) 95, memiliki kandungan sulfur di bawah 50 ppm dan berstandar emisi Euro IV.
Mengusung bahan bakar berbasis bioetanol, pemasaran Pertamax Green bukan hanya soal ketersediaan BBM ramah lingkungan, tetapi turut memperkuat kemandirian energi nasional.
Oki melanjutkan, pemanfaatan bioetanol dalam negeri berpotensi besar menekan impor bensin yang saat ini mencapai defisit sekitar USD12,4 miliar atau setara Rp200 triliun.
“Pertamina mencatat, penggunaan Bioetanol dalam negeri dapat mensubstitusi bensin impor sehingga mampu mengurangi defisit neraca perdagangan impor bensin, menurunkan emisi karbon sektor transportasi, serta menggerakkan ekonomi untuk para petani,” jelasnya.
Tak berhenti di sektor darat, Pertamina juga mengukir sejarah lewat keberhasilan produksi Sustainable Aviation Fuel (SAF) berbasis minyak jelantah. Bahan bakar ramah lingkungan ini pertama kali digunakan dalam penerbangan Pelita Air rute Jakarta–Bali pada 20 Agustus 2025.
Dengan inovasi tersebut, Pertamina resmi menjadi satu-satunya produsen SAF co-processing di ASEAN, membangun rantai pasok lengkap dari pengumpulan minyak jelantah hingga pemanfaatan oleh maskapai nasional.
Produk SAF juga telah mengantongi sertifikasi International Sustainability and Carbon Certification (ISCC) dan mampu menurunkan emisi karbon penerbangan hingga 84 persen.
“Teknologi SAF ini sepenuhnya dikembangkan oleh insinyur dalam negeri, membuktikan kapasitas Indonesia sebagai regional champion energi hijau,” tegas Oki.
Di sektor diesel, Pertamina sukses menerapkan program Biodiesel B40, yang menjadi campuran tertinggi di dunia. Langkah ini menjadikan Indonesia semakin mandiri dalam pemenuhan kebutuhan solar domestik.
Tak hanya itu, Pertamina juga mengembangkan Renewable Diesel (RD), bahan bakar nabati berbasis hidrogenasi minyak sawit. Produk ini memiliki keunggulan pada stabilitas oksidasi yang lebih baik, tidak mudah menyerap air, dan efisiensi pembakaran yang lebih optimal dibandingkan biodiesel konvensional. (info-bks/*)