Logo
>

RI Berpeluang Raup USD1,8 Miliar jika Kebijakan Energi Terbarukan Diperbaiki

Indonesia berpotensi raup USD1,8 miliar jika kebijakan energi terbarukan diperbaiki dan perusahaan swasta diberi akses langsung ke listrik hijau.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
RI Berpeluang Raup USD1,8 Miliar jika Kebijakan Energi Terbarukan Diperbaiki
Peluang ekonomi dari energi terbarukan bisa capai USD1,8 miliar jika RI reformasi kebijakan dan permudah swasta beli listrik hijau. Foto: KabarBursa/Abbas Sandji.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Indonesia memiliki peluang besar untuk menuai manfaat ekonomi senilai USD1,8 miliar apabila berhasil memperbaiki kebijakan dan mempercepat pengembangan energi terbarukan. Potensi ini muncul seiring meningkatnya kebutuhan energi bersih dari sektor swasta global di kawasan Asia-Pasifik.

    Sejumlah perusahaan multinasional tengah melakukan dekarbonisasi operasi bisnis mereka dan memerlukan pasokan listrik yang berasal dari sumber energi rendah emisi.

    Temuan tersebut tertuang dalam laporan terbaru Asia Clean Energy Coalition (ACEC) bertajuk Asia’s Clean Energy Breakthrough: Unlocking Corporate Procurement for Sustainable Growth. Dalam laporan itu, disebutkan ketersediaan listrik energi terbarukan di Asia Pasifik, termasuk Indonesia, masih belum mampu memenuhi permintaan perusahaan-perusahaan global yang sudah menetapkan target hijau mereka.

    Kondisi Indonesia menggambarkan paradoks. Di satu sisi, negeri ini dianugerahi potensi energi surya dan angin yang melimpah. Namun di sisi lain, hingga saat ini 81 persen listrik nasional masih bergantung pada energi fosil. Pemerintah sejatinya telah memasukkan penambahan kapasitas energi terbarukan sebesar 21 GW dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN 2021–2030. Sayangnya, proyek-proyek yang saat ini telah memasuki tahap konstruksi masih sangat minim.

    Padahal, menurut proyeksi ACEC, peningkatan bauran energi terbarukan dari 18 persen ke 29 persen pada tahun 2030 tak hanya berdampak pada penurunan emisi, tetapi juga menawarkan insentif ekonomi konkret: tambahan manfaat senilai USD1,8 miliar, pembukaan hampir 140 ribu lapangan kerja baru, serta peningkatan total upah tenaga kerja hingga USD1,4 miliar. Selain itu, Indonesia juga dapat mengurangi emisi karbon sebesar 25 juta ton CO₂.

    Direktur Program ACEC, Suji Kang, menyebut kawasan Asia saat ini berada di tengah fase penting dalam pergeseran pola permintaan energi terbarukan oleh sektor swasta. Menurutnya, terjadi perubahan mendasar dalam lanskap kebutuhan energi bersih di tingkat korporasi dan Asia menjadi episentrum dari transisi tersebut.

    “Meningkatkan kebijakan energi terbarukan di Vietnam, Korea Selatan, Jepang, Indonesia, dan Singapura dapat meningkatkan PDB regional sebesar USD26,86 miliar, menciptakan 435 ribu lapangan kerja baru, dan meningkatkan total upah sebesar USD14,63 miliar,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima KabarBursa.com, Rabu, 4 Juni 2025.

    Secara regional, Indonesia belum berada di posisi terdepan dalam transisi energi. Hingga 2023, bauran energi terbarukan dalam sistem kelistrikan nasional baru mencapai 18 persen, sementara 82 persen sisanya masih bergantung pada sumber fosil.

    Target pemerintah adalah mendorong angka itu menjadi 35 persen pada 2034. Sebagai pembanding, Vietnam telah mencapai 43 persen dan menargetkan 52 persen pada 2030. Jepang berada di angka 25 persen, Korea Selatan di 9 persen, dan Singapura di 4 persen. Namun negara-negara tersebut telah menyusun target peningkatan bauran secara agresif dalam kurun waktu lima hingga sepuluh tahun ke depan.

    Meski peluang energi terbarukan besar, tantangan yang dihadapi Indonesia tidak kecil. Arah kebijakan energi terbarukan yang belum konsisten, lemahnya mekanisme pembelian listrik oleh perusahaan swasta, dan absennya kebijakan yang mencerminkan tingginya permintaan energi hijau dari sektor korporasi menjadi hambatan utama.

    ACEC merekomendasikan beberapa langkah strategis. Pertama, menetapkan target energi terbarukan secara tegas dalam dokumen kebijakan nasional dan komitmen iklim (NDC). Kedua, mempercepat implementasi power wheeling, yakni skema pemanfaatan bersama jaringan transmisi listrik. Ketiga, membuka peluang penerapan skema Corporate Purchase Power Agreement (CPPA), agar perusahaan dapat langsung membeli listrik dari pembangkit energi terbarukan.

    Tak kalah penting, kepemilikan atas sertifikat energi terbarukan atau Renewable Energy Certificate (REC) perlu diperjelas—khususnya antara PLN dan produsen listrik swasta (IPP). Kepastian hukum dan regulasi yang kondusif sangat dibutuhkan guna menarik investasi dan menjaga keberlanjutan transisi energi nasional.

    Kepala RE100 dan The Climate Group, Ollie Wilson, menegaskan pentingnya reformasi regulasi yang mendesak. Menurutnya, para anggota RE100 telah menunjukkan kesiapan untuk berinvestasi dalam transisi energi di Asia, namun komitmen tersebut harus ditanggapi serius oleh para pengambil kebijakan agar peralihan menuju energi terbarukan dapat berlangsung cepat dan menjangkau skala yang dibutuhkan.

    “Untuk meningkatkan daya saing, keamanan energi, dan manfaat iklim dari energi terbarukan, pemerintah harus menciptakan lingkungan yang mendukung untuk pengadaan energi terbarukan oleh perusahaan,” katanya.(*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).