KABARBURSA.COM - Pemerintah menargetkan 238 juta liter per tahun produksi bahan bakar pesawat yang ramah lingkungan atau Sustainable Aviation Fuel (SAF) pada 2026. Adapun SAF sendiri dinilai menjadi solusi utama untuk mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) dalam sektor penerbangan internasional.
Diketahui, produksi SAF sendiri berbasis pada kelapa sawit. Pontensi Indonesia sebagai produsen minyak kelapa sawit dinilai sangat memungkinkan untuk memproduksi bahan bakar tersebut. Di sisi lain, bahan bakar tersebut juga memiliki potensi besar dalam mendukung pencapaian target pengurangan emisi global.
Sementara saat ini, Indonesia masuk dalam jajaran pasar industri penerbangan terbesar di dunia dengan 251 bandara yang ada dan 50 bandara baru dalam rencana. Sebagai produsen minyak kelapa sawit, Indonesia juga menjadi yang terbesar dengan total produksi 3,9 juta ton used cooking oil (UCO) pada 2023.
“Manfaat dan tantangan SAF, bahan bakar itu dapat membantu mengurangi emisi gas rumah kaca dan dianggap sebagai energi bersih. Namun, penggunaannya secara komersial masih menghadapi tantangan, seperti keterbatasan bahan baku, biaya tinggi, dan infrastruktur belum memadai,” kata Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Dida Gardera, dalam keterangannya, Jumat, 23 Agustus 2024.
Sementara untuk jangka waktu uji coba SAF, tutur Dida, telah dilakukan di Indonesia sejak 2020 dengan hasil uji coba yang berhasil termasuk co-process J2.4 dan uji terbang pada berbagai jenis pesawat.
Uji terbang terbaru pada kuartal ketiga 2023 di Garuda Boeing 737-800 menunjukkan tidak adanya perbedaan kinerja dibandingkan bahan bakar fosil konvensional.
Di sisi lain, potensi Palm Kernel Expeller (PKE) atau bungkil sawit menjadi produk sampingan dari proses ekstraksi minyak kelapa sawit itu berpotensi diubah menjadi bioethanol yang dapat digunakan sebagai bahan baku SAF.
Satu ton PKE dapat menghasilkan 250 liter bioethanol, dengan potensi PKE yang diperkirakan mencapai 6 juta ton per tahun. Indonesia sedang dalam proses mengusulkan PKE sebagai sumber bahan bakar SAF yang masuk dalam daftar CORSIA.
Akan tetapi, Dida menegaskan upaya pemanfaatan SAF juga membutuhkam peran aktif semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, produsen bahan bakar, produsen pesawat, maskapai penerbangan, bandara, investor, hingga lembaga keuangan.
Melalui seminar yang digelar International Civil Aviation Organization (ICAO) di Bangkok awal bulan Agustus lalu, Dida menekankan komitmen Indonesia dalam pengembangan SAF. Adapun gelaran itu juga diikuti perwakilan industri dan lembaga internasional, termasuk Civil Aviation Authority dari beberapa negara Asia Pasifik.
“Ini menegaskan komitmen Indonesia untuk berkontribusi dalam pengembangan SAF dan pengurangan emisi global. Dengan langkah-langkah strategis yang diambil, diharapkan SAF akan memainkan peran penting dalam masa depan penerbangan yang lebih berkelanjutan,” tutupnya.
Persoalan Bahan Baku di Sektor Hulu
Diberitakan sebelumnya, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung, mengungkap masih terdapat persoalan di sektor hulu industri kelapa sawit.
Diketahui, sektor hulu industri kelapa sawit masih berkutat pada persoalan produktivitas yang menurun, klaim kawasan hutan, hingga ancaman Pasal 110B yang mengecam replanting (hanya 1 daur).
Menurutnya, perihal dedicated area atau pemanfaatan lahan yang terdegradasi sebagai perkebunan kelapa sawit perlu dilakukan untuk mendukung program pemanfaatan energi bersih. Dengan begitu, Gulat menilai tidak ada persoalan tarik-menarik antara kebutuhan energi dengan kebutuhan pangan.
Menurutnya, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjadi sinyal baik dalam mendukung komitmen pemerintah terkait B50. Hal tersebut juga dinilai sejalan dengan visi Presiden terpilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu), Prabowo Subianto, yakni kemandirian energi.
“Sebenarnya sudah memberikan sinyal untuk dukungan penuh kemandirian energi ini. Apalagi salah satu program unggulan Presiden terpilih, Prabowo, adalah kemandirian energi” kata Gulat saat dihubungi Kabar Bursa, Kamis, 22 Agustus 2024.
Gulat juga meminta Kementan untuk melakukan percepatan Peremajaan Sawit Rakyat (PSR). Sebagaimana diketahui, berdasarkan data Direktorat Jenderal Pekebunan Kementan, realisasi PSR hingga bulan Mei 2024 baru terealisasi sebesar 336,834 hektare atau sekitar 0,33 juta hektare.
Sementara PSR yang ditargetkan pada tahun 2024 sebesar 120,000 hektare. Gulat menilai, capaian target PSR ini masih sangat jauh dari apa yang diharapkan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Padahal, kata dia, PSR ini menjadi hal urgen untuk segera dilakukan.
“Hulurisasi itu sebenarnya cenderung daripada fungsi daripada Kementan, terkhusus hulirisasi di sektor perkebunan sawit rakyat, yang pada saat ini capaian target PSR-nya masih jauh dari yang diharapkan Presiden Jokowi,” jelasnya.(*)