Logo
>

RUU EBT bisa Jalan, tapi Energi Kotor Masih Dipegang Erat

RUU Energi Baru dan Terbarukan dinilai belum mencabut dominasi batu bara. Pengamat menyebut kompromi politik dan ekonomi masih terlalu kuat untuk benar-benar meninggalkan energi fosil.

Ditulis oleh Dian Finka
RUU EBT bisa Jalan, tapi Energi Kotor Masih Dipegang Erat
Deretan turbin angin di PLTB Sulawesi Selatan, simbol pengembangan energi terbarukan yang masih menghadapi banyak tantangan. Pengamat menilai RUU EBT sarat kompromi. Batu bara masih dijaga lewat pasal khusus, transisi energi diprediksi makan waktu 10–15 tahun. Foto: KabarBursa/Abbas Sandji.

KABARBURSA.COM - Pemerintah dan DPR sedang merias wajah transisi energi lewat Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT). Tapi di balik kemasan “hijau” itu, sejumlah pasal justru membuka jalan mulus bagi batu bara tetap berkuasa.

Pengamat ekonomi dan mata uang, Ibrahim Assuaibi, melihat ini sebagai bentuk kompromi yang tak terhindarkan. Menurutnya, menghapus peran batu bara begitu saja bukan hanya tidak realistis, tapi juga berisiko mengganggu fondasi fiskal negara. Belum lagi, kata dia, tambang-tambang baru justru dibagikan ke ormas dalam kebijakan terkini—ini sinyal keras bahwa batu bara masih dianggap “anak emas” dalam ekonomi nasional.

Namun begitu, Ibrahim menilai regulasi RUU EBT bukan sepenuhnya abu-abu, tapi memerlukan solusi bertahap agar tidak menciptakan kebingungan di pasar, termasuk dari sisi kepastian bagi investor.

“Bukan abu-abu. RUU ini pasti akan ada dan akan disahkan. Tapi harus ada solusi. Karena sampai saat ini, batu bara masih menjadi salah satu pemasukan terbesar bagi pajak negara,” ujar Ibrahim kepada KabarBursa.com, Senin, 26 Mei 2025.

Diketahui sejumlah pasal dalam draf RUU EBT dinilai kontradiktif dengan semangat dekarbonisasi. Pasal 6 ayat 5 membuka ruang legal untuk tetap memanfaatkan pembangkit energi tak terbarukan selama masa transisi, sementara ayat 6-nya bahkan menetapkan kuota wajib domestic market obligation (DMO) batu bara minimal 30 persen dari rencana produksi, dengan harga maksimum USD70 per ton.

Tambahan lagi, Pasal 44 memperbolehkan perusahaan—termasuk BUMN—membeli sertifikat energi terbarukan (ET) sebagai ganti pemenuhan bauran energi bersih, lengkap dengan kompensasi negara di ayat 5-nya. Kebijakan-kebijakan ini dikhawatirkan menjadi bentuk greenwashing regulatif yang menyelubungi dominasi energi kotor dengan citra transisi.

Menurut Ibrahim, posisi batu bara dalam sistem ekonomi nasional saat ini belum bisa begitu saja dieliminasi. “RUU ini sah-sah saja, tapi harus melewati tahapan yang tepat. Jangan sampai salah dalam menentukan pasal-pasal, agar pelaku usaha di batu bara juga tetap merasa aman,” katanya.


Transisi Butuh Waktu: 10–15 Tahun ke Depan


Ibrahim memperkirakan masa transisi energi nasional tidak akan singkat. Dalam hitung-hitungannya, diperlukan setidaknya 10 hingga 15 tahun untuk benar-benar mengalihkan ketergantungan dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan secara menyeluruh.

“Kalau ada yang bilang transisi bisa selesai dalam lima tahun, saya rasa itu enggak mungkin. Paling realistis itu 10–15 tahun ke depan, baru bisa kita lihat hasilnya.”

Menurutnya, tantangan utama dalam transisi energi bukan hanya pada sisi teknologi, tetapi juga pada biaya investasi yang masih tergolong tinggi. Ia menyebut, meskipun sejumlah perusahaan energi terbarukan sudah listing di bursa, proyek mereka sebagian besar masih dalam tahap pengembangan.

“Mereka memang sudah IPO, tapi ya proyeknya belum rampung. Masih dalam proses semua. Enggak gampang bikin pembangkit energi terbarukan. Biayanya tinggi dan prosesnya juga panjang,” katanya.

Untuk itu, kata Ibrahim, kepastian regulasi dalam RUU EBT sangat menentukan minat investor, baik dari dalam maupun luar negeri. Ia mencontohkan proyek-proyek energi terbarukan yang saat ini sedang dikembangkan di Jambi bekerja sama dengan PLN dan investor asing yang meskipun sudah berjalan, masih mencari dana segar agar konstruksi bisa tuntas sesuai target.

“PLN, Pertamina, mereka jalan kok. Tapi kan semua butuh modal. Kalau belum dapat dana segar dari investor, ya pembangunannya masih proses. Jadi gak bisa langsung jadi,” jelasnya.

Meski mengakui bahwa beberapa sumber energi seperti tenaga air atau surya tergolong lebih murah secara investasi, Ibrahim menilai tidak semua bentuk energi baru dan terbarukan memiliki karakteristik yang sama.

“Coba kalau dari gas alam, itu kan harus bikin smelter dulu. Itu mahal banget. Energi terbarukan lain juga gitu, butuh waktu dan biaya. Belum tentu langsung bisa jalan seperti yang dibayangkan,” katanya.

Ia menegaskan perubahan lanskap energi nasional bukan hanya urusan teknologi dan komitmen politik, tapi juga berkaitan erat dengan struktur ekonomi dan kepentingan fiskal negara.

“Kalau regulasi dibuat terburu-buru, takutnya justru kontraproduktif. Kita harus realistis, jangan sampai transisi ini malah ganggu kestabilan energi nasional,” katanya.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Dian Finka

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.