Logo
>

Satgas Transisi Energi, Solusi atau Hanya Wadah Koordinasi?

Satgas Transisi Energi diharapkan bisa mempercepat peralihan dari energi fosil ke energi terbarukan. Namun, tanpa regulasi dan kebijakan jelas, apakah ini benar-benar solusi atau sekadar koordinasi belaka?

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Satgas Transisi Energi, Solusi atau Hanya Wadah Koordinasi?
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) Sidrap di Sulawesi Selatan, sebagai salah satu proyek energi terbarukan terbesar di Indonesia yang memanfaatkan tenaga angin untuk menghasilkan listrik. Foto: Dok. ESDM.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Pemerintah akhirnya resmi membentuk Satuan Tugas Transisi Energi dan Ekonomi Hijau (Satgas TEH), sebuah langkah yang digadang-gadang bisa mempercepat peralihan Indonesia dari energi fosil ke energi bersih. Pembentukan Satgas ini tertuang dalam Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 141 Tahun 2025 yang secara tidak langsung menegaskan bahwa pemerintahan Presiden Prabowo tetap melanjutkan agenda transisi energi dari era sebelumnya.

    Institute for Essential Services Reform (IESR), salah satu lembaga yang aktif mengawal isu energi terbarukan, langsung merespons dengan apresiasi. Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa, melihat kehadiran Satgas ini sebagai sinyal bahwa pemerintah benar-benar serius menggarap transisi energi, bukan sekadar wacana politik semata.

    “Pembentukan Satgas TEH juga menjadi bentuk tanggung jawab moral Indonesia dalam melaksanakan hasil keputusan G20, termasuk sembilan prinsip Bali Compact dan tiga prioritas dalam Bali Energy Transitions Roadmap,” ujar Fabby dalam keterangan tertulis yang diterima KabarBursa.com, Jumat, 21 Maret 2025.

    Satgas ini diharapkan menjadi motor utama dalam mengawal transisi energi Indonesia sesuai dengan target Persetujuan Paris, serta memastikan implementasi Bali Energy Transitions Roadmap berjalan lancar. Dengan demikian, akselerasi energi bersih di Indonesia bisa lebih terarah, mulai dari memastikan akses energi, meningkatkan pemanfaatan teknologi energi bersih, hingga menggenjot pendanaan energi terbarukan.

    Tantangan Investasi Rendah dan Penolakan Masyarakat

    Transisi energi di Indonesia bukan perkara mudah. Investasi di sektor energi terbarukan masih jauh dari harapan. Tahun 2024, realisasinya cuma USD1,8 miliar, jauh di bawah target USD 2,6 miliar. Faktor yang bikin investor ogah-ogahan? Iklim investasi yang belum mendukung.

    Beberapa proyek energi terbarukan malah mendapat penolakan masyarakat, seperti proyek panas bumi di Flores, PLTS terapung di Sumatera Barat, dan PLTA di beberapa wilayah lain. Penolakan semacam ini bikin proyek energi terbarukan makin berisiko di mata investor dan lembaga keuangan. Kalau terus begini, bagaimana Indonesia bisa mencapai target bauran energi bersih?

    Untuk itu, IESR berharap Satgas TEH bisa jadi ruang koordinasi lintas kementerian yang tidak cuma bicara wacana, tapi juga menemukan solusi nyata untuk mempercepat transisi energi. Kebijakan yang lebih ramah terhadap energi bersih, sekaligus upaya mengatasi hambatan investasi, harus segera dirancang agar sektor ini bisa berkembang lebih cepat.

    Indonesia sudah terikat dengan berbagai skema pembiayaan internasional seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) dan Energy Transition Mechanism (ETM). Satgas TEH diharapkan bisa memastikan agar pendanaan ini benar-benar digunakan secara efektif untuk mensubstitusi Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dengan energi terbarukan.

    IESR sendiri yakin, peralihan ke energi terbarukan bisa dilakukan dengan lebih cepat dan lebih murah dibanding yang selama ini dikhawatirkan. Dari risetnya, Unlocking Indonesia’s Renewable Future, IESR menemukan bahwa Indonesia punya potensi proyek energi terbarukan hingga 333 GW di 632 lokasi yang layak secara teknis dan finansial. Kalau dikelola dengan baik, ini bisa jadi daya tarik besar buat para investor.

    Direktur IESR, Fabby Tumiwa. Foto: Dok. IESR.

    “Eropa akan segera mengenakan pajak karbon pada barang dan jasa yang masuk ke kawasannya. Indonesia harus memastikan industrinya siap agar tetap berdaya saing,” kata Fabby.

    Menurutnya, Satgas TEH punya peran penting dalam mendorong dekarbonisasi industri, memastikan bahwa ekonomi Indonesia tidak tertinggal di era perdagangan global yang makin ramah lingkungan.

    Tapi yang terpenting, Satgas TEH tak boleh hanya jadi wadah koordinasi tanpa aksi nyata. IESR menegaskan, Satgas ini harus membuka ruang komunikasi yang luas dengan semua pemangku kepentingan—bukan hanya pemerintah dan investor, tapi juga masyarakat sipil, pelaku usaha, dan sektor swasta lainnya.

    Kalau cuma sekadar bikin kebijakan di atas kertas tanpa melibatkan semua pihak, transisi energi bersih bisa mandek di tengah jalan. Indonesia butuh langkah konkret, bukan hanya janji dan komitmen kosong. Satgas TEH diharapkan bisa jadi motor perubahan yang menggerakkan transisi energi ke arah yang lebih jelas, cepat, dan adil bagi semua.

    RUU Energi Terbarukan Molor, Investor Masih Wait and See

    Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) di daerah terpencil, memanfaatkan aliran sungai sebagai sumber energi terbarukan untuk menyediakan listrik bagi masyarakat sekitar. Foto: Dok. ESDM.

    Meskipun Satgas TEH diharapkan bisa mempercepat transisi energi, regulasi yang tidak kunjung jelas masih menjadi batu sandungan terbesar bagi investasi energi hijau di Indonesia. Ketidakpastian revisi Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (UU EBET) membuat perkembangan energi hijau di Tanah Air berjalan lambat. Tanpa aturan main yang jelas, investor masih enggan menggelontorkan modalnya, terutama karena insentif, tarif listrik, hingga mekanisme transisi energi yang belum sepenuhnya tertata.

    Menurut analis di Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), Katherine Hasan, keterlambatan regulasi ini sudah mulai berdampak langsung pada proyek-proyek energi terbarukan di Indonesia.

    “Capaian bauran energi yang tidak terpenuhi dari tahun ke tahun salah satu indikasinya. Saat ini, belum ada regulasi pendukung berupa insentif atau instrumen hukum yang benar-benar mendorong transisi energi bersih,” ujar Katherine kepada KabarBursa.com di Jakarta, Rabu, 5 Maret 2025, lalu.

    Padahal, jika dikelola dengan baik, potensi energi hijau di Indonesia cukup menjanjikan. Menurut catatan CREA, proyek energi terbarukan yang sudah teridentifikasi saat ini mencapai 45 GW. Angka ini sebenarnya bisa melampaui target Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) 2030, yang hanya dipatok di 38 GW.

    Namun, menurut Katherine, transisi energi tidak cukup hanya dengan menggenjot proyek energi hijau. Perhatian juga perlu diberikan pada pembatalan proyek pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara, yang hingga kini masih mendominasi sistem ketenagalistrikan Indonesia.

    “Yang seharusnya dipertanyakan adalah proyek PLTU mana saja yang sudah dibatalkan? PLN misalnya, membatalkan proyek PLTU sebesar 13,3 GW, sementara Hyundai juga menarik diri dari pembelian aluminium Adaro yang diproduksi dengan PLTU batu bara. Ini menunjukkan bahwa peralihan ke energi terbarukan bukan hanya untuk memenuhi komitmen iklim, tetapi juga demi keberlanjutan bisnis,” jelasnya.

    Setelah lama mandek, RUU EBET akhirnya masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025, setelah sebelumnya di-carry over dari Komisi VII DPR periode 2019-2024. Kini, Komisi XII DPR RI, yang menggantikan Komisi VII sebagai komisi yang membidangi energi, menyatakan bakal menggenjot pembahasan regulasi ini.

    Ketua Komisi XII DPR RI, Bambang Patijaya, bahkan menyebut RUU EBET sebagai regulasi pertama yang ia tandatangani setelah menjabat pimpinan komisi tersebut.

    “Kita ingin memastikan bahwa regulasi ini akan mendukung industrialisasi nasional, bukan malah memperumit proses transisi energi,” kata Bambang dalam Diskusi Forum Legislasi bertajuk “RUU EBET Kembali Dibahas, Menanti Energi Terbarukan Sebagai Solusi Energi” di Kompleks Parlemen, Jakarta Pusat, Selasa, 25 Februari 2025.

    Bambang menegaskan bahwa tanpa kepastian hukum, pengembangan energi terbarukan di Indonesia bisa terhambat oleh kebijakan yang tumpang tindih. Oleh karena itu, Komisi XII DPR berjanji akan segera menyelesaikan revisi UU EBET agar sektor energi hijau memiliki pijakan regulasi yang kuat untuk berkembang lebih cepat.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).