KABARBURSA.COM - Sekretaris Jenderal Association of Southeast Asian Nations atau ASEAN, Kao Kim Hourn, menyerukan negara-negara di Asia Tenggara yang menjadi salah satu kawasan paling terdampak perubahan iklim, harus bekerja sama dengan erat untuk mengurangi dampaknya.
"Dampak perubahan iklim bersifat global, kawasan kita tidak terkecuali. ASEAN sangat terpengaruh oleh dampak perubahan iklim,” kata Kao, dikutip dari Channel News Asia, Rabu, 23 Oktober 2024.
Pernyataan ini disampaikan di sela-sela KTT Singapore International Energy Week (SIEW), pertemuan tahunan para profesional, pembuat kebijakan, dan analis yang membahas solusi di sektor energi global pada 21 Oktober lalu.
Transisi Energi Bersih ASEAN
Kao menekankan permintaan energi di Asia Tenggara diperkirakan akan lebih dari dua kali lipat pada 2040 untuk memenuhi kebutuhan negara-negara di kawasan ini. Oleh karena itu, perlu ada peralihan ke energi bersih untuk mengurangi emisi karbon yang berkontribusi pada perubahan iklim.
ASEAN, yang diproyeksikan menjadi ekonomi terbesar keempat di dunia, telah berkomitmen untuk mencapai 23 persen energi terbarukan dalam total pasokan energi primer pada 2025.
"Kita harus mempertimbangkan semua opsi yang mungkin untuk kawasan ini. Tentu saja, yang terbaik adalah menggunakan campuran energi, dan kita harus bekerja sama. Kolaborasi adalah kunci untuk merespons tantangan ini," jelasnya.
Namun, perbedaan kecepatan transisi dekarbonisasi di negara-negara ASEAN menjadi tantangan tersendiri, di mana investasi energi terbarukan menghadapi berbagai hambatan termasuk keterbatasan pembiayaan.
"ASEAN berlandaskan pada kerja sama," ujar Kao, mencontohkan mekanisme seperti Pertemuan Menteri Energi ASEAN sebagai salah satu upaya untuk memajukan agenda ini.
"Kita harus berdiskusi dan mencari cara terbaik untuk mengatasi masalah ini secara kolektif di dalam kawasan ASEAN," tambahnya.
Selain itu, Kao mengatakan ASEAN harus menjalani berbagai lapisan kerja sama, termasuk pengaturan bilateral, kerja sama subregional, dan juga bekerja dengan mitra internasional, termasuk organisasi dan lembaga keuangan internasional.
Pembiayaan Pengurangan Risiko Bencana
Kawasan Asia Tenggara, yang rentan terhadap kenaikan permukaan laut, banjir, gelombang panas, dan kekeringan, menghadapi tantangan besar dalam hal pendanaan untuk aksi iklim. Hal ini disampaikan oleh para pengamat di KTT Singapore International Energy Week (SIEW).
"Jika melihat dari sisi pembiayaan reaktif, jelas ada pendanaan signifikan yang mengalir setelah bencana terjadi," ujar Dr. Ramesh Subramaniam, Direktur Jenderal dan Kepala Kelompok Sektor di Bank Pembangunan Asia (ADB).
"Tapi tantangan yang kita hadapi adalah lambatnya alokasi anggaran fiskal yang secara khusus disiapkan untuk menghadapi bencana. Dan jika kita lihat pasar asuransi, hampir tidak ada yang tersedia,” imbuhnya.
Bulan lalu, ADB menyetujui tujuan baru untuk mengalokasikan 50 persen dari pinjaman tahunannya ke pembiayaan iklim pada 2030.
Subramaniam juga membahas pendirian dana kerugian dan kerusakan di KTT iklim COP28 di Dubai tahun lalu, yang disebutnya sebagai langkah awal yang sangat penting untuk membantu negara-negara rentan.
"Kami cukup optimis bahwa akan ada momentum," katanya, sembari menyerukan dukungan lebih banyak dari yang telah dijanjikan oleh negara-negara maju. "Namun, mengingat skala bencana, jelas tantangan utama adalah tidak ada jumlah pendanaan yang akan cukup untuk mengatasi semuanya."
Minta Bantuan Swasta
Tantangan dalam pendanaan untuk aksi iklim tidak hanya dirasakan di tingkat regional Asia Tenggara, tetapi juga menjadi perhatian serius di Indonesia. Sementara para pengamat di SIEW menyoroti lambatnya alokasi anggaran dan kurangnya dukungan asuransi dalam menghadapi bencana iklim, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menggarisbawahi pentingnya peran sektor swasta dalam mendanai mitigasi krisis iklim di dalam negeri.
Sri Mulyani mengungkapkan bahwa Indonesia memerlukan dana mencapai USD281 miliar atau sekitar Rp4.299 triliun untuk memenuhi komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca dan mitigasi dampak perubahan iklim sesuai Perjanjian Paris.
“Fiskal publik tidak bisa menjadi satu-satunya sumber pembiayaan, meskipun kami terus berupaya mengalokasikan anggaran secara optimal,” ujar Sri Mulyani dalam acara Indonesia International Sustainability Forum 2024, Jumat 6 September 2024.
Ia menambahkan, pemerintah telah menyiapkan berbagai insentif untuk menarik investasi swasta dalam pendanaan mitigasi perubahan iklim, termasuk tax allowance, tax holiday, dan pembebasan bea masuk.
Selain itu, Sri Mulyani menjelaskan bahwa pemerintah aktif menciptakan instrumen keuangan berkelanjutan untuk mendanai lebih banyak program penanganan krisis iklim.
Untuk mendorong lebih banyak sumber pembiayaan, pemerintah telah menerbitkan berbagai instrumen seperti sukuk, green sukuk, dan blue bonds, dengan total penerbitan mencapai USD7,07 miliar antara 2018 hingga 2023.
Selain pendekatan fiskal, Sri Mulyani juga menyoroti pentingnya mekanisme pasar dalam pembiayaan perubahan iklim, termasuk penetapan harga karbon melalui pasar karbon. Hal ini diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon.
Bersama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pemerintah sedang menyiapkan aturan teknis untuk perdagangan karbon lintas batas, yang memungkinkan Indonesia menjual dan membeli sertifikat kredit karbon dengan negara-negara lain.
“Karbon yang dikeluarkan tidak memiliki identitas, jadi kita perlu memastikan kontribusi dari berbagai negara seperti Indonesia, Singapura, Malaysia, dan menetapkan siapa yang membayar berapa,” kata dia.(*)