Logo
>

Target EBT RI Terancam Gagal Akibat Inkonsistensi Kebijakan

Fabby Tumiwa menilai pemerintah tidak konsisten menjalankan strategi energi bersih. Target bauran energi 23 persen di 2025 pun terancam tak tercapai karena kebijakan yang kontradiktif.

Ditulis oleh Dian Finka
Target EBT RI Terancam Gagal Akibat Inkonsistensi Kebijakan
Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) di Kabupaten Jeneponto Sulsel. IESR menyebut inkonsistensi pemerintah jadi penyebab target EBT 23 persen sulit tercapai pada 2025. Skema FiT dihapus, subsidi fosil tetap jalan. Foto: Kabar Bursa/Abbas Sandji

KABARBURSA.COM – Ambisi pemerintah mencapai target bauran energi bersih sebesar 23 persen pada 2025 kian diragukan. Hingga kini, realisasi baru mencapai 14,1 persen.  Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menilai pemerintah tidak sungguh-sungguh menjalankan strategi yang telah mereka tetapkan sendiri.

“Target itu sudah ada sejak Penjalan Energi Nasional 2014 dan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2017. Tapi dalam praktiknya, pemerintah tidak konsisten. Ini bukan soal tidak bisa, tapi tidak dilaksanakan,” ujar Fabby saat dihubungi KabarBursa di Jakarta, Jumat 16 Mei 2025.

Fabby mengatakan banyak kebijakan kunci dari pemerintah yang seharusnya mendukung transisi energi, justru diabaikan atau bahkan dibatalkan. Contohnya adalah penghapusan skema feed-in tariff untuk energi terbarukan, padahal mekanisme ini dianggap efektif untuk mendorong pembangkit skala kecil di daerah terpencil.

Sebagai informasi, FiT adalah skema kebijakan yang menjamin harga beli listrik dari pembangkit energi terbarukan. Lewat skema ini, produsen—termasuk pelaku kecil seperti koperasi desa atau pengembang lokal diberi harga tetap dan kontrak jangka panjang untuk menjual listrik ke jaringan nasional. Skema ini banyak dipakai di negara seperti Jerman dan Jepang untuk mendorong investasi energi hijau di daerah-daerah terpencil karena memberi kepastian pendapatan dan pengembalian modal.

Feed-in tariff itu tadinya ada di RUEN, tapi malah dihapus. PLN tidak mau pakai. Padahal itu penting untuk menarik investasi EBT skala kecil,” kata Fabby.

Fabby juga menyoroti tidak dijalankannya kewajiban pemasangan PLTS Atap di gedung pemerintah dan rumah mewah. Padahal RUEN mengamanatkan 30 persen atap gedung pemerintah dan 25 persen rumah mewah wajib memasang PLTS atap. “Regulasinya ada, tapi pelaksanaannya nol besar. Bahkan saat aturan net metering diperbaiki pada 2021, PLN justru menolak pemasangan PLTS Atap oleh konsumennya,” kata Fabby.

Menurutnya, kontribusi tenaga surya dalam bauran energi sangat krusial, namun tidak terlihat adanya komitmen nyata untuk merealisasikannya. Kebijakan pembangkit 35.000 MW di era Presiden Joko Widodo juga dinilai tidak berpihak pada energi bersih.

Potensi dan kapasitas terpasang EBT di Indonesia. Sumber: Kementerian ESDM.

Fabby tidak asal menuding. Program pembangkit 35.000 megawatt (MW) yang diluncurkan pemerintah sejak 2015 nyatanya lebih banyak dialokasikan untuk sumber energi fosil. Dari total target kapasitas tersebut, sekitar 20.000 MW berasal dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batu bara dan 13.000 MW dari pembangkit gas. Sisanya, yang berasal dari energi baru terbarukan seperti panas bumi, air, dan angin, hanya sekitar 3.700 MW—tak sampai 11 persen dari keseluruhan rencana.

Realisasi program 35.000 MW sendiri juga tertatih. Hingga 2020, baru sekitar 8.400 MW yang berhasil terealisasi. Itu pun mayoritas masih PLTU. “Dari target 35.000 MW, seharusnya 25 persen berasal dari EBT. Tapi yang dibangun mayoritas batu bara dan gas. Panas bumi pun tidak signifikan dan banyak kendala,” kata Fabby.

Fabby pun mengkritisi kebijakan subsidi energi fosil yang dinilainya justru merusak persaingan. Ia menyebut pemerintah memberi harga khusus untuk batu bara dan gas demi pasokan murah ke PLN. “Batu bara DMO dipatok maksimal USD70 per ton, meskipun harga global lebih tinggi. Gas pun disubsidi jadi USD6 per MMBTU. Ini membuat EBT kalah saing,” tandas Fabby.

Ia memandang subsidi kepada energi fosil adalah bentuk inkonsistensi yang nyata dalam kebijakan energi nasional. Di saat yang sama, proyek EBT seperti PLTS atap, PLTMH, dan PLTB terus menghadapi tantangan dari sisi teknis, pembiayaan, hingga kepastian kontrak. “Kalau pemerintah memang serius mau transisi energi, maka konsistensi kebijakan itu wajib. Tanpa itu, semua target tinggal jadi retorika,” kata Fabby.

Indonesia Masih di Jalur Lambat

Dunia sedang ngebut-ngebutnya menuju masa depan energi bersih. Energi terbarukan mencetak rekor baru sepanjang 2024. Sebanyak 92,5 persen dari kapasitas listrik baru global berasal dari energi bersih, mulai dari matahari, angin, hingga sumber hijau lainnya.

Data ini disampaikan oleh Badan Energi Terbarukan Internasional (IRENA) dalam laporan terbarunya, Rabu, 14 Mei 2025. Namun meski pertumbuhannya kencang, dunia dinilai masih tertinggal dari target ambisius tripling renewable energy yang disepakati pada 2023 lalu. Total kapasitas listrik bersih yang ditambahkan sepanjang tahun lalu mencapai 585 gigawatt, meningkat 15,1 persen dibanding tahun sebelumnya. Dari angka itu, hampir 64 persen datang dari China—dengan tiga perempatnya berupa panel surya.

China menjadi negara yang paling serius menggarap energi bersih. Sepanjang 2024, Negeri Tirai Bambu ini menambahkan 374 gigawatt energi terbarukan atau lebih dari 8 kali lipat tambahan kapasitas Amerika Serikat, dan 5 kali lipat dibanding Eropa. Kini, total kapasitas panel surya China mencapai 887 GW—jauh melampaui AS (176 GW), Jerman (90 GW), Prancis (21 GW), dan Inggris (17 GW).

Namun, di saat China jorjoran menambahkan kapasitas energi terbarukan hanya dalam setahun, Indonesia masih tertatih di lintasan yang sama dan jauh tertinggal dari para juara podium. Data Kementerian ESDM menyebutkan hingga akhir 2024, kapasitas terpasang pembangkit energi terbarukan di Indonesia baru mencapai 14,83 GW. Angka ini bahkan belum menyamai satu bulan penambahan kapasitas yang dicetak China. Padahal, potensi teknis energi terbarukan Indonesia sangat besar—mulai dari panas bumi, air, hingga matahari. Tapi, sebagaimana lazimnya, yang besar belum tentu tergarap.
 
Sepanjang 2024, tambahan kapasitas energi hijau Indonesia cuma 547 megawatt (MW). Itupun masih didominasi PLTA dan sedikit PLTS. Masih jauh dari cukup. Jika merujuk target pemerintah dalam Kebijakan Energi Nasional (KEN), bauran energi dari sumber terbarukan seharusnya menyentuh 23 persen pada 2025. Tapi kenyataannya, realisasi 2024 baru mencapai 14,1 persen—naik tipis dari 13,9 persen pada tahun sebelumnya. Bahkan, belakangan muncul rencana merevisi target itu menjadi hanya 17–20 persen.

Presiden Prabowo Subianto sempat menyatakan ambisi menghentikan semua pembangkit listrik berbasis fosil dalam 15 tahun ke depan. Tapi banyak pihak—termasuk para analis dan NGO—masih meragukan kesiapan infrastruktur dan kebijakan untuk benar-benar mengeksekusi mimpi sebesar itu.

Ambil contoh energi surya. Potensinya luar biasa. Menurut IESR, secara teknis Indonesia punya potensi antara 3,3 TW hingga 20 TW—tergantung cara hitungnya. Tapi yang benar-benar terpasang baru sekitar 244 MW dari PLTS skala besar dan 304 MW dari PLTS atap. Totalnya bahkan belum menembus 1 GW.
 
Penyebabnya masih klasik: biaya awal tinggi, aturan Net Metering yang tak ramah konsumen, dan birokrasi pemasangan yang bikin orang malas berurusan dengan PLN. Ini seperti punya lahan sawah seluas Kalimantan, tapi hanya menanam kangkung di pot bunga.
 
Dari sisi investasi, kabar baiknya ada. Sepanjang 2024, investasi energi terbarukan di Indonesia mencapai USD1,49 miliar atau sekitar Rp23 triliun. Angka ini menyerap lebih dari 13 ribu tenaga kerja baru. Tapi kalau dibandingkan dengan total investasi energi bersih global yang sudah menyentuh USD2 triliun, bagian Indonesia masih secuil kerupuk.

Pemerintah sudah menerbitkan berbagai regulasi untuk mendorong masuknya dana, seperti Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2024 yang memfasilitasi proyek-proyek seperti PLTS dan PLTP. Tapi yang dibutuhkan lebih dari sekadar payung hukum—investor juga menunggu kepastian, kejelasan harga listrik, dan jaminan keberlanjutan proyek. Banyak yang ogah datang jika urusan izin, tarif, dan kepastian PPA masih berubah-ubah seperti cuaca di musim pancaroba.
 
Sementara itu, negara-negara tetangga di ASEAN seperti Vietnam dan Thailand mulai mencatat lonjakan signifikan dalam bauran EBT-nya. Vietnam sudah punya PLTS berkapasitas lebih dari 17 GW, jauh meninggalkan Indonesia yang masih berkutat di ratusan megawatt.
 
Apakah Indonesia akan mengejar? Bisa. Tapi hanya jika komitmen politik, kesiapan regulasi, dan keberanian menggeser subsidi energi fosil benar-benar dijalankan. Karena dalam balapan ini, yang menang bukan yang punya potensi paling besar, tapi yang lebih dulu serius berlari.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Dian Finka

Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.