KABARBURSA.COM - Pemerintah didorong untuk tidak larut dalam semangat produksi energi—terutama batubara—tanpa menyadari kenyataan global yang justru kian kompetitif dan ketat. Ketua Indonesia Mining and Energy Forum (IMEF), Singgih Widagdo, mengingatkan strategi transisi energi tidak cukup jika hanya mengandalkan pembangunan fisik tanpa memperhitungkan ongkos dan pelaksana di lapangan.
“Energi itu bukan hanya soal produksi, tapi soal affordability, accessibility, dan availability. Tiga hal inilah yang seharusnya menjadi tujuan utama kita jika benar-benar ingin mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060,” ujar Singgih saat berbicara di forum Batu Bara dan Kedaulatan Energi di Jakarta Selatan, Rabu, 28 Mei 2025.
Ia menilai, kondisi ekonomi dunia saat ini tengah bergerak ke arah perlambatan. Indikator seperti Purchasing Managers’ Index (PMI) India pun mulai menunjukkan tanda-tanda kontraksi. Situasi ini, menurutnya, turut memengaruhi prospek pasar energi Indonesia.
“Pasar makin kompetitif, sementara daya beli masyarakat kita terbatas. Harga listrik tinggi tentu akan menimbulkan resistensi. Maka, harus realistis,” kata dia.
Teknologi baru seperti Carbon Capture Storage (CCS) atau co-firing memang patut diperhitungkan, tapi menurut Singgih, belum bisa dianggap layak secara ekonomi dalam skala besar. Masalahnya bukan di teknologi semata, tapi juga pada usia dan status aset pembangkit.
“CCS baru bisa diterapkan jika PLTU-nya sudah nol aset. Jadi bukan phase-out, tapi phase-on yang lebih ekonomis. Retrofitting lebih masuk akal daripada menutup pembangkit secara paksa,” katanya.
Ia juga mengingatkan soal dampak tata kelola sektor energi yang tak kunjung beres pasca-reformasi otonomi daerah. Dulu, Undang-Undang Pertambangan versi lama hanya mengatur wilayah strategis kategori A dan B. Namun setelah desentralisasi, nyaris semua perizinan dilepaskan ke level daerah.
Akibatnya, saat ini terdapat lebih dari 830 Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang aktif. Volume memang naik, tapi di baliknya muncul persoalan pengawasan dan regulasi yang makin longgar.
“Kalau tidak ditarik, kontrolnya makin lemah. Kita akan terus berada dalam lingkaran masalah struktural,” ujarnya, merujuk pada kebijakan pemerintah pusat yang mulai merebut kembali wewenang perizinan melalui Kementerian ESDM dan BKPM.
Masih Ada Batu Bara di 2060
Menanggapi wacana pemerintah soal penguatan Domestic Market Industry (DMI) dan pengetatan ekspor, Singgih pesimistis kebijakan itu akan berdampak signifikan. Bahkan, menurut proyeksi Dewan Energi Nasional (DEN), batubara (KUL) masih akan menyumbang antara 7,8 hingga 11,9 persen dalam bauran energi nasional pada 2060 mendatang
“Pertanyaannya, pelakunya siapa? Apakah sumber daya cukup? Infrastruktur mendukung? Dan apakah kontrolnya bisa ditegakkan? Jangan sampai KUL jadi beban, bukan solusi,” ucapnya.
Dalam pandangan Singgih, selama batubara masih bisa memberi energi yang terjangkau dan merata, pemanfaatannya tetap dibutuhkan. Penambahan teknologi pendukung boleh saja, tapi harus selaras dengan RUPTL.
Masalah Nyata: SDM dan Pendanaan
Singgih menyinggung dua hal yang jarang disentuh dalam narasi besar transisi energi: sumber daya manusia dan pembiayaan. Ia mengungkap, janji pendanaan internasional sebesar USD 100 miliar per tahun untuk proyek transisi belum pernah benar-benar menyentuh Indonesia.
“Literasi energi kita masih sangat rendah. 90 persen pelaksana program transisi masih berpendidikan di bawah SMA. Ini jadi tantangan besar,” tegasnya.
Sementara itu, Singgih juga mencatat daya serap lapangan kerja terus melemah. Jika dulu pertumbuhan ekonomi 1 persen bisa menyerap 240 ribu pekerja, kini hanya 100 ribu orang. Dengan struktur ekonomi yang makin padat modal dan minim tenaga kerja, tekanan terhadap angkatan kerja tak bisa dihindari.
“Kalau transisi energi dipaksakan lewat gasifikasi, belum tentu efisien. Karena pasar global juga sedang menyusut. Negara seperti Malaysia membatasi transisi pada 38 juta ton. India dan Tiongkok masih genjot produksi. Kita malah menurunkan. Ini akan menciptakan tekanan besar,” paparnya.
Ia menekankan pentingnya perencanaan matang dan tata kelola yang solid. Tanpa itu, Indonesia bisa tergelincir dalam posisi sebagai pasar semata dalam rantai nilai global energi—bukan sebagai pemain.
“Kita harus melihat potret besarnya. Industri kita sedang mengalami kontraksi, sementara tantangan transisi energi makin kompleks. Kalau tidak disikapi serius, Indonesia hanya akan jadi pasar, bukan pemain dalam peta energi dunia,” katanya.(*)