Logo
>

Akademisi Dukung Kenaikan CHT 2025-2026, Ini Manfaatnya 

Ditulis oleh KabarBursa.com
Akademisi Dukung Kenaikan CHT 2025-2026, Ini Manfaatnya 

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) memberi usul bagi pemerintah untuk menaikkan Cukai Hasil Tembakau (CHT) sebesar 5 persen. Adapun kenaikan CHT dinilai baik untuk mengurangi prevalansi perokok di Indonesia atas dasar aspek kesehatan.

    Center of Human and Economics Development Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (CHED ITB-AD), Roosita Meilani Dewi, mengungkap beberapa manfaat dari wacana kenaikan CHT. Manfaat yang terasa adalah menurunnya prevalansi yang berguna untuk melindungi rakyat miskin, rentan, dan remaja.

    Adapun dari beberapa kategori masyarakat berdasarkan pendapatan, tutur Roosita, tercatat sebanyak 20 persen berada dalam kategori masyarakat menengah dan miskin. Menurutnya, kalangan masyarakat tersebut yang dirugikan oleh produk tembakau.

    "Inilah yang kemudian mereka selalu dirugikan dengan rokok yang sangat-sangat murah dan rokok yang bisa dibeli di mana pun bahkan ketengan," kata Roosita dalam konferensi persnya yang diikuti secara virtual, Jumat, 20 September 2024.

    Di sisi lain, Roosita juga menilai kenaikan CHT dapat menghindari fenomena downtrading atau kondisi ketika konsumen beralih pada produk rokok yang lebih murah. Dia menilai, baiknya pemerintah juga menaikkan CHT terhadap rokok-rokok dengan kualitas kedua dan seterusnya.

    Di sisi lain, kenaikan CHT juga dipercaya dapat menekan potensi merosotnya masyarakat kelas menengah. Diketahui, beberapa waktu lalu Badan Pusat Statistik (BPS) merilis merosotnya tingkat masyarakat kelas menengah.

    "Saya meyakini, bahwa salah satu adalah konsumsi rokok ini yang menyumbang juga bagaimana penurunan, dia tidak naik kelas menjadi masyarakat menengah atas, tetapi menengah bawah, kemudian menjadi masyarakat rentan, dan bahkan masuk ke dalam masyarakat miskin," ungkapnya.

    Akan tetapi, Roosita tak menampik sulitnya menurunkan prevalansi perokok. Pasalnya, terdapat banyak jenis rokok ilegal dengan disparitas harga hingga 50 persen. Hal tersebut kembali didukung dengan bervariasinya jenis produk rokok seperti Sigaret Kretek Tangan (SKT), Sigaret Kretek Mesin (SKM), dan Sigaret Putih Tangan (SPT).

    "Ini kan kerugian bagi negara, kerugian bagi negara yang harusnya, misalnya disamakan saja penaikannya atau bahkan tidak perlu ada golongan, SKM ya SKM saja, SPM ya SPM saja, kemudian SKT dan SPT dinaikkan," jelasnya.

    "Karena sekarang banyak sekali rokok-rokok SKT, keretek tangan yang itu ilegal, bahkan tidak ada cukainya itu ya, itu banyak menjamur pabrik-pabrikannya. Ini karena sangat rendahnya cukai yang dipetapkan oleh pemerintah," imbuhnya.

    Penolakan Kenaikan CHT

    Diberitakan sebelumnya, aturan baru perihal zona rokok yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan mendapat reaksi keras dari kalangan pedagang. Mereka khawatir kebijakan ini akan mengurangi pendapatan, terutama dengan adanya pembatasan jarak penjualan produk tembakau yang tidak boleh berdekatan dengan sekolah atau area bermain anak. Kelompok pemilik warung kecil dan toko kelontong sepakat menolak aturan tersebut karena dianggap merugikan.

    Ketua Umum Asosiasi Pasar Rakyat Seluruh Indonesia (Aparsi), Suhendro, mengatakan penetapan jarak dan radius tersebut tidak memiliki dasar yang jelas. Ia pun menyatakan pihaknya menolak tegas kebijakan ini.

    “Karena itu pasti membuat pendapatan pendagang menurun,” kata Suhendro dalam keterangannya, Jumat, 13 September 2024.

    Suhendro juga menekankan dalam kondisi ekonomi yang melemah, pemerintah perlu meninjau kembali aturan ini. Menurutnya, sejak awal penyusunan Undang-Undang Kesehatan dan peraturan turunannya selalu memunculkan perdebatan karena tidak melibatkan pemangku kepentingan.

    “Jika terus dipaksakan, peraturan ini akan menjadi beban bagi pemerintahan baru dan bertentangan dengan visi presiden serta wakil presiden terpilih,” katanya.

    Sebelumnya, Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) memandang penerapan PP Kesehatan ini dapat menyebabkan kerugian ekonomi hingga Rp200 triliun per tahun. Ketua Umum Gaprindo, Benny Wahyudi, mengatakan beberapa aturan dalam PP Kesehatan merugikan pelaku usaha di industri rokok, terutama pelarangan penjualan rokok di radius 200 meter dari tempat pendidikan atau area bermain anak.

    “Kasarnya Rp150 triliun hingga Rp200 triliun kerugian pertahun apabila PP itu diberlakukan, karena itu menyangkut periklanan terdampak, media streaming, ritel juga barang tentu,” klaim Benny dalam diskusi di Kompleks Parlemen Senayan.

    Tuntutan Petani Cengkeh

    Petani cengkeh semakin lantang menyuarakan tuntutan mereka agar diakui dalam alokasi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT). Keluhan ini muncul karena mereka merasa diabaikan, meskipun cengkeh merupakan komponen penting dalam produksi rokok kretek yang menjadi objek cukai utama.

    Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJSUI) pada 2020 menunjukkan bahwa kesejahteraan petani tembakau, terutama petani swadaya, masih belum tercapai. Salah satu penyebab utama adalah ketidakberdayaan mereka dalam rantai tata niaga tembakau.

    Penelitian lebih lanjut pernah dilakukan Wakil Dekan Fakultas Ekonomi Bisnis UGM, Gumilang Aryo Sahadewo, dan timnya pada 2016 dan 2021. Mereka menemukan bahwa pendapatan petani tembakau cenderung lebih bergejolak dibandingkan dengan petani non-tembakau.

    Riset senada dilakukan oleh Muhammadiyah Tobacco Control Center pada Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Penelitian mereka mengungkapkan, di Jawa Tengah, salah satu provinsi penghasil tembakau terbesar di Indonesia, kesejahteraan petani tembakaunya masih rendah. Berbagai faktor mempengaruhi produksi tembakau di daerah ini. Hasil penelitian lembaga riset Muhammadiyah ini menunjukkan hampir 90 persen petani tembakau di Temanggung menyatakan sistem tata niaga yang ada kurang berpihak pada mereka.

    Menanggapi hal itu, Anggota Komisi XI DPR RI, Didi Irawadi Syamsuddin, mengatakan hasil studi dari Universitas Indonesia tersebut menunjukkan adanya permasalahan serius yang perlu segera diatasi dalam ekosistem bisnis tembakau.

    “Studi dari Universitas Indonesia yang menyimpulkan bahwa petani tembakau yang merupakan penerima satu-satunya dari hasil cukai tersebut belum sejahtera menunjukkan adanya permasalahan yang perlu diperhatikan oleh pemerintah,” kata Didi kepada KabarBursa.com, Sabtu, 15 Juni 2024.

    Didi mengusulkan sejumlah langkah untuk memastikan petani cengkeh juga dapat menikmati manfaat dari DBH CHT. Ia menekankan pentingnya evaluasi kebijakan saat ini untuk mencakup petani cengkeh.

    “Pemerintah dapat melakukan evaluasi terhadap kebijakan DBH CHT untuk memastikan bahwa alokasi anggaran tersebut mencakup petani cengkeh dan memenuhi kebutuhan mereka,” kata politikus Partai Demokrat ini.(*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    KabarBursa.com

    Redaksi