Logo
>

Akibat Kurang Pengawasan, Kualitas Pertamax Dipertanyakan

Ditulis oleh Ayyubi Kholid
Akibat Kurang Pengawasan, Kualitas Pertamax Dipertanyakan

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Pertamax merupakan bahan bakar minyak (BBM) yang diproduksi Pertamina dengan angka oktan 92. Berbeda dengan BBM subsidi, Pertalite, yang oktannya 90. Angka oktan yang lebih tinggi pada umumnya membuat kualitas BBM lebih baik.

    Namun, klaim ini dipertanyakan oleh pengamat otomotif Rija A. Menurut dia, klaim tersebut sepenuhnya berasal dari Pertamina, sementara publik (konsumen) tidak memiliki cara untuk melakukan verifikasi secara independen.

    “Dengan angka oktan tersebut apakah sesuai dengan realitas yang disalurkan ke publik? Ini yang kita tidak tahu. Itu kata Pertamina saja, kita enggak tahu realitasnya,” Rija kepada Kabar Bursa, Rabu, 25 September 2024.

    Pertanyaan itu bukan tanpa dasar. Rija menyoroti keluhan dari sebagian besar konsumen yang merasa meski menggunakan Pertamax, mereka tidak merasakan perbedaan signifikan dalam performa kendaraan.

    “Banyak konsumen yang merasakan, kok beli Pertamax sama-sama saja, enggak ada bedanya tetap boros, tenaga juga enggak bagus-bagus banget, sama aja,” ujarnya.

    Keluhan-keluhan ini mendorong sebagian masyarakat untuk beralih ke bahan bakar alternatif dari perusahaan internasional yang mereka anggap lebih dapat dipercaya.

    Menurut Rija, peralihan banyak konsumen yang kini memilih bahan bakar dari merek internasional karena percaya dengan kualitas yang dihasilkan. Semisal dengan angka oktan 92 yang konsisten dan brand image yang kuat, produk-produk internasional tersebut dinilai lebih unggul.

    “Itu konsumen yang membuat komentar. Akibatnya, banyak konsumen beralih ke produk internasional yang brand image-nya bagus, sehingga orang percaya dengan kualitasnya meski sama-sama Oktan 92. Ini kan masalah kepercayaan publik. Seperti itulah kira-kira,” jelas Rija.

    Oleh karena itu, Rija menegaskan, penting diperjelas siapa yang bertanggung jawab untuk memastikan kualitas bahan bakar di lapangan. Ia mempertanyakan apakah ada mekanisme pemantauan dan pengawasan dari pihak independen untuk memastikan klaim Pertamina benar-benar sesuai dengan kenyataan.

    “Jadi menarik untuk dibahas siapa yang bertanggung jawab terhadap kualitas di lapangan, mekanismenya seperti apa, ada pengecekkan oleh pihak independen atau tidak. Kalau hanya Pertamina sendiri yang klaim, Itu bisa saja karang-karangan mereka. Faktanya, tidak sedikit konsumen mengeluhkan kualitas Pertamax,” tuturnya.

    Menurut Rija, ada potensi penyimpangan yang mungkin terjadi dalam distribusi Pertamax di lapangan. Menurutnya, di Indonesia, berbagai penyimpangan bisa saja terjadi, termasuk dalam hal kualitas bahan bakar yang disalurkan ke konsumen.

    Ia mengungkapkan bahwa meskipun Pertamax dipublikasikan memiliki nilai Oktan 92, faktanya di beberapa daerah, BBM tersebut yang didistribusikan tidak sesuai dengan spesifikasi tersebut.

    “Misalnya, ketika dipublikasikan, Pertamax disebut nilai oktannya sekian, kandungannya sekian. Tetapi faktanya yang disebarkan, yang didistribusikan di suatu provinsi tidak seperti itu,” jelasnya.

    Dia curiga, praktik-praktik seperti ini terjadi karena justru Pertamina tidak merealisasikan spesifikasi yang telah ditetapkan. Kedua, ada potensi kenakalan dari pihak Stasiun Pengisian Bahan Bakar (SPBU). Dalam hal ini mencampur Pertalite dengan bahan lain dan memberikan pewarna agar terlihat mirip dengan Pertamax.

    "Karena kan beda harganya cukup signifikan. Bisa jadi ada oknum yang mengoplos dengan tujuan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya,” kata Rija.

    Lebih lanjut dia menjelaskan secara detail, perbedaan harga antara Pertalite yang dibanderol Rp10.000 dan Pertamax yang dihargai Rp12.500 bisa menciptakan peluang bagi oknum SPBU untuk mengoplos Pertalite dengan pewarna agar terlihat seperti Pertamax. Dengan begitu, oknum tersebut bisa menjual campuran tersebut dengan harga Pertamax, dan mengambil margin keuntungan sebesar Rp2.500 per liter.

    “Kalau kita bicara kemungkinan-kemungkinan bisa saja terjadi. Semuanya bisa terjadi,” imbuhnya.

    Namun, dia menegaskan, kemungkinan-kemungkinan itu masih dugaan dan memerlukan pembuktian di lapangan. Walaupun berpotensi terjadi penyimpangan tetap harus dibuktikan dan dibutuhkan mekanisme pemantauan yang lebih ketat

    “Itu sangat mungkin terjadi, tapi butuh pembuktian. Potensi penyimpangan itu sangat mungkin terjadi ketika ada disparitas harga,” pungkas Rija.

    Mengandung Sulfur Tinggi, Pertamax tak Ramah Lingkungan?

    Sebelumnya diberitakan, Pertamax disebut sebagai salah satu bahan bakar minyak (BBM) mengandung sulfur yang sangat tinggi. Hal tersebut membuat Pertamax menjadi BBM nonsubsidi dengan harga mahal dan tidak dapat dikatakan sebagai bahan bakar ramah lingkungan.

    Padahal, Pertamina menggadang-gadang Pertamax lebih baik dari Pertalite.

    Selain kandungan oktanya yang lebih tinggi, sulfur di Pertamax juga lebih rendah Pertalite dan membuatnya lebih ramah lingkungan.

    Sulfur sendiri merupakan unsur kimia nonlogam poliatomik yang diidentifikasi huruf S dengan nomor atom 16.

    Orang Indonesia menyebut sulfur dengan sebutan belerang. Warna belerang adalah kuning terang dengan bau khas semacam telur busuk.

    Aslinya, bentuk sulfur berupa padatan rapuh, tidak berbabu, tidak ada rasanya, dan berwarna kuning pecat. Sulfur sensitif dengan berbagai jenis logam, kecuali emas dan platinum.

    Pengolahan sulfur ditujukan untuk menghasilkan asam sulfat bagi kebutuhan industri. Sementara untuk industri, sulfur penting untuk produksi minyak bumi atau bahan bakar fosil termasuk bensin dan juga diesel. Setiap bahan bakar biasanya mengandung sulfur.

    Kandungan sulfur yang masih tinggi pada BBM jenis Pertamax ini menjadi salah satu alasan kenapa Pertamax masih dikatakan sebagai BBM yang tidak ramah lingkungan. Salah satu yang bisa dirasakan dampaknya bagi pemilik kendaraan adalah konsumsi BBM mereka terasa lebih boros.

    BBM yang masih tinggi kandungan sulfur atau bisa dikatakan BBM yang kotor, akan menghambat proses pembakaran. Hal ini menyebabkan untuk mendapatkan kinerja optimal pembakaran, jadi dibutuhkan lebih banyak BBM dari biasanya. Makanya jadi terasa boros.

    Selain bagi kendaraan, dampak BBM yang kotor juga tak bagus bagi lingkungan. Dilansir dari laman EPA, emisi sulfur memiliki banyak efek negatif terhadap lingkungan dan kesehatan manusia.

    Pertama, sulfur dioksida, kandungan yang bisa terdapat dalam emisi sisa pembakaran dapat merusak tanaman dan pohon, sehingga menghambat pertumbuhan. Emisi sulfur juga dapat berkontribusi terhadap hujan asam yang dapat membahayakan ekosistem yang sensitif.

    Selain itu, pengendapan sulfur atmosfer dapat mengubah kimia air, yang dapat mempengaruhi tanaman air dan hewan. Dan, pengendapan sulfur atmosfer dapat mengubah kimia tanah, yang dapat mengubah mikroorganisme, tanaman, dan pohon.

    Sedangkan, bagi manusia dampak negatifnya dapat mengiritasi kulit dan selaput lendir mata, hidung, tenggorokan, dan paru-paru. Hal ini juga dapat memperburuk serangan asma dan penyakit jantung yang ada.

    Beberapa sumber emisi sulfur meliputi pembangkit listrik, boiler komersial dan kelembagaan termasuk mesin pembakaran internal, manufaktur, dan proses industri seperti penyulingan minyak bumi dan pengolahan logam.

    Tanggapan Pertamina

    Pertamax disebut sebagai salah satu BBM kotor. Bagaimana penjelasan dari Pertamina?

    Untuk diketahui, Pertamax merupakan salah satu jenis BBM yang memiliki oktan 92. Angka oktan yang lebih tinggi itu umumnya membuat kualitas BBM lebih baik. Tapi, untuk menentukan suatu BBM dapat dikatakan berkualitas faktornya tidak hanya oktan. Kandungan sulfur juga berpengaruh.

    Dengan begitu, meski kadar oktannya tinggi, namun jika kandungan sulfurnya tinggi, maka BBM tersebut masih terhitung kotor.

    “Kalau lihat kualitas BBM, orang berpikir tergantung RON saja, sebenarnya yang jadi isu kan sulfurnya. Karena kalau sulfur tinggi, teknologi mesin untuk mengurangi polusi tidak bekerja,” kata Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kemenko Kemaritiman dan Investasi Rachmat Kaimuddin.

    Kemudian, dia menyinggung soal oktan Pertamax yang lebih tinggi dari Pertalite, namun kandungan sulfurnya tak berbeda jaug. Kata Rachmat, standar sulfur internasional adalah 50 ppm atau lebih rendah. Nyatanya, kandungan sulfur pada Pertalite dan Pertamax jauh di atas itu.

    Rachmat menjelaskan, sulfur yang terdapat pada Pertalite 500 ppm, sedangkan pada Pertamax 400 ppm.

    “Biosolar itu sulfurnya 250 ppm, Pertalite 500 ppm, kemudian Pertamax 400 ppm. Ini yang saat ini tersedia (di SPBU). Pemerintah harusnya bisa membantu Pertamina untuk menyediakan BBM lebih bersih,” jelas Rachmat.

    Mengenai tingginya kandungan sulfur pada Pertamax, Corporate Secretary Pertamina Patra Niaga, Heppy Wulansari, menjelaskan batas maksimal kandungan sulfur Pertamax masih sesuai aturan pemerintah.

    Untuk diketahui, batas kandungan maksimal sulfur yang ditetapkan Ditjen Migas pada BBM RON 92 adalah 400 ppm.

    Kata Heppy lagi, hasil kandungan sulfur dalam Pertamax dapat dilihat dari hasil uji kualitas yang pernah dilakukan Balai Besar Pengujian Minyak dan Gas Bumi (BBPMGB) Lemigas Ditjen Migas Kementerian ESDM. Diungkap Heppy kandungan sulfur Pertamax di bawah 400 ppm.

    “Kami pastikan seluruh produk BBM Pertamina memenuhi ketentuan yang berlaku. Bahkan kandungan sulfur Pertamax masih jauh di bawah 400 ppm, masyarakat tidak perlu khawatir dengan kualitas Pertamax,” ucap Heppy.

    Selain itu, lanjut Heppy, ada juga ketentuan Internasional terkait standar kandungan sulfur dalam BBM. Dalam hal ini berdasarkan standar Euro 4, kandungan sulfur dalam BBM tidak boleh lebih dari 50 ppm.

    “Produk Pertamina Dex, Pertamax Turbo dan Pertamax Green 95 sudah lama tersedia di SPBU. Ketiganya merupakan BBM dengan standar Euro 4 dan kandungan sulfur 50 ppm. Silakan masyarakat menentukan pilihan BBM yang diinginkan,” pungkas Heppy. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Ayyubi Kholid

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.