KABARBURSA.COM - Guru Besar Fakultas Ekonomi (FE) Universitas Indonesia (UI) Prof Rhenald Kasali mengungkapkan alasan mengapa kalangan Gen Z enggan untuk bekerja di perusahaan yang tidak mengimplementasikan ESG dalam proses bisnisnya.
Alasannya, mereka meyakini adalah pihak yang akan paling terdampak.
"Mereka merasa yang paling terdampak. Mereka inginnya work life balance," kata Rhenald Khasali di Jakarta, Rabu, 21 Agustus 2024.
Dia mengungkapkan, saat ini kalangan Gen Z menginginkan sistem kerja yang seimbang. Bagi mereka, perusahaan yang menerapkan konsep ESG dalam bisnis merupakan hal utama.
"Terbayangkan, kamu bisa work life balance atau tidak, kalau hidup kamu dikelilingi beton-beton," ujarnya.
"Ditambah lagi pohon enggak ada. Sekarang Gen Z maunya jalan-jalan melihat pohon, gunung dan laut," sambung Rhenald Kasali.
Dia pun menekankan, saat ini para Gen Z memimpikan sistem kerja yang lebih independen, dengan lingkungan yang dibangun.
"Jadi, jangan cuma gedungnya aja dibangun, tapi juga environment atau lingkungannya," tuturnya.
Sementara itu, Chairwoman of Indonesia Corporate Secretary Association (ICSA) sekaligus Head of Sustainability & Corporate Secretary Bank Permata Tbk Katharine Grace mengatakan saat ini banyak Gen Z yang enggan bekerja di perusahaan yang tidak mengimplementasikan ESG.
Menurut Katharine, pelaksanaan sustainability yang dilakukan oleh korporasi, memiliki banyak dampak positif. Seperti, meningkatkan kompetitif perusahaan, karena sekarang perusahaan-perusahaan yang melaksana sustainability dengan baik atau ESG ratingnya baik sehingga lebih diperhatikan atau diminati oleh investor.
"Sekarang Gen Z, apabila mereka ingin mencari pekerjaan, tentu mereka melihat bagaimana peraksanaan sustainability di perusahaan tersebut," kata Katharine.
Gen Z Kuasai Pasar Modal di Sumut
Sementara itu, PT Bursa Efek Indonesia (BEI) Kantor Perwakilan Sumatera Utara (Sumut) menyebut investor pasar modal saham Sumut didominasi oleh Generasi Z dengan jumlah identitas tunggal investor (single investor identification) kelompok tersebut mencapai 92.872 rekening per 31 Juli 2024.
Kepala Kantor Perwakilan BEI Sumut M Pintor Nasution mengatakan, pergeseran usia investor saham ke generasi yang lebih muda yakni mereka yang berusia 18 sampai dengan 25 tahun terjadi kurang lebih sejak tiga tahun lalu.
"Hal ini karena teknologi. Untuk membuka rekening baru, bertransaksi, sekarang bisa dilakukan dari handphone. Yang bisa mengakses itu dengan tepat, bisa dibilang adalah Gen Z. Jadi, memang di usia mereka yang paling banyak," kata Pintor, Kamis, 22 Agustus 2024.
Data BEI Sumatera Utara mencatat, jumlah investor saham per 31 Juli 2024 sebanyak 273.318 SID.
Dari jumlah tersebut, investor berusia 18-25 tahun menduduki posisi pertama pasar modal (saham) Sumut dengan jumlah SID sebanyak 92.872. Disusul usia 26-30 tahun dengan 64.258 rekening SID.
Sedangkan investor usia 31-40 tahun menduduki posisi ketiga, sebanyak 65.101 rekening. Terakhir, usia 40-100 tahun sebanyak 50.152 rekening SID.
Dari kategori pekerjaan, pegawai swasta dan pengusaha, disebut Pintor, menjadi yang paling banyak bermain saham. Jumlah investor saham Sumut dari pegawai swasta mencapai 97.070 rekening SID, sedangkan SID dengan latar belakang pengusaha tercatat 61.820.
Adapun total aset saham investor di Sumut per 1 April 2024 mencapai Rp21 triliun. Sementara aset non saham baik berupa reksa dana, obligasi, Exchange Traded Fund (ETF), maupun surat berharga derivatif di Sumut mencapai Rp18,26 triliun.
Kata Pintor, ada perlambatan dalam penambahan investor saham yang tercatat BEI di Sumut. Dia menyebut tantangan pihaknya saat ini tak hanya investasi bodong, namun juga judi online dan pinjaman online ilegal.
Kondisi itu menurutnya disambut dengan pola pikir gen Z yang cenderung menyukai sesuatu yang instan.
Pintor mengatakan pihaknya terus melakukan literasi pasar modal hingga ke daerah-daerah di Sumut. Hal ini untuk mencegah masyarakat menginvestasikan uang ke lahan yang tidak tepat.
BEI pun saat ini telah memiliki 20 Galeri Investasi di sejumlah kampus di Sumut. Galeri tersebut selayaknya kelompok studi yang mendukung literasi pasar modal kepada masyarakat khususnya mahasiswa.
"Kami mengingatkan mereka agar jangan mudah tergiur hasil yang instan dan memberikan return yang tidak masuk akal. Kalau memang belum siap berinvestasi, mending ditabung dulu saja," ujarnya.
Gen Z dan Gen Alpha Paling Terdampak Perubahan Iklim
Sementara itu, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menyebut Gen Z dan Gen Alpha merupakan kelompok yang akan paling terdampak akibat perubahan iklim, sehingga penting untuk melakukan aksi-aksi nyata dalam pencegahan perubahan iklim.
Menurut Dwikorita, fenomena perubahan iklim semakin mengkhawatirkan serta memicu dampak yang lebih luas. Hal itu terlihat dari berbagai peristiwa alam terkait iklim, dari suhu udara yang lebih panas, terganggunya siklus hidrologi, hingga maraknya bencana hidrometeorologi di berbagai belahan dunia. Maka dari itu, seluruh generasi harus saling berkolaborasi untuk menahan laju perubahan iklim.
"Generasi Z dan Alpha akan menjadi generasi yang paling merasakan dampak dari perubahan iklim. Karenanya, saya yakin, anak-anak muda yang jumlahnya mendominasi penduduk Indonesia bisa memberikan dampak signifikan terhadap aksi perubahan iklim," ujar Dwikorita, di Festival Aksi Iklim dan Workshop Iklim Terapan, Kamis, 22 Agustus 2024.
Dwikorita menegaskan, bahwa perubahan iklim global bukanlah kabar bohong (hoaks) dan prediksi untuk masa depan, melainkan realitas yang di hadapi miliaran jiwa penduduk bumi.
Katanya melanjutkan, Badan Meteorologi Dunia (WMO) baru saja menyatakan 2023 tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang pengamatan instrumental. Anomali suhu rata-rata global mencapai 1,45 derajat Celcius di atas zaman praindustri.
Angka tersebut nyaris menyentuh batas yang disepakati dalam Paris Agreement 2015 bahwa dunia harus menahan laju pemanasan global pada angka 1,5 derajat Celcius.
Pada 2023, terjadi rekor suhu global harian baru dan terjadi bencana heat wave ekstrem, yang melanda berbagai kawasan di Asia dan Eropa.
Dwikorita mengungkapkan BMKG sendiri memproyeksi suhu udara di Indonesia akan melompat naik hingga 3,5 derajat Celcius dibandingkan zaman praindustri pada 2100 mendatang apabila aksi mitigasi iklim gagal dilakukan.
Sementara WMO menyebut 2050 mendatang, dalam skenario terburuk, negara-negara di dunia akan menghadapi tidak hanya bencana hidrometeorologi, namun juga kelangkaan air yang berakibat pada krisis pangan.
"Jika melihat tahun tersebut, dapat dipastikan Generasi Z dan Alpha lah yang akan paling merasakan," tegas Dwikorita. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.