KABARBURSA.COM - Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APBBI) berharap wacana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen pada 2025 ditunda karena hal ini bisa membuat daya beli masyarakat menurun. Ketua Umum APPBI, Alphonzus Widjaja mengatakan kenaikan PPN bisa berdampak ke harga jual. Alhasil, dalam hal ini yang paling terkenal efeknya adalah masyarakat menengah ke bawah.
"Kami berharap ini (Kenaikan PPN) ditunda karena kenaikan PPN ini pasti akan berdampak ke harga jual, kalau harga jual naik, yang paling berdampak adalah kelas menengah ke bawah," ujar dia kepada media di gedung Kementerian Perdagangan, Jakarta, Selasa, 30 Juli 2024.
Dengan terdampaknya kalangan menengah ke bawah, Alphonzus berpandangan bahwa ini akan berimbas pada menurunnya daya beli masyarakat.
Tak hanya PPN, Alphonzus juga berharap pemerintah untuk menunda asuransi wajib third party liability (TPL) untuk kendaraan. Senada dengan sebelumnya, ia menyebut kebijakan ini akan menurunkan daya beli masyarakat menengah ke bawah.
Alphonzus paham betul pemerintah perlu pendapatan negara. Namun, kata dia, caranya bukan dengan menaikan tarif.
Di sisi lain, dia pun mengapresiasi pemerintah terkait penurunan pajak daerah di sektor seperti wahana permainan anak hingga hiburan. Menurutnya, hal ini meningkatkan transaksi pelaku usaha.
"Kami apresiasi pemerintah ada beberapa pajak daerah yang diturunkan misalnya wahana permainan anak dan hiburan, yang biasa dari 25 persen sekarang turun maksimal 10 persen. Ternyata ini meningkatkan transaksi banyak pelaku usaha baru yang berbisnis ke wahana permainan anak sehingga transaksinya berlipat," ujar dia.
Sementara itu diberitakan sebelumnya, Ekonom senior Faisal Basri menekankan bahwa rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025 perlu ditunda. Meski diakuinya, penundaan tersebut bisa menyebabkan defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semakin besar.
Meski begitu, kata Faisal Basri, penundaan tetap dilakukan untuk meringankan beban masyarakat.
Faisal menekankan bahwa pemerintah sebaiknya mencari cara lain untuk meningkatkan penerimaan negara tanpa membebani rakyat.
“Saya kira penundaan ini wajib dilakukan, meskipun ada risiko defisit yang makin melebar,” kata Faisal Basri di Gedung DPR RI, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu, 10 Juli 2024.
Ia menilai bahwa kenaikan PPN adalah langkah cepat pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara, namun belum memaksimalkan potensi penerimaan dari Pajak Penghasilan (PPh) Badan.
“PPN memang yang paling mudah diterapkan, berbeda dengan PPh yang sering kali dihindari,” ujarnya.
Faisal juga mempertanyakan prioritas pemerintah dalam hal perpajakan. Menurutnya, pemerintah cenderung memberikan banyak insentif kepada korporasi besar dan masyarakat kelas atas, sementara beban kenaikan PPN justru dibebankan kepada seluruh rakyat.
“Banyak subsidi yang diberikan, seperti untuk mobil listrik yang mencapai Rp40 juta per mobil. Tetapi PPN yang berdampak pada semua lapisan masyarakat malah dinaikkan. Dimana rasa keadilannya?” tegas Faisal.
Dia menegaskan bahwa kenaikan PPN akan berdampak langsung pada seluruh masyarakat, dan mempertanyakan prinsip keadilan pemerintah dalam kebijakan perpajakan.
“Demi investasi, pemerintah seakan menutup dan gelap mata,” tukasnya.
Sementara Bank Dunia atau World Bank sempat menyoroti rencana pemerintah untuk meningkatkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen pada tahun 2025.
Kebijakan ini diperlukan sebagai implementasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), yang telah disahkan untuk meningkatkan pendapatan negara dan memperbaiki struktur pajak secara keseluruhan.
Meski belum ada kesepakatan mengenai kelanjutan kebijakan ini di pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, Bank Dunia menganggap kenaikan tarif pajak sebagai langkah untuk mendorong reformasi dari perspektif perancangan kebijakan.
Namun, mereka menekankan perlunya langkah-langkah tambahan untuk memperluas basis pajak dan meningkatkan kepatuhan agar kebijakan ini dapat memberikan dampak yang signifikan.
Tanpa langkah-langkah tersebut, Bank Dunia menilai bahwa kenaikan tarif pajak tersebut tidak akan mencapai tujuannya secara optimal.
“Dampak kenaikan tarif PPN akan terhambat oleh basis pajak yang sempit dan rendahnya kepatuhan pajak. Reformasi yang dimulai melalui Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) pada tahun 2021 dapat diperkuat dengan langkah-langkah jangka pendek dan menengah,” demikian rilis Indonesia Economic Prospects (IEP) edisi Juni 2024, yang dikutip, Senin, 1 Juli 2024.
Untuk jangka pendek, Bank Dunia merekomendasikan reformasi ini dapat dilengkapi dengan menetapkan ambang batas pajak yang lebih rendah, menghapus pengecualian pajak yang ada, serta memperbaiki mekanisme audit untuk meningkatkan kepatuhan pajak.
Sedangkan, untuk jangka menengah, ada opsi untuk meningkatkan pengumpulan pajak dengan meningkatkan akses dan ketersediaan data dari pihak ketiga untuk mengawasi dan mengonfirmasi pendapatan, serta usaha untuk mengatur ulang perekonomian informal.(*)