Logo
>

Asosiasi Tekstil Bicarakan Realitas Kelonggaran Produk Impor

Ditulis oleh Dian Finka
Asosiasi Tekstil Bicarakan Realitas Kelonggaran Produk Impor

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Redma Gita Wirawasta, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI), mengatakan bahwa Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 perlu direvisi.

    Alasannya adalah relaksasi impor yang diatur dalam kebijakan tersebut akan menyebabkan banjir produk impor, yang dapat mengancam daya saing industri lokal, terutama tekstil dan produk tekstil (TPT). Namun ini tidak terbatas pada industri sektor tersebut.

    "Masalah yang dihadapi bukan hanya pada sektor tekstil, tetapi juga sektor-sektor lain dalam industri manufaktur, seperti sepatu, elektronik, furniture, dan baja. Pasar domestik saat ini dibanjiri produk-produk impor, baik yang legal maupun ilegal. Jika kita tidak menyelesaikan masalah ini, industri manufaktur kita akan semakin sulit bersaing," ujar Redma kepada Kabarbursa.com, Senin, 28 Oktober 2024.

    Menurut Redma, kondisi ini tidak hanya disebabkan oleh kebijakan industri, tetapi juga oleh kebijakan pasar yang terlalu terbuka.

    Sementara negara lain sedang memperketat aturan impor untuk melindungi pasar domestik mereka, Indonesia justru tetap membuka pintu bagi produk impor, yang berpotensi membahayakan kelangsungan industri lokal.

    Ia juga mencatat bahwa perlindungan pasar domestik sangat penting untuk memastikan keberlangsungan industri manufaktur.

    "Kita perlu memberikan kepastian pasar terlebih dahulu sebelum fokus pada daya saing untuk ekspor. Jika pasar domestik kita tidak stabil, sulit bagi industri untuk berkembang," tambahnya.

    Redma mengungkapkan bahwa untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dicanangkan oleh Presiden Prabowo Subianto, industri manufaktur harus tumbuh rata-rata 10 persen.

    "Industri manufaktur adalah pendorong utama yang akan menggerakkan sektor-sektor lain seperti perdagangan, logistik, dan keuangan. Tanpa pertumbuhan yang kuat di sektor ini, target pertumbuhan ekonomi nasional akan sulit dicapai," katanya.

    Ia juga menekankan bahwa insentif dan kebijakan pajak yang diberikan oleh pemerintah akan lebih efektif jika didukung dengan perlindungan pasar yang kuat.

    "Investasi akan masuk jika ada kepastian pasar. Saat ini, perbankan enggan membiayai industri yang tidak memiliki pasar yang jelas. Dengan perlindungan yang tepat, industri tidak hanya akan pulih, tetapi juga mampu tumbuh dan memberikan lapangan kerja," tutup Redma.

    Raksasa Tekstil Sritex Pailit

    Baru-baru ini, PT Sri Rejeki Isman Tbk atau yang lebih dikenal dengan Sritex (SRIL), resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang setelah bertahun-tahun bergelut dengan masalah utang yang menggunung. Keputusan ini menjadi akhir dari salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, yang sebelumnya berperan penting dalam industri tekstil domestik maupun internasional.

    Keputusan pailit ini ditetapkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga Semarang yang dipimpin oleh Hakim Ketua Moch Ansar pada Kamis, 24 Oktober 2024. Majelis Hakim memutuskan untuk menerima permohonan pemohon, yaitu PT Indo Bharat Rayon, dan menyatakan SRIL serta beberapa anak perusahaannya, seperti PT Sinar Pantja Djaja, PT Bitratex Industries, dan PT Primayudha Mandirijaya, pailit. Keputusan ini tertuang dalam perkara dengan nomor 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg.

    Dasar dari keputusan ini adalah kelalaian SRIL dalam memenuhi kewajibannya kepada pemohon berdasarkan Putusan Homologasi pada 25 Januari 2022. Putusan tersebut menyatakan bahwa SRIL tidak mampu memenuhi perjanjian perdamaian terkait restrukturisasi utangnya yang disepakati pada putusan Pengadilan Niaga Semarang Nomor 12/Pdt.Sus-PKPU/2021.PN.Niaga.Smg.

    Sebelum putusan pailit ini, SRIL sebenarnya telah berusaha keras untuk mengatasi krisis keuangan yang menjeratnya. Pada Januari 2022, perusahaan berhasil mencapai kesepakatan melalui Putusan Homologasi yang memungkinkan restrukturisasi utang perusahaan dengan tujuan menjaga stabilitas bisnis dan memenuhi kewajiban keuangan.

    Salah satu langkah yang diambil manajemen SRIL adalah menjaminkan aset-aset perseroan senilai Rp13,27 triliun. Namun, meskipun langkah ini diambil, masalah utang terus menghantui perusahaan.

    SRIL juga mengumumkan rencana untuk mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada 18 September 2024, di mana mereka akan meminta persetujuan pemegang saham untuk penjaminan lebih dari 50 persen aset Grup Perseroan. Hal ini dilakukan untuk memastikan bahwa perusahaan dapat memenuhi kewajiban yang diatur dalam putusan homologasi.

    Industri TPT Perlu Ditolong

    Wakil Menteri Perindustrian (Wamenperin) Faisol Riza mengatakan pemerintah serius menyoroti krisis di sektor TPT ini dan akan segera mengambil kebijakan strategis untuk membantu industri TPT pulih. Tujuannya, agar perusahaan-perusahaan di sektor tersebut tidak lagi melakukan PHK massal terhadap para pekerjanya.

    Kemenperin mengungkap gelombang PHK di industri TPT telah mempengaruhi lebih dari 11.000 pekerja dari enam perusahaan besar. Beberapa perusahaan yang terdampak termasuk PT Dupantex di Jawa Tengah yang melakukan PHK terhadap 700 karyawan, PT Alenatex di Jawa Barat dengan 700 PHK, dan PT Kusumahadi Santosa di Jawa Tengah yang merumahkan 500 pekerjanya.

    Kasus PHK terbesar terjadi di PT Sai Apparel di Jawa Tengah, yang terpaksa memutus hubungan kerja dengan lebih dari 8.000 karyawan.

    Sementara itu, kontraksi di sektor manufaktur, khususnya industri tekstil, makin diperparah oleh tingginya biaya logistik dan harga bahan baku yang terus meningkat. Kondisi ini menjadi tantangan utama yang dihadapi oleh pelaku usaha, yang memaksa mereka untuk melakukan efisiensi dan restrukturisasi biaya.

    Dalam menghadapi krisis ini, Faisol menegaskan bahwa Kemenperin akan segera mengambil langkah konkret untuk menghidupkan kembali sektor TPT dan mencegah lebih banyak PHK. Salah satu langkah utama yang akan diambil adalah pemberian insentif bagi pelaku usaha di industri TPT.

    Insentif yang diusulkan tidak hanya berupa bantuan langsung, tetapi juga fokus pada pengurangan biaya-biaya yang membebani perusahaan, seperti biaya logistik dan harga bahan baku.

    Pemerintah menyadari bahwa biaya tinggi dalam proses produksi menjadi salah satu penyebab utama kesulitan di sektor ini. Oleh karena itu, menurunkan biaya logistik dan memastikan akses yang lebih terjangkau terhadap bahan baku akan menjadi prioritas dalam kebijakan pemerintah. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.