Logo
>

Batu Bara dan Minyak di China Membludak, Sinyal Apa?

Ditulis oleh Yunila Wati
Batu Bara dan Minyak di China Membludak, Sinyal Apa?

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Persediaan berbagai komoditas bahan baku utama, seperti batu bara dan minyak, di China saat ini menumpuk. Aktivitas yang tidak biasa ini menandakan bahwa ekonomi Negeri Panda masih menghadapi kelemahan signifikan. Surplus pasokan ini telah mempengaruhi harga baja hingga kedelai, menunjukkan tantangan besar bagi sektor-sektor terkait.

    Target pertumbuhan ekonomi pemerintah China untuk tahun ini semakin terlihat sulit dicapai. Ini adalah berita buruk bagi para pengebor, penambang, dan petani yang mengandalkan China sebagai salah satu importir komoditas terbesar di dunia.

    Tumpukan persediaan ini bisa jadi mengindikasikan bahwa beberapa pedagang terjebak oleh kinerja ekonomi yang lesu pasca-pandemi. Selain itu, ada kemungkinan bahwa pergeseran China dari ekonomi lama ke ekonomi baru belum sepenuhnya dipahami oleh pasar.

    Namun, penumpukan komoditas juga menunjukkan strategi Beijing dalam menjaga pasokan bahan baku tetap stabil. Bahkan saat ekonomi dalam keadaan tidak bergairah, China tetap menyimpan cadangan dalam jumlah besar. Penelitian JPMorgan Chase & Co. mengungkapkan bahwa China menyimpan lebih dari 90 persen persediaan tembaga dunia, hampir seperempat dari minyak mentah global, dan lebih dari setengah tanaman pokok seperti jagung dan gandum.

    Meskipun konsumsi dan aktivitas industri di China mungkin melemah, langkah importir milik negara untuk memastikan cadangan tetap memadai menunjukkan bahwa mereka lebih fokus pada stabilitas jangka panjang ketimbang fluktuasi harga jangka pendek.

    Ketakutan China

    Ketakutan akan kekurangan listrik pada 2021 dan 2022 memicu China untuk meningkatkan perhatian pada keamanan energi, terutama terkait batu bara, bahan bakar andalannya. Sebagai respons, Beijing memperbesar produksi dan impor batu bara hingga mencapai level rekor.

    Namun, upaya tersebut bertepatan dengan penurunan permintaan industri dan lonjakan dalam pembangkitan energi bersih yang kini mendominasi hampir seluruh pertumbuhan konsumsi energi negara tersebut. Akibatnya, persediaan batu bara melonjak menjadi 635 juta ton pada akhir Juni, angka yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pada akhir 2021, jumlahnya masih di bawah 90 juta ton, menurut data dari China Coal Resource.

    Di sisi lain, pasar minyak China menghadapi tantangan serupa. Ekonomi yang melemah, peningkatan produksi domestik, dan penurunan permintaan jangka panjang akibat dekarbonisasi memengaruhi pasar. Perusahaan penyulingan terpaksa menurunkan biaya produksi dengan mengurangi tingkat operasi, menyebabkan penurunan impor minyak.

    Meskipun persediaan minyak mentah domestik meningkat ke level tertinggi dalam 10 bulan, melebihi 1 miliar barel pada Juli lalu, jumlah ini masih di bawah puncak musim panas tahun lalu, menurut Vortexa Ltd.

    Ini mungkin menunjukkan potensi penurunan impor jika perusahaan penyulingan memilih untuk memanfaatkan persediaan yang ada untuk memenuhi lonjakan permintaan musiman di musim gugur.

    "Mengingat prospek permintaan yang tidak pasti, kilang minyak mungkin akan mengurangi persediaan tangki komersial daripada meningkatkan pembelian," kata Jianan Sun, analis di Energy Aspects Ltd.

    Ekonomi di Ujung Tanduk

    Ekonomi China benar-benar berada di ujung tanduk. Pabrik pakan ternak di China, misalnya, telah mengakuisisi kedelai Brasil dengan harga murah tahun ini. Namun, harapan mereka untuk permintaan yang kuat dari industri ternak tidak terpenuhi. Ternak babi, yang merupakan bagian terbesar dari konsumsi pakan ternak, telah menyusut, sementara perlambatan ekonomi mengurangi konsumsi daging.

    Akibatnya, stok bungkil kedelai mencapai level tertinggi sejak 2016, dan harga lokal bahan baku pakan turun ke level terendah dalam empat tahun terakhir. Ini adalah kabar buruk bagi petani Amerika yang tengah mempersiapkan musim ekspor kedelai mereka.

    Fenomena ini juga memicu perubahan signifikan dalam arus perdagangan. Dalam upaya untuk menyerap surplus, China telah mulai mengekspor sejumlah besar komoditas yang biasanya diimpornya, seperti tembaga. Langkah ini menggambarkan penyesuaian pasar global terhadap ketidakseimbangan pasokan dan permintaan.

    Industri baja China kini berada dalam krisis mendalam akibat lesunya sektor properti yang telah menggerogoti permintaan konstruksi. Persediaan bijih besi di pelabuhan telah melambung ke level tertinggi tahun ini, menunjukkan penumpukan bahan baku utama yang mengkhawatirkan.

    Margin keuntungan pada pembuatan gulungan canai panas—yang digunakan dalam pembuatan bodi mobil dan peralatan—telah mendekati rekor terendah. Meskipun ada tanda-tanda awal pemulihan pasar setelah kemerosotan musim panas, pabrik-pabrik baja menghadapi tantangan besar.

    Untuk bertahan dari penurunan permintaan ini, pabrik-pabrik mungkin perlu terus memangkas produksi. Akibatnya, permintaan terhadap bahan baku pembuat baja diperkirakan akan semakin menurun, memperparah krisis yang sedang berlangsung di sektor ini.

    Meski industri logam di China menghadapi berbagai tantangan, ada secercah harapan di sektor tembaga. Penurunan tajam harga internasional tembaga sejak puncaknya pada Mei telah menarik kembali minat pembeli. Ini tercermin dari penurunan persediaan tembaga di gudang yang dipantau oleh Bursa Berjangka Shanghai, meskipun stok masih berada pada level tertinggi.

    Seperti baja, konsumsi tembaga juga sangat bergantung pada industri konstruksi. Namun, tembaga memiliki keunggulan tambahan karena digunakan dalam berbagai aplikasi lain yang mendukung transisi energi China. Logam ini sangat penting untuk pembangunan jaringan listrik baru, baterai, dan proyek energi terbarukan.

    China berusaha mengimbangi perlambatan di sektor properti dengan memperkuat kekuatan manufaktur dan ekspor mesin, sambil mempertahankan target pertumbuhannya yang ambisius sekitar 5 persen. Meskipun pabrikan surya menghadapi musim pendapatan yang buruk, ada harapan bahwa kelebihan pasokan yang melanda industri tersebut mulai mereda.

    Namun, ketegangan geopolitik juga menjadi perhatian. Baru-baru ini, kapal penjaga pantai China dan Filipina bertabrakan di wilayah sengketa Laut Cina Selatan, menambah ketegangan antara kedua negara. Kedua belah pihak saling menyalahkan atas insiden tersebut, yang memperlihatkan kompleksitas situasi di kawasan tersebut.(*)

    Disclaimer:
    Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Yunila Wati

    Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

    Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

    Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79