KABARBURSA.COM – Ekonom Universitas Andalas, Syafrudin Karimi menyebut krisis ekonomi yang tengah dialami Indonesia bukan berasal dari kerusuhan politik atau runtuhnya sistem keuangan seperti yang terjadi pada 1998. Ia menilai sumber krisis kali ini justru berasal dari merosotnya kredibilitas Bank Indonesia (BI) sebagai lembaga otoritas moneter yang semestinya menjadi jangkar stabilitas keuangan.
“Bank Indonesia berkukuh bahwa saat ini tidak ada krisis karena tidak ada gejolak politik seperti 1998. Namun, hal yang harus dipahami adalah bahwa krisis tidak selalu berwujud sama. Tahun 2025 bukan 1998,” ungkap Syafruddin kepada KabarBursa.com melalui sambungan telepon pada Kamis, 27 Maret 2025.
Ia menjelaskan, krisis kepercayaan terhadap bank sentral lebih sulit diidentifikasi namun berdampak serius terhadap stabilitas makro. Klaim BI yang menyebut utang pemerintah relatif rendah dianggap tidak mencerminkan keseluruhan struktur ekonomi nasional karena menurut Syafrudin, justru yang menjadi sorotan adalah tingginya utang korporasi dan ketergantungan terhadap modal asing di pasar portofolio.
Struktur ekonomi Indonesia saat ini disebutnya rentan, menyerupai situasi sebelum krisis 1998. Di tengah dinamika geopolitik dan perang dagang global yang kembali memanas, ia menekankan pentingnya respons kebijakan yang tidak berhenti pada narasi optimistik. “Yang dibutuhkan adalah komunikasi jujur, langkah terukur, dan strategi jangka menengah yang mampu menjaga daya tahan ekonomi nasional,” ujarnya.
Syafrudin menyoroti stabilitas nilai tukar rupiah tidak bisa dicapai hanya lewat pernyataan publik, tetapi harus ditopang oleh kebijakan nyata yang kredibel. “Rupiah bisa stabil bukan karena retorika, tetapi karena realitas kebijakan yang tepat, terkoordinasi, dan kredibel. Dan saat ini, publik menunggu bukti dari tindakan itu—bukan sekadar kata-kata,” tambahnya.
Di sisi lain, Bank Indonesia melalui Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Solikin M. Juhro, mengatakan Indonesia telah jauh lebih siap menghadapi tekanan global dibandingkan pada masa krisis 1998. "Situasi saat ini sangat berbeda dari tahun 1998. Pasca krisis keuangan Asia, kita melakukan banyak pembenahan, baik dari sisi regulasi maupun kerangka pengawasan,” katanya.
Pada 1998, rupiah terdepresiasi tajam dari Rp2.500 menjadi lebih dari Rp16.000 per dolar AS, inflasi melonjak hingga 77 persen, dan ekonomi mengalami kontraksi sekitar 13 persen. Saat ini, pertumbuhan ekonomi masih terjaga di kisaran 4 persen di tengah ketidakpastian global.
Menurut Solikin, sistem keuangan saat ini didukung oleh perangkat pengawasan yang lebih matang, koordinasi erat melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), serta pemanfaatan instrumen makroprudensial yang terintegrasi. Ia menegaskan ketahanan sektor keuangan nasional tetap terjaga.
Data yang dirilis Bank Indonesia mencerminkan kondisi sektor keuangan yang solid. Kredit perbankan tumbuh 10,30 persen secara tahunan pada Februari 2025. Sektor dengan pertumbuhan kredit tertinggi adalah lain-lain sebesar 29,41 persen, disusul industri pengolahan 11,45 persen, dan perdagangan 7,22 persen. Dana pihak ketiga tetap tumbuh positif yang berarti mendukung fungsi intermediasi.
Capital Adequacy Ratio perbankan berada di posisi 27,01 persen. Hal ini menunjukkan kekuatan modal yang cukup untuk menyerap risiko. Risiko kredit pun relatif terkendali, tercermin dari rasio NPL bruto 2,18 persen dan neto 0,79 persen.
Di sisi lain, sektor UMKM masih menunjukkan perlambatan. Kredit UMKM hanya tumbuh 3,37 persen secara tahunan dan bahkan melambat ke 2,51 persen di awal 2025. Realisasi penyaluran Kredit Usaha Rakyat (KUR) baru mencapai Rp42,74 triliun dari target Rp280 triliun sepanjang tahun ini.
Permintaan domestik tetap memberikan harapan. Kinerja korporasi tercatat positif dengan pertumbuhan penjualan yang masih berlanjut meski moderat. Belanja modal tetap ekspansif dan rasio cakupan bunga atau Interest Coverage Ratio stabil di atas 2,0. Jumlah perusahaan dengan rasio di bawah 1,0 terus menurun.
Ekspektasi pendapatan rumah tangga berada di zona optimis. Indeks kelompok dengan pengeluaran di atas Rp5 juta mencapai 158,88, sedangkan kelompok di atas Rp4 juta berada di 145,73, dan di atas Rp1 juta di 139,87.
Loan at Risk (LAR) rumah tangga menunjukkan tren perbaikan. Rasio kredit bermasalah menurun ke 13,99 persen dengan rincian LAR tertinggi pada kredit konsumtif sebesar 11,82 persen, diikuti oleh kredit kendaraan bermotor 9,32 persen, KPR 4,82 persen, dan peralatan rumah tangga 4,02 persen.
Meskipun indikator makroekonomi dan keuangan tampak positif, pandangan dari kalangan pengamat bahwa Bank Indonesia kehilangan kredibilitas menjadi sinyal penting yang menuntut langkah nyata dan komunikasi kebijakan yang lebih kuat dan transparan dari otoritas moneter.
Solikin menambahkan, BI tengah menyusun kerangka penanganan krisis yang lebih komprehensif, untuk menghadapi potensi guncangan dari sektor non-ekonomi seperti risiko digital dan teknologi.
“Dengan dasar hukum yang kuat seperti UU P2SK, serta regulasi turunannya, kita memiliki sistem kebijakan yang kokoh. BI yakin tekanan yang terjadi belakangan ini bersifat sementara, dan tidak mencerminkan pelemahan struktural dalam ekonomi nasional,” katanya. (*)